Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Cinta Regu Badak (23)

25 November 2011   03:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:14 93 0
Novel Muhammad Subhan

Bapak belum mendapatkan kerja tetap. Kota Lhokseumawe semakin panas saja. Aku lihat rambut bapak mulai beruban, kian hari semakin banyak uban itu. Pertanda beratnya bapak memikirkan kehidupan keluarga kami.

Setiap hari, pagi-pagi sekali usai salat Subuh, bapak pergi meninggalkan rumah. Katanya mencari kerja. Kerja apa aku tidak tahu. Bapak selalu berpamitan pada ibu sebelum berangkat meninggalkan rumah, begitupun bapak mencium keningku lalu meniup ubun-ubunku sembari membacakan sesuatu. Entah apa yang dibaca bapak. Semacam doa mungkin. Tapi setiap kali bapak meniup ubun-ubunku, aku merasakan ada sesuatu yang mengalir di tubuhku. Semacam tenaga baru. Semangat baru.

Aku berdiri di pintu melepas kepergian bapak. Aku berdoa di dalam hati, Tuhan berikan bapakku pekerjaan. Tuhan, sayangi bapakku. Berikan bapak uang, agar ibu punya uang. Tuhan, sejak meninggalkan Tembung, mencari kehidupan baru di kota ini, aku lihat baju yang dipakai ibu hanya itu ke itu saja. Sudah sangat lusuh bentuknya. Aku ingin melihat bapak membelikan ibu pakaian baru. Aku ingin melihat ibu memakai anting-anting emas di telinganya. Tuhan, aku ingin cepat dewasa, ingin membantu bapak dan ibu berusaha. Tuhan, jangan cepat Engkau panggil kedua orangtuaku. Aku sayang kepada mereka.

Ah, setiap berdoa di dalam hati dengan penuh pengharapan kepada Tuhan, airmataku jatuh. Aku menangis di sudut rumah. Tapi aku tidak memperlihatkannya kepada ibu. Bila ibu tahu, pasti ibu akan menangis dan memelukku, meminta maaf lagi kepadaku sebab aku telah ikut menanggung kemiskinan mereka. Tidak, aku ikhlas akan kemiskinan ini. Aku yakin semua ada hikmah. Bapak dan ibu telah berusaha memberikan yang terbaik pada diriku anak satu-satunya. Aku tahu bapak dan ibu sangat sayang kepadaku.

Suatu hari bapak pulang agak siang. Ibu sedang menggosok pakaian upahan orang. Gosokan pakai setrika arang. Arang harus dibakar dulu agar gosokan panas dan dapat melicinkan pakaian. Kadang ketika tidak ada uang di rumah, ibu menawarkan kepada tetangga-tetangga di sekitar rumah jasa mencuci kain dan menyetrikanya sekalian. Ibu mendapat sedikit uang dari kerjanya itu. Tapi aku kasihan melihat ibu, tubuhnya yang telah kurus harus bekerja keras mencuci bertumpuk-tumpuk pakaian di sumur, lalu mengosoknya, tetapi upahnya sangat murah. Namun ibu senang melakukan pekerjaan itu. Uang upahannya ditabung ibu untuk persiapan bila ada kebutuhan mendesak yang harus dibayarkan.

“Bapak kok cepat pulang?” tanya ibu ketika melihat bapak berdiri di muka pintu.

“Aku dapat kerja, Bu. Alhamdulillah,” jawab Bapak.

“Benarkah, Pak? Kerja apa?” Wajah ibu tampak berbinar senang.

“Aku diajarkan kawan menjahit sepatu. Aku mau buka usaha sendiri, reparasi sepatu.”

“Apa itu, Pak?” tanya ibu heran dengan istilah reparasi.

“Ya, ngesol sepatu Bu. Menjahit sepatu orang bila ada yang rusak.”

Di saat bapak pulang aku berada di kamar. Tidur siang. Tapi aku mendengar pembicaraan ibu dan bapak.

“Bapak yakin bisa mengerjakannya?” tanya ibu lagi.

“Akan aku coba. Agaknya mudah, tapi memang harus kerja keras.”

“Semoga itu kerja yang terbaik buat Bapak.”

Sejenak suasana hening. Ibu ke dapur mengambil minuman buat bapak. Segelas air putih. Bapak meneguknya lalu melangkah ke meja makan, membuka tudung nasi. Tidak ada apa-apa isinya.

“Ibu tidak masak siang ini?”

“Beras kita habis, sore nanti aku beli. Kain yang kugosok ini dibayar pemiliknya nanti,” jawab ibu.

Bapak diam. Aku tahu bapak sangat lapar karena bapak keluar rumah mencari pekerjaan berjalan kaki pagi-pagi sekali. Kadang tidak sarapan pagi. Bapak tidak punya sepeda yang dapat digunakan sebagai kendaraan. Sepeda onta bapak di Tembung dulu sudah dijual untuk menambah ongkos pindah ke Aceh. Bapak benar-benar memulai hidup dari awal lagi, harus mengumpulkan uang untuk dapat membeli sepeda bekas.

Bapak masuk ke dalam kamar. Berganti pakaian. Dilihatnya aku di ranjang atas. Tempat tidur kami bertingkat. Bapak dan ibu tidur di ranjang bawah. Aku tidur di ranjang atas.

“Sudah bangun, Gam?”

Aku lihat bapak melongok kepadaku.

“Sudah, Pak. Gak bisa tidur, panas sekali,” jawabku.

“Bapak dapat kerja,” kata Bapak.

“Iya, Pak? Alhamdulillah.”

“Iya. Doakan Bapak. Kalau bapak sudah ada uang, tahun depan Kau sekolah. Masih mau sekolah, kan?”

Aku tersenyum.

“Tentu, Pak. Aku ingin sekolah. Aku berdoa buat Bapak dan Ibu.”

Setelah itu bapak salat Zuhur. Salat bapak khusyuk sekali. Doanya panjang. Bila malam bapak tadarusan Alquran. Suara tuanya terdengar berat. Tapi sejuk di hati siapa saja yang mendengar. Bila tak ada pekerjaan lain bapak mendengar radio bututnya yang kadang-kadang tak mendapat sinyal. Seperti suara lebah mendengung saja yang keluar. Bapak suka menyimak berita-berita luar negeri. Ketika itu perang Teluk sedang hangat menjadi perbincangan di radio.

Usai salat Zuhur bapak berpamitan lagi pada ibu. Kata bapak mau ke tempat kawannya, mendalami lagi soal jahit menjahit sepatu yang akan menjadi profesi baru bapak. Begitulah yang dilakukan bapak beberapa hari berikutnya, hingga bapak benar-benar menguasai soal pekerjaan barunya itu.

“Bapak butuh uang untuk modal, Bu?” kata Bapak suatu malam.

Ibu diam. Kemana uang hendak dicari untuk membantu bapak memulai usahanya? Uang yang disimpan ibu untuk membayar uang sewa rumah bulan depan yang tinggal sepekan lagi. Rumah kontrakan kami dibayar setiap bulan, bukan tahunan.

“Uang yang ibu simpan untuk bayar kontrakan rumah, Pak. Bagaimana baiknya?” jawab ibu setelah berpikir panjang.

Giliran bapak yang diam.

“Kalau bapak pakai dulu, bagaimana?”

“Aku khawatir kalau bapak tidak dapat mengembalikannya karena sepekan lagi uang kontrakan harus kita bayar. Bapak juga baru memulai usaha, tentu butuh waktu agar pelanggan mengenal usaha Bapak. Apakah Bapak sudah dapat tempat dimana Bapak membuka usaha?”

“Sudah, Bu. Bapak dapat tempat di sebuah gang di samping musala di antara pertokoan di Jalan Perdagangan, arah ke Pusong Baru. Bapak sudah dapat ijin. Doakan semoga tidak ada penggusuran sehingga Bapak dapat terus berusaha,” jawab Bapak.

“Baiklah, Bapak pakai saja dulu uang kontrakan rumah. Semoga kita ada rezeki untuk membayarnya,” jawab Ibu.

Mendengar itu bapak senang sekali. Bapak berjanji akan sungguh-sungguh bekerja. Kalau ada rezeki nanti bapak ingin membeli sepeda angin lagi. Sebab berjalan kaki dari Kampung Jawa Lama ke tengah kota di Jalan Perdagangan itu memakan waktu setengah jam. Tentu capai sekali bapak jika setiap hari berjalan kaki. Kasihan bapak. Tapi sungguh aku bangga pada bapakku yang semangat kerjanya sangat tinggi. (bersambung)

Catatan: Novel ini belum pernah dipublikasikan. Pertama di Kompasiana.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun