Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Cinta Regu Badak (24)

10 Desember 2011   08:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:35 98 0
Novel Muhammad Subhan

12
MENCARI UANG RECEH

Bapak akhirnya bekerja. Menjahit sepatu. Bapak mendapat tempat di sebuah gang di samping pertokoan di Jalan Perdagangan tengah kota Lhokseumawe. Bapak membuat sebuah peti setinggi lutut untuk menyimpan peralatan sol dan sepatu-sepatu bekas. Di dekat tempat kerja bapak ada sebuah musala. Pekerja-pekerja toko banyak yang salat di musala itu. Bila tiba waktu Zuhur dan Asar bapak juga salat di musala itu.

Peralatan sol sepatu di dalam peti bila senja tiba bapak simpan di bawah jenjang musala. Bapak menguncinya dengan rantai sehingga tidak ada orang usil yang merusaknya. Bapak yakin di bawah jenjang musala itu aman menyimpan barang. Tentunya bapak sudah meminta izin kepada pengurus musala untuk menyimpan peti itu di bawah jenjang ketika bapak pulang.

Begitulah keseharian kerja bapak. Minggu-minggu pertama bekerja sebagai tukang sol sepatu, belum seorang pun bapak mendapatkan pelanggan. Di sepanjang pelataran pertokoan orang hanya berlalu lalang saja. Aku ketahui itu karena aku sering dibawa bapak ke tempat kerjanya. Pekan-pekan berikutnya barulah keberadaan usaha bapak diketahui orang. Dalam sehari hanya satu dua orang saja yang memakai jasa bapak. Itupun jahitan yang ringan-ringan saja. Upahnya juga sangat murah. Tak jarang bapak pulang ke rumah dengan tangan hampa. Tapi ibu mulai memahami kesulitan bapak. Ibu tidak lagi banyak menuntut. Bapak dan ibu juga jarang aku lihat bertengkar, kecuali sewaktu masih di Tembung dulu. Bapak dan ibu sudah mulai akur, dan semakin dapat memahami kesulitan hidup sejak pindah di tempat baru.

Karena aku belum sekolah, aku hanya banyak bermain saja. Di tempat tinggalku, di Kampung Jawa Lama yang berada di pinggir laut itu, aku berteman dengan anak-anak tetangga. Temanku yang paling akrab adalah Din Patuk. Tak tahu aku kenapa dibelakang nama si Din yang panjangnya Syamsuddin itu ada kata Patuk. Entah karena dia pernah dipatuk ular atau bagaimana. Aku tak mempersoalkan itu. Din Patuklah yang selalu menemani aku bila kami bermain-main di pinggir laut.

Usiaku dan Din Patuk sebaya. Dia sudah duduk di kelas lima. Seharusnya aku juga kelas lima bila masuk sekolah. Tapi aku harus menganggur setahun lamanya hingga ekonomi bapak dan ibu benar-benar mencukupi memasukkan aku ke sekolah. Di masa itu Presiden Suharto sedang giat-giatnya mengkampanyekan pembangunan di segala bidang, termasuk pendidikan. Semua anak harus sekolah. Tapi uang sekolah tetap saja selangit. Maka bapak memutuskan aku tidak sekolah dulu. Aku hanya menerima dengan lapang dada.

Setiap pagi dan petang Din Patuk mengajakku bermain di pinggir laut. Dia anak laut sejati. Kulitnya hitam kecoklatan karena sering mandi laut dan berjemur di terik panas matahari. Bapaknya seorang nelayan. Permainan yang paling sering kami lakukan adalah adu bola pasir. Ah, itu permainan yang sangat mengasyikkan sekali. Pasir pantai tidak semuanya putih. Ada bagian-bagian tertentu di pasir itu yang berwarna hitam. Pasir pantai berwarna hitam biasanya digunakan orang untuk membuat telur asin. Telur itik yang akan diasinkan dibalut dengan pasir hitam pantai dan dicampur dengan abu cuci piring. Pasir dan abu itu digarami lagi, lalu disimpan beberapa hari lamanya, sehingga menjadi asinlah telur itik itu. Nah, pasir pantai yang berwarna hitam itu, dibentuk bulatan sebesar bola kasti, dikeringkan dengan mencampurnya dengan pasir pantai yang berwarna putih, lalu lama kelamaan mengeras. Setelah keras dibuatlah arena adu di pasir itu berbentuk seluncuran dua sisi, masing-masing pemain menggelindingkan bola pasirnya dan beradu antara satu dengan lainnya. Bila bola pasir pecah, maka si pemilik bola pasir itu kalah. Wah, pokoknya itu permainan yang paling menyenangkan sekali.

Selain itu aku juga suka membuat istana-istana pasir di pinggir pantai. Aku memimpikan kelak punya istana megah yang wah. Di sekeliling istana itu kubangun taman-taman yang indah. Ada pengawalnya di gerbang depan dan pintu belakang. Di menara-menaranya yang tinggi aku pasang bendera kertas, merah putih. Bendera negeriku, yang selalu berkibar gagah. Ada bukit dan gunung. Ada jalan yang dilewati kuda-kuda. Wah, pokoknya keren sekali. Kadang bila malam aku bermimpi tidur di atas permadani yang empuk, dan banyak peri-peri yang bernyanyi di dalam istana itu.

Tapi semua itu hanya imajinasi kanak-kanakku saja. Tentu tak ada istana seperti itu.

Suatu hari Din Patuk datang ke rumahku. Dia mengajak bermain ke pinggir pantai. Hari sangat terik. Ombak di laut terdengar berdebur sayup-sayup. Laut sedang berombak besar.

“Kau mau ikut mencari uang?” ajak Din Patuk.

“Dimana uang akan kita cari?” tanyaku lugu.

“Di laut. Kau ikut saja.”

“Menarik pukat?” tanyaku penasaran.

“Tidak.”

“Mancing ikan?”

“Tidak.”

“Lalu apa?” desakku semakin penasaran.

“Kau ikut saja.”

“Kau beri tahulah aku,” desakku.

“Ngorek pasir,” jawabnya enteng.

Keningku berkerut.

“Apa? Korek pasir? Maksud kau pasir itu akan kita jual? Memang bisa?”

Din Patuk tertawa. Giginya kuning karena jarang digosok.

“Bukan. Makanya kau ikut aku. Nanti kuberi tahu caranya.”

“Baiklah, aku ikut.”

Aku pamit kepada ibu. Berganti pakaian yang biasa aku pakai ketika ke laut.

“Kalau bapak tahu kau akan dimarahi lagi,” ujar Ibu dari dapur.

“Aku sebentar saja kok, Bu,” jawabku.

Aku dan Din Patuk melangkah menuju laut. Pemukiman di tepi pantai itu sangat ramai. Hampir semuanya rumah kontrakan. Beragam etnis ada disitu. Semua hidup berdampingan dengan rukun dan damai.

Tak lama kemudian sampailah kami di tepi laut yang sedang berair pasang. Ombak memecah sunyi. Di atas permukaan laut burung camar berterbangan. Di dekat pantai rumah penduduk berderet-deret banyaknya, sepanjang bibir pantai. Umumnya rumah itu milik nelayan. Tapi rumah-rumah itu berbeda bentuknya dengan rumah kami yang sedikit berjarak dari bibir pantai. Rumah-rumah itu memiliki kaki penyangga yang terbuat dari balok-balok kayu. Tujuannya ketika ombak pasang, air laut tidak masuk ke dalam rumah. Ombak berkejar-kejaran hingga menyapu tanah di bawah rumah-rumah nelayan itu.

Aku lihat Din Patuk merunduk masuk ke kolong-kolong rumah itu. Entah apa yang dikerjakannya. Aku hanya melihat saja. Ombak membasahi baju dan celananya. Aku lihat dia mengerjakan sesuatu. Kedua tangannya mengorek tanah yang menimbun tiang-tiang penyangga rumah itu. Dia beraksi dari satu tiang ke tiang lainnya. Entah mencari apa.

“Kau sedang ngapain tu, Din?” tanyaku.

“Ssssttt... Jangan berisik,” jawabnya.

Keningku semakin berkerut. Kelakuannya aneh. Wajahnya tampak serius mengorek-ngorek tanah disekitar tiang-tiang penyangga itu. Tak lama kemudian aku lihat dia menemukan sesuatu. Wajahnya tampak berbinar.

“Kau menemukan apa?” tanyaku lagi.

“Uang. Nih, lihat!”

Din Patuk memperlihatkan sebuah uang logam 50 rupiah. Uang itu sudah berwarna hitam lantaran karat terkena air laut. Aku semakin tak habis pikir bagaimana ada uang tersimpan di tanah sekitar penyangga tiang-tiang rumah itu. Dari mana datangnya? Ah, tak sampai akalku memikirkan soal itu. (bersambung)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun