PENGGUSURAN
Keesokan hari hingga beberapa hari berikutnya, aku, Bondan dan Anton bergerilya mencari tambahan uang untuk membayar ganti rugi pot bunga milik bapak Anton yang pecah disenggol sepeda bapak tempo hari. Bondan menjual belut dan ikan gabus hasil tangkapannya, aku dan Anton berjualan tebu di sekolah di saat istirahat. Alhamdulillah jualan kami laris manis. Tak lama sesudah itu kami berhasil mengumpulkan uang walau tidak banyak.
Bondan dan Anton menyerahkan semua uang hasil kerja mereka kepadaku. Di pondok petani tengah sawah tempat biasa kami bermain kami menghitung uang tersebut. Semua recehan limpol (lima puluh perak). Bunyinya gemerincing disaat uang logam itu jatuh di lantai pondok yang terbuat dari papan. Kami bersorak girang melihat jumlah uang yang lumayan banyak.
Uang itulah yang aku berikan kepada bapak di suatu hari ketika bapak hendak berangkat ke kota mengantarkan orderan kainnya yang telah selesai dijahit. Bapak melihat uang recehan setengah kantong plastik di tanganku. Uang itu lumayan berat. Bapak terkejut dan tiba-tiba marah kepadaku.
“Dari mana Kau mendapat uang sebanyak ini? Kau mencuri?”
“Tidak Pak, aku bekerja,” jawabku takut.
“Bekerja? Kerja apa? Kalau pun Kau bekerja butuh berbulan-bulan baru Kau dapat uang sebanyak ini,” kata Bapak lagi.
Ibu yang mendengar ribut-ribut suara Bapak langsung datang ke tengah rumah. Ibu habis mencuci pakaian.
“Ada apa Pak, kok ribut-ribut?” tanya ibu penasaran.
“Ini si Agam, dari mana dia dapat uang sebanyak ini?”
Ibu melihat isi kantong plastik yang ditunjuk Bapak di atas meja. Ibu menarik napas dalam-dalam.
“Siapa yang memberi Kau uang, Gam?” tanya ibu kepadaku.
“Aku bekerja, Bu,” ulangku lagi seperti yang sudah kukatakan kepada Bapak. Tapi bapak dan ibu agaknya tidak percaya.
Aku ceritakanlah bahwa aku mendapatkan uang itu tidak seorang diri. Aku, Bondan dan Anton bekerja bersama-sama mengumpulkan uang itu. Semua untuk bapak, untuk menolong masalah bapak.
Ketika aku menceritakan itu, mata bapak aku lihat berkaca-kaca. Ibu menangis. Mereka terharu mendengar ceritaku. Tiba-tiba bapak memeluk tubuhku yang kecil dan mengusap-usap kepalaku.
“Terima kasih, anakku. Maafkan Bapak...”
Bapak, ibu dan aku bertangis-tangisan di pagi itu. Aku menganggukkan kepala dan mengatakan kepada bapak dan ibu kalau aku sangat sayang kepada mereka. Aku tak ingin melihat bapak dan ibu susah apalagi bersedih. Yang aku sesali kenapa usiaku masih kecil ketika itu sehingga belum mampu bekerja lebih keras untuk menolong keluarga kami yang didera kemiskinan.
Bapak menyerahkan uang yang aku kumpulkan bersama Bondan dan Anton itu kepada ibu. Bapak meminta ibu yang menyerahkan uang itu kepada ibunya Anton. Sejak peristiwa rusaknya pot bunga milik ayah si Anton, bapak jadi segan berjumpa dengan keluarga Anton. Bukan bapak dendam, tidak. Bapak hanya menjaga perasaannya saja dan tak ingin memperpanjang masalah. Kepada ibu bapak berpesan untuk meminta maaf atas kejadian itu dan semoga semuanya menjadi baik kembali.
Uang itu diterima ibu Anton yang diserahkan ibu sebagai pengganti pot yang rusak sebab disenggol sepeda bapak. Sejak saat itu suasana di perumahan empat petak di tengah sawah di Kampung Tembung itu normal kembali. Hatiku lega masalah bapak telah selesai, walau bapak kian menjaga jarak dengan keluarga Anton.
Itulah hari-hari terakhir yang aku ingat sebelum tiba saat yang paling menyedihkan dialami keluarga kami, juga tetangga-tetanggaku yang berumah di tengah sawah. Sepekan kemudian, datang kabar tidak sedap dari aparat penertiban kota bahwa areal rumah di tengah sawah yang kami huni itu illegal. Empat rumah yang dibangun di tengah sawah, termasuk rumahku tidak mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Surat akte tanah juga tak kami miliki. Satu-satunya pegangan bapak hanya surat perjanjian jual beli tanah dengan si empunya tanah sebelumnya. Celakanya, tanah itu sejak lama bersengketa.
Satu dua kali surat peringatan datang dari kantor aparat. Kami diminta pindah dari lokasi itu. Kalau membandel aparat akan melakukan pembongkaran paksa. Selain itu diumumkan pula bahwa di lokasi rumah kami akan dibangun pabrik sepatu. Satu dua surat yang datang disambut bapak dengan kebingungan. Hal sama dialami keluarga Anton, Bondan dan tetangga lainnya. Kami tak tahu harus bersikap bagaimana. Maka tak berbalaslah kedua surat peringatan itu.
Surat yang ketiga datang dengan nada yang lebih keras. Bila dalam minggu ini lokasi tersebut tidak segera dikosongkan, maka aparat akan datang merubuhkannya!
Ampun! Terpekiklah kami semua di areal rumah tengah sawah itu. Artinya akan ada penggusuran besar-besaran. Akan datang kendaraan penghancur bangunan. Aku yang masih kecil merasakan kesusahan bapak dan ibu. Ibu tak henti-hentinya menangis siang dan malam. Aku lihat raut wajah bapak yang kusut membayangkan seandainya rumah kami digusur kemana kami hendak pindah.
Suatu malam berlangsunglah rapat antara bapak dengan tetangga-tetangga sebelah rumah. Mereka mengundang aparat kelurahan untuk meminta pertolongan. Tapi rapat itu tak membuahkan hasil apa-apa. Sebab semuanya bingung. Aparat kelurahan pun tak memberi solusi, mereka malah menakut-nakuti dan meminta kami segera mengosongkan rumah.
Tiga hari kemudian tibalah saat yang paling menakutkan itu. Puluhan aparat berbaju seragam datang ke lokasi rumah kami di tengah sawah. Sebuah kendaraan penghancur bangunan berukuran besar juga didatangkan. Suara mesinnya bagaikan suara harimau lapar yang mengaum. Semua kami histeris. Terpekik. Ibuku dan ibu-ibu tetangga lainnya memeluk anak-anak mereka. Aku ketakutan dalam pelukan ibu. Ibu menangis sejadi-jadinya. “Jangan gusur rumah kami... dimana kami akan tinggal lagi...!” Begitulah ratap semua orang di rumah tengah sawah disaat kesepakatan tak didapat antara pimpinan aparat dan kepala keluarga pemilik rumah di tengah sawah.
Tanpa dikomandoi puluhan aparat berwajah beringas itu masuk kedalam rumah. Mengeluarkan semua barang-barang yang ada. Kami diminta keluar rumah. Bahkan untuk menyusun buku-buku sekolahku pun aku tak diizinkan. Bapak terpekur di sudut pagar menyaksikan peristiwa itu. Bapak memeluk ibu dan memeluk tubuhku yang kecil. Bapak si Anton yang mantan preman itu diamankan aparat karena dia nekat hendak melawan aparat dengan mengacung-acungkan goloknya yang panjang. Polisi bersenjata sangatlah banyaknya. Wajah-wajah mereka beringas seolah tak berbelas kasihan. Ibu terus meraung meratapi nasib kami.
Dari jauh aku lihat Bondan menangis disamping tubuh ibu dan bapaknya. Dia memeluk tas dan buku pelajarannya. “Pak, aku mau jadi dokter, aku mau sekolah. Dimana kami akan tinggal! Kalian orang-orang jahat, tunggulah aku besar nanti, perbuatan kalian akan aku balas!” teriaknya. Tangannya mengepal tinju, diacung-acungkannya ke atas.
Tak ada orang yang mendengar ocehan Bondan. Siapa yang peduli akan cita-citanya yang mau jadi dokter. Siapa yang peduli pada keluarganya yang miskin sebagaimana keluarga kami yang juga miskin. Tak ada. Keluarga kami bagai sampah dibuat aparat-aparat itu.
Setelah semua barang-barang milik kami dikeluarkan dengan paksa dan ditumpuk-tumpuk bagai sampah di simpang jalan, keempat rumah itu pun dirubuhkan. Kendaraan penghancur bangunan dalam sekejap melumat rumah kami yang tak sebanding besarnya dengan besar tubuh kendaraan itu. Saat rumah yang dibangun bapak dengan keringat dan airmatanya rata dengan tanah, disaat itulah tubuh ibu jatuh dan tak sadarkan diri. Tak ada yang peduli. Bapak memeluk ibu. Memeluk tubuhku. (bersambung)
Catatan: Novel ini belum pernah dipublikasikan. Pertama di Kompasiana.