Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Cinta Regu Badak (20)

20 November 2011   09:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:26 96 0
Novel Muhammad Subhan

Angkot terus melaju membawa tubuh kami anak beranak. Menuju terminal. Rumah Nek Ani semakin menjauh. Tubuh kawan-kawanku yang melambaikan tangan juga semakin menjauh, kemudian hilang ketika angkot yang kami tumpangi berbelok di tikungan jalan. Ketika kawan-kawanku itu tak lagi terlihat, disaat itulah aku merasakan ada butiran panas yang jatuh di kedua pipiku. Aku menangis. Mengenang semuanya yang telah tertinggal.

Ah, begini rasanya perpisahan itu. Sangat berat sekali. Tetapi harus terjadi.

Selama di angkot, bapak yang duduk di sebelahku mengusap-usap punggungku. Sepertinya bapak tahu apa yang aku rasakan. Ibu telah sembab kedua matanya. Beberapa penumpang yang duduk di depan dan disamping kami di dalam angkot itu, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Tak ada yang mempedulikan kami.

Tak lama kemudian, sampailah angkot yang kami tumpangi di terminal. Kendaraan banyak sekali, terutama bus berbadan besar. Di terminal itu penuh sesak dengan orang dan barang. Dari corong pengeras suara beberapa kali terdengar panggilan kepada penumpang dengan bermacam daerah tujuan. Kondektur sibuk pula mencari penumpang. Beberapa orang calo menarik-narik tangan dan tas calon penumpang. Yang ditarik menolak, yang menarik bersikeras menawarkan angkutan yang mungkin dibutuhkan. Panorama kehidupan yang keras di tengah terminal yang luas.

Bapak mengurus tiket ke loket. Dalam beberapa menit dapatlah tiket di tangan bapak. Sebuah bus besar tujuan Aceh ditunjuk seorang kondektur. Barang bawaan kami yang tak banyak disimpan di dalam bagasi bus. Bapak naik, ibu naik, aku naik. Di kursi paling depan aku duduk. Aku suka melihat-lihat pemandangan selama perjalanan. Tapi bus baru berangkat malam hari. Tetapi jadilah, aku dapat melihat juga pemandangan temaramnya kota walau malam gelap. Didalam bus itu pula aku terlelap.

* * *

Hari telah beranjak siang ketika bus yang kami tumpangi sampai di Lhokseumawe, kota di Aceh Utara dengan ladang gasnya yang luas. Di kota itulah kami akan tinggal. Menapak alaf baru. Di terminal, bus berhenti menurunkan penumpang.

“Inikah Aceh itu, Pak?” tanyaku kepada Bapak.

“Iya.”

“Udaranya panas, Pak.”

“Ya, kalau siang di sini panas sekali.”

Bapak sibuk mengemasi barang bawaan kami yang tak banyak. Kondektur membantu. Ibu berdiri di sudut sebuah warung di dalam terminal. Wajah ibu kelihatan letih sekali. Sisa kesedihan masih terpancar di wajahnya.

“Kita akan tinggal di mana, Pak?” tanyaku lagi.

Sekilas Bapak memandang ke arahku. Bapak tidak menjawab.

Aku alihkan pandangan menatap terminal Lhokseumawe yang tak begitu ramai. Terminal itu tidak sebesar terminal di Medan.

Setelah barang-barang diturunkan semuanya, bapak mendekati ibu. Kami berdiri beberapa saat lamanya di samping sebuah warung di dalam terminal. Bapak seperti menunggu seorang.

“Sampai kapan kita di sini, Pak?” tanya ibu.

“Tunggulah, kita cari tumpangan ke rumah kawanku,” jawab Bapak.

“Jauh, Pak?” tanya ibu lagi.

Bapak tak menjawab.

Di kota itu bapak punya seorang kawan yang dulu bersama-sama datang dari Medan mencari kerja di Aceh. Kerja tak didapat, tapi akhirnya kawannya itu menetap dan berdagang kecil-kecilan di Lhokseumawe. Ke rumah kawannya itulah kami hendak menuju.

“Seandainya kawan bapak tak di rumah, apa akal kita lagi?” tanya Ibu cemas. Ibu khawatir kalau-kalau orang yang dicari tidak dijumpai, sementara malam akan tiba. Entah di mana kami akan menumpang tinggal nanti. Bekal yang dibawa tidak seberapa. Bapak harus mencari kerja. Ibu akan membantu bapak juga nanti, apa yang bisa dikerjakan untuk menambah penghasilan di rumah. Aku? Duhai, seandainya tubuhku besar, sudah dewasa, ingin aku berkerja keras membantu kedua orangtuaku itu. Tapi apa daya, aku masih kanak-kanak.

“Semoga kawanku ada di rumahnya. Ibu berdoa saja,” Bapak menenangkan ibu. Tapi wajah ibu tetap cemas juga.

Tak lama kemudian, ada angkot kosong yang akan mengantar kami ke alamat tujuan. Rumah kawan bapakku berada di tengah kota Lhokseumawe. Ia orang Jawa Medan, alias orangtua Jawa yang menumpang lahir di Medan. Sama juga seperti aku, ayahku Aceh ibuku Minang, aku lahir di Medan. Bisa disebut aku ini GAM. Kepanjangannya bukan ‘Gerakan Aceh Merdeka’, tapi ‘Gabungan Aceh Minang’. Di waktu usia muda bapakku yang orang Aceh itu merantau ke Medan, ibuku yang orang Minang juga merantau ke Medan. Menikahlah mereka di sana. Buah cintanya lahirlah aku di tengah kota Medan hingga akhirnya kami digusur oleh pesatnya pembangunan di kota itu.

Ah, aku tak mau mengenang lagi peristiwa pahit yang menyebabkan kami terdampar di negeri Aceh yang panas ini.

Sampailah kami di rumah kawan bapakku. Kawan, jangan kau bayangkan rumah kawan bapakku itu mewah, tidak sama sekali. Bahkan jauh dari rumah sederhana. Dinding rumahnya bertempelan kertas koran. Lantainya semen kasar. Nyaris tak berventilasi udara karena rumah itu berada di deretan rumah petak. Sebuah selokan besar terbentang di samping rumah. Baunya minta ampun. Sampah menumpuk di selokan itu. Tepatnya, kawan bapakku itu tinggal di perkampungan kumuh.

Kedatangan kami disambut ramah oleh kawan bapakku yang bernama Fakhruddin. Ia memmpunyai seorang istri dan dua orang anak laki-laki yang masih kecil. Di rumahnya itulah kami menumpang tinggal sampai bapak mendapatkan rumah untuk kami kontrak.

“Alhamdulillah, Abang dan keluarga sudah sampai dengan selamat di Lhokseumawe,” sambut kawan bapakku itu.

Terlibatlah pembicaraan yang sangat akrab diantara dua orang sahabat yang lama tak bersua itu.

“Tak ada rencana Kau pulang ke Medan?” tanya Bapak kepada kawannya.

“Ah, tidak, Bang. Medan itu tak bersahabat. Aku tak sanggup tinggal di sana lagi.”

Bapak tersenyum.

“Kau benar, Din. Ini, aku kalah dan secara kejam digusur dari kota itu. Kau sendiri tahu, aku membangun rumah dengan susah payah. Ah, kalau diingat-ingat, mau jatuh juga airmata ini,” jawab Bapak. Matanya menerawang.

“Sudahlah, Bang. Semoga di sini kehidupan Abang dan keluarga lebih baik.”

“Semoga, Din. Mohon Kau membantu mencarikan kami rumah. Kasihan ibunya si Agam dan anakku itu. Aku mau dia terus sekolah,” kata Bapak lagi.

“Besok saya bantu mencarikan. Sekarang istrihatlah Abang dan Kakak dahulu. Tapi beginilah keadaan rumahku Bang, jauh disebut layak,” kata kawan Bapak itu merendah.

“Rumah Kau ini masih lebih baik dibanding kami yang tak punya rumah,” jawab Bapak tak mau kalah.

Tertawalah semua yang ada di rumah itu.

Atas kebaikan hati keluarga Pak Fakhruddin, bermalamlah kami di rumahnya. Dibentangnya tikar di ruang tengah yang tidak besar. Diberinya sebuah kipas angin kecil. Baik siang maupun malam hari di Lhokseumawe, panasnya hampir sama. Malam itu aku membuka baju lantaran panas sekali. Nyaris kami tak dapat tidur. Nyamuk banyak pula, besar-besar badannya. Aku cemas kalau-kalau diserang malaria. Mungkin nyamuk-nyamuk itu bersarang di selokan yang kotor dengan tumpukan sampah di samping rumah. (bersambung)

Catatan: Novel ini belum pernah dipublikasikan. Pertama di Kompasiana.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun