Habis sudah harapan di rumah tengah sawah. Semua telah rata dengan tanah. Keluargaku malam itu menumpang bermalam di rumah Nek Ani, pemilik warung yang berjualan sate kerang kesukaanku. Dialah malaikat penyelamat keluargaku disaat aparat yang menjunjung tinggi hukum itu merampas hak hidup keluarga kami. Padahal bapak membeli tanah dan membangun rumah itu dengan susah payah. Memang susah menjadi orang susah!
Melihat keluarga kami tak lagi memiliki tempat tinggal, berlinang-linang jatuh air mata Nek Ani. Timbul ibanya. Ditawarkannyalah kami tinggal di rumahnya yang tidak besar itu.
“Bila kalian mau, tinggallah di rumah ini.”
Tapi bapak dan ibu tak suka menyusahkan orang lain.
“Terima kasih, Nek. Biarlah kami mencari tempat tinggal yang lain, agar tak mengganggu keluarga Nenek,” jawab ibu dengan sisa air mata yang masih menempel di kedua pipinya.
“Aku tak terganggu. Malah aku senang ada kalian di rumahku ini.”
Malam itu bapak sudah menyampaikan kepada Nek Ani bahwa ibu dan aku akan dibawa bapak ke Aceh, ke kampungnya. Telah bulat tekat bapak untuk meninggalkan Tembung, negeri yang keras itu. Bapak merasa gagal hidup di Tembung. Besok bapak mengurus kepindahanku dari sekolah, lalu meneruskan kelas 5 di Aceh. Entahlah, aku akan merasa sangat kehilangan kawan-kawan.
Mendengar tekad bapak itu Nek Ani menangis. Dia merasa berat melepas kami dari rumahnya. Berkali-kali dia menahan bapak dan ibu agar mau tinggal di rumahnya. Apa yang dia makan, itu pula yang kami makan katanya. Tapi bukan soal itu sebenarnya, bapak orang mandiri, tak ingin keberadaannya menjadi beban orang lain. Maka rumah yang digusur aparat itu pun dia bangun dengan keringatnya sendiri. Bertahun-tahun hingga orang-orang tak berperikemanusiaan itu menghancurkan semua harapannya.
* * *
Keesokan hari bapak datang ke sekolah dengan wajah kusut. Aku dibawa bapak. Dari luar kelas aku dengar kawan-kawanku semangat belajar di ruang kelas. Pelajaran bahasa Indonesia, baca puisi. Pelajaran yang aku sukai. Terdengar pula tepuk tangan riuh kawan-kawanku. Bangku sudut paling depan di kelas itu kosong, itulah bangku yang aku duduki selama 4 tahun belajar. Terasa bola mataku panas, airmata menggantung di kelopak mata dan hendak tumpah.
Aku dan bapak disambut Pak Lukman, kepala sekolah yang baik hati. Dia telah tahu peristiwa penggusuran rumah kami di tengah sawah. Koran kemarin besar-besar memberitakan peristiwa itu, lengkap dengan fotonya yang menjadi halaman utama. Semua orang telah tahu. Tapi adakah yang tahu bagaimana perasaan kami yang menjadi korban penggusuran itu? Entahlah. Ini Medan, bung! Kalimat itu yang sering aku dengar bila membanding kerasnya hidup di Medan.
“Bapak ada sehat? Agam bagaimana?” tanya Pak Lukman mencairkan suasana ketika menyambut kami di ruang kerjanya yang nyaman.
“Alhamdulillah, sehat, Pak,” jawab Bapak. Wajah bapak tak sedikitpun memancarkan semangat. Berat sekali pikirannya. Itu aku rasakan.
“Saya juga sehat, Pak,” jawabku, menunduk dan tak berani memandang wajah Pak Lukman.
“Syukurlah, senang saya mendengarnya. Agam sudah dua hari tak masuk sekolah, ya? Jangan patah semangat, teruslah bersekolah.”
“Kami akan pindah ke Aceh, Pak,” potong Bapak.
“Ke Aceh? Bapak sungguh-sungguh?” tanya Pak Lukman seolah tak percaya akan kata-kata bapak.
“Iya, Pak. Di sini kami tak ada lagi punya tempat tinggal.”
Mata bapak berkaca-kaca. Bapak tak sanggup menahan kesedihannya.
“Sabar, Pak. Semoga Allah memberi hikmah atas ujian ini.”
“Terima kasih, Pak.”
“Kapan bapak akan pindah? Lalu bagaimana dengan sekolah Agam?”
“Itulah maksud kedatangan saya ke sini, Pak. Saya mohon Bapak berkenan menguruskan surat pindahnya. Di Aceh nanti saya akan sekolahkan si Agam,” jawab Bapak, sembari memandangku yang duduk di sampingnya.
“Saya ikut prihatin dengan keadaan keluarga Bapak. Saya berharap, di Aceh Agam harus terus sekolah. Jangan putus di tengah jalan.”
“Insya Allah, Pak.”
“Baiklah, tunggu di sini sebentar. Saya minta kepala Tata Usaha menyiapkan surat-suratnya.”
“Baik, Pak. Kami tunggu.”
Pak Lukman bergegas ke ruang Tata Usaha, tak lama kemudian dia datang lagi. Tidak dengan surat, tapi dengan dua gelas teh hangat.
“Minumlah dulu, tentu Bapak dan Agam haus sehabis bersepeda dari tembung,” tawar Pak Lukman ramah.
“Terima kasih, Pak.”
Bapak menyenggol lenganku, menyuruhku minum. Kami minum teh hangat itu. Sejenak tenggorokan terasa lega dan dada lapang. Pak Lukman sungguh orang yang paling bijaksana dan baik hati.
Beberapa menit kemudian datang Pak Hasyim, kepala Tata Usaha di sekolah itu. Dia membawa sebuah map yang berisi surat menyurat untuk keperluan kepindahanku dari sekolah.
“Ini suratnya. Raport Agam juga sudah ada didalam. Kau Agam, rajin-rajinlah belajar nanti di Aceh,” kata Pak Lukman sembari menyodorkan map kertas itu kepada bapak. Kepalaku diusap-usap Pak Lukman.
“Baik Pak, saya akan rajin belajar,” jawabku memandang orangtua itu.
Sejenak suasana hening. Pak Lukman memandangku dan memandang bapak bergantian.
“Ayo, minumlah. Habiskan ya,” kata Pak Lukman lagi.
“Sudah, Pak. Oh ya Pak, anu... anu...”
“Anu apa, Pak?” tanya Pak Lukman.
“Anu Pak... anu...”
“Ayo, katakanlah. Tak usah Bapak sungkan menyampaikannya kepada saya.”
“Iya Pak, anu... Oh iya, anu...”
Pak Lukman tersenyum memandang wajah bapak yang terlihat lucu dan salah tingkah.
“Bapak ingin menyampaikan apa?” ulangnya lagi.
“Anu Pak... apakah ada uang sekolah si Agam yang belum lunas, Pak?” jawab Bapak kemudian.
Pak Lukman kembali tersenyum.
“Oh, itu tak usah Bapak pikirkan. Tidak ada uang yang harus Bapak bayarkan. Semuanya sudah selesai.”
“Alhamdulillah, terima kasih banyak, Pak. Semoga Allah membalas budi baik Bapak.”
Bapak menyalami tangan Pak Lukman penuh takzim. Diciumnya tangan itu, tetapi Pak Lukman cepat menarik tangannya dan tak ingin dicium.
“Sudahlah, Pak. Tak ada uang yang harus Bapak bayarkan. Malah saya ingin menitip ini sedikit buat sekolah si Agam nanti,” kata Pak Lukman sembari menyodorkan sebuah amplop.
“Apa ini, Pak?”
“Ambillah, sedikit uang.”
Bapak terlihat ragu menerima amplop itu. Bergetar kedua tangannya.
“Alhamdulillah ya Allah, terima kasih banyak Pak...”
Pak Lukman mengangguk. Dia tersenyum kepada bapak dan sekali-sekali memandang ke arahku.
“Sekarang Agam ikut Bapak ke ruang kelas ya. Agam berpamitan bersama guru dan kawan-kawan di kelas.”
Aku mengangguk. “Baik, Pak.” (bersambung)
Catatan: Novel ini belum pernah dipublikasikan. Pertama di Kompasiana.