Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Cinta Regu Badak (19)

18 November 2011   00:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:32 103 0
Novel Muhammad Subhan

Ah, terlalu berat perpisahan ini. Terlalu cepat perjalanan waktu. Rasanya baru kemarin aku tinggal di rumah yang dibangun bapak di tengah sawah. Kini kenangan itu pupus sudah. Di persimpangan jalan, sesaat aku menoleh lagi ke lahan bekas rumahku dan rumah Bondan. Semua telah menjadi puing. Tak lama-lama aku melihat ke sana, karena sudah pasti airmataku akan tumpah. Setiba di rumah, aku ingin memeluk ibu dan bapak.

Aku cepat-cepat berjalan meninggalkan tempat itu. Tidak aku toleh lagi ke belakang. Yang sudah terjadi, sudahlah. Aku yakin Tuhan akan memberi hikmah. Andai saja tidak ada peristiwa penggusuran itu, mungkin aku tidak akan pernah melihat negeri Aceh, kampung bapakku. Inilah skenario Tuhan agar aku dan keluargaku dapat hijrah, mencari kehidupan lain yang lebih baik di muka bumi Allah yang luas ini. Di sudut hatiku yang paling dalam, ada juga rasa syukur itu.

Setiba di rumah Nek Ani aku terkejut karena di halaman telah ramai oleh kawan-kawanku. Ada Tohang, Ucok, Andi, Anya, dan... Latifah, gadis kecil yang datang memeluk sebuah boneka beruang dan muram wajahnya. Di dalam rumah aku dengar ibu dan bapak masih berbincang-bincang dengan Nek Ani, yang besar kasih sayangnya kepada keluarga kami dan berat melepas kami pindah.

“Kalian ada di sini?” sapaku kepada kawan-kawan sekolahku itu.

Semuanya diam. Wajah mereka muram. Terutama Latifah, matanya berkaca-kaca melihat kedatanganku.

“Aku sudah baca puisi-puisimu di buku harian, bagus sekali. Aku suka. Kau berbakat menulis puisi,” kataku lagi, kepada Latifah, gadis kecil yang rambutnya berkepang dua.

“Ambillah buku itu, sebagai kenang-kenanganku buatmu,” katanya kemudian. Dia memandang wajahku, aku memandang wajahnya.

“Kau lebih membutuhkan buku itu, karena beberapa halamannya masih ada yang kosong.”

“Kau isilah nanti, ketika Kau sudah di Aceh,” jawabnya.

“Ini juga untukmu,” kata Tohang, kawanku yang duduk sebangku di sekolah. Dia memberikan beberapa buku komik Jepang koleksinya. Dia suka komik. Aku juga suka, tapi tak punya uang untuk membelinya.

“Terima kasih, Kawan.”

“Kapan kita akan bertemu lagi?” tanya Anya, sahabat Latifah.

Aku menarik napas dalam-dalam. Membuangnya pelan. Kupandangi satu persatu wajah kawan-kawanku itu.

“Entahlah, aku tidak tahu. Semoga suatu hari nanti kita berjumpa. Aku doakan kalian sukses menggapai cita-cita,” kataku.

Tak lama kemudian ibu keluar menemui kami. Mengajak kawan-kawanku masuk ke dalam rumah. Tapi kawan-kawanku menolak dan ingin di halaman saja.

“Kau sudah siap berangkat, kan?” tanya Ibu kepadaku.

“Sudah, Bu.”

“Cepatlah, kita akan ke terminal,” kata Ibu lagi, menyuruhku bersiap-siap. Tapi apa yang harus aku siapkan?

Aku berpamitan sebentar kepada kawan-kawanku yang masih berdiri mematung di halaman. Aku temui Nek Ani.

“Nek, maafkan aku bila selama bekerja di warung Nenek aku ada salah...” kataku kepada Nek Ani. Aku lihat airmatanya masih menempel di pipinya yang tua.

“Tidak Gam, Kau tidak pernah bersalah kepada Nenek. Kau anak yang rajin dan baik,” jawab Nek Ani. Dipeluknya tubuhku dengan penuh kasih sayang.

“Aku ada salah pada Nenek. Aku pernah berbohong, ketika Nenek memberi aku sate kerang aku meminta Nenek menggantinya dengan uang. Kataku uang itu untuk membeli buku tulis, tapi sebenarnya tidak. Aku, Bondan dan Anton sedang mengumpulkan uang untuk membantu masalah bapak. Aku sudah berbohong kepada Nenek...” kataku polos.

Mendengar penuturanku itu, Nek Ani bertambah erat pelukannya di tubuhku.

“Oh, cucuku...” hanya itu katanya.

“Nenek memaafkan aku, kan?”

“Nenek maafkan Kau Gam, Kau anak yang berbakti kepada orangtua. Nenek doakan Kau menjadi orang berguna kelak,” jawab Nek Ani. Bertambah deras airmatanya jatuh. Dadaku terasa lapang menerima maaf yang tulus dari Nek Ani yang bagaikan Nenek kandungku itu.

Bapak datang menyampaikan salam perpisahan kepada Nek Ani dan berterima kasih atas tumpangan di rumahnya beberapa hari pascapenggusuran rumah kami oleh aparat pemerintah tempo hari.

“Hanya Allah yang dapat membalas budi baik Nenek dan keluarga,” kata Bapak.

“Aku lebih senang bila kalian di sini. Tapi itu hanya keinginanku saja, keputusan kalian yang punya. Tak usah berterima kasih, anggap ini rumah kalian juga. Bila kelak kalian pulang ke Medan, jenguklah aku yang tua ini. Entah Allah masih mempertemukan kita atau tidak, karena ajal siapa yang tahu...” Berat Nek Ani mengucapkan kata-kata itu, mencerminkan besar sekali kasih sayangnya kepada kami.

Ibu menyalami Nek Ani, memeluknya. Bagaikan takzim kepada orangtua ibu sendiri. Di sore itu, hanya kesedihan saja yang ada di rumah Nek Ani.

Aku membantu bapak mengeluarkan barang-barang yang dapat dibawa ke Aceh. Tak banyak, hanya bungkusan-bungkusan berisi pakaian dan sedikit perkakas dapur. Itulah harta yang kami punya. Yang lain-lain sudah dijual buat bekal. Di halaman telah menunggu sebuah angkot yang akan mengantar kami ke terminal bus yang jaraknya sekitar 30 menit dari Tembung.

Di halaman kawan-kawanku berusaha membantu, tapi aku melarang mereka karena barang-barang itu tidak banyak. Ibu telah naik ke dalam angkot, begitu juga bapak.

“Aku kehilangan kalian semua,” kataku kepada kawan-kawanku yang berdiri memandang sendu ke arahku.

“Kami juga,” jawab mereka.

Latifah telah jatuh airmatanya. Anya juga.

Aku pandangi sejenak kedua wajah gadis kecil itu. Wajah yang polos, seperti juga wajahku, wajah kami anak-anak.

Aku masuk ke dalam angkot, duduk disamping bapak. Dari jendela angkot aku lihat mereka melambaikan tangan sebagai salam perpisahan. Nek Ani tak henti-henti menangis. Ibu juga menangis. Hanya aku dan bapak yang tidak menangis. Rinai turun, langit menangis. Tembung, selamat tinggal. Medan, selamat tinggal. (bersambung)

Catatan: Novel ini belum pernah dipublikasikan. Pertama di Kompasiana.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun