Keesokan harinya, kami menjalankan misi yang sudah dipersiapkan kemarin. Kebetulan hari itu hari minggu, jadi kami tidak bersekolah. Pagi-pagi sekali aku melihat Bondan berjalan di depan rumahku membawa alat-alat pancingnya. Dia menuju sawah. Tak lama kemudian keluar Anton mengikuti anak yang berbadan gempal itu. Aku memandang mereka dari balik jendela.
Sejak tadi malam aku lihat wajah bapak kusut. Kasihan sekali orangtuaku itu. Order jahitannya juga menumpuk. Bapak cuma punya satu mesin jahit merek Singer. Itupun usianya sudah sangat tua. Dengan mesin itulah bapak memenuhi nafkah keluarga kami.
Ibu ikut bersedih atas keadaan yang menimpa bapak itu. Tapi ibu tak dapat berbuat banyak. Bila membicarakan soal uang, tak jarang bapak dan ibu bertengkar di rumah. Akhirnya bapak dan ibu lebih banyak diam. Menjalankan tugas masing-masing saja. Jarang aku melihat bapak dan ibu duduk berdiskusi. Sebab kalau didiskusikan masalah yang terjadi akan bertambah runyam. Muncullah masalah baru yang ujung-ujungnya berbuah pertengkaran. Bapak dan ibu kadang-kadang tidak bisa mengendalikan emosinya. Saling mempertahankan ego masing-masing.
Sebagai anak satu-satunya di dalam keluarga, aku mulai memahami keadaan bapak dan ibu. Aku juga mulai belajar untuk tidak ingin banyak menuntut. Apa yang diberi bapak dan ibu aku terima dengan lapang dada. Aku sangat sayang kepada mereka. Aku tak ingin kehilangan bapak dan ibu dari kehidupanku.
Aku lihat dibalik jendela Bondan dan Anton sudah menghilang di tikungan pematang, aku pun cepat bergegas ke kamar mandi. Ibu memasak air di dapur. Bapak sibuk mengunting kain yang hendak dijahit.
"Kau sudah bangun? Tak biasa di hari minggu Kau bangun sepagi ini" ujar ibu tanpa menoleh ke arahku.
Aku tersenyum mendengar ucapan ibu. Handuk yang tergantung di tali jemuran di dinding dapur kuraih. Peralatan mandi kusiapkan lalu masuk ke dalam kamar mandi yang berdinding seng yang sudah berkarat. Daun pintunya berderit dan membuat gigi ngilu mendengarnya.
Kawan, jangan Kau bayangkan kamar mandi di rumahku seperti kamar mandi di kota-kota besar yang berdinding dan berlantai keramik. Kamar mandi di rumahku jauh dari apa yang Kau bayangkan. Untuk mendapatkan air aku harus menimbanya dulu ke dalam sumur bundar yang dalamnya lebih 10 meter. Airnya kuning pula. Agar air jernih, air sumur itu harus disaring dulu. Bapak membuat saringan air dari campuran tanah, pasir, batu dan ijuk. Agar kualitas air bagus, air sumur yang kuning itu disaring beberapa kali hingga air jernih. Selain mandi, mencuci, dan untuk bersih-bersih lainnya, di sumur itu pula kami menjadikannya sebagai sumber air minum.
Syukurlah kami jarang terkena penyakit. Bapak dan ibu cukup menjaga kebersihan. Walaupun lantai rumah kami lantai tanah, tapi cukup bersih. Tidur di atas dipan berkaki. Makanan tersimpan rapi di lemari kayu yang dibuat bapak. Begitu pula pakaian. Tapi karena rumah kami berada di areal persawahan, sudah sangat sering rumahku dimasuki binatang yang paling aku takuti. Siapa lagi kalau bukan ular! Brrr...! Ular sering ngumpet di kolong tempat tidur, kadangpula masuk ke dapur lalu menyelinap ke kamar mandi. Pernah suatu kali ketika akan menimba air, aku melihat kepala ular menyembul di dalam sumur. Kontan saja aku histeris, berteriak lalu kabur ke pelukan bapak. Heboh seisi rumah.
Kalau soal menangani ular, bapaklah ahlinya. Di rumah selalu tersedia garam dan sebatang bambu panjang. Konon kata orang, ular takut dengan bambu dan garam. Ketika ular masuk ke dalam sumur bapak langsung beraksi, ular ditusuk-tusuk pakai galah bambu. Eh, tak lama kemudian entah kemana menghilang ular sebesar jempol kakiku itu. Mungkin karena sumur kami berdinding tanah dan banyak lubang-lubang mata airnya, bisa saja ular itu menghilang ke dalam lubang. Tapi setiap kali akan mandi aku selalu bergidik, jangan-jangan ular itu masuk kedalam timba lalu ngaso di dalam ember kemudian ikut mandi sembari menggerayangi tubuhku. Hiiii... aku merinding membayangkan itu.
Ah, sudahlah. Aku tak mau bercerita soal ular lagi. Cukup sudah pengalaman yang mengerikan itu. Pokoknya aku bermusuhan dengan ular. Kalau bisa aku tak pernah berjumpa lagi dengan makluk melata itu.
Tak lama sesudah mandi aku bergegas ke dalam kamar. Berganti pakaian. Baju yang aku pakai adalah baju sekolah yang telah robek di pundaknya. Baju itu sudah usang dan tidak kupakai bila ke sekolah. Bapak sudah menjahitnya beberapa kali, tapi robek lagi. Mungkin kualitas kainnya yang murahan jadi mudah robek. Tapi baju itu masih bisa kupakai bila dibawa ke sawah.
Usai berpakaian ibu menyuruhku sarapan. Paling sarapan dengan rebusan singkong. Lumayanlah untuk mengganjal perut. Walau makan singkong tapi umbian itu banyak manfaatnya. Satu diantaranya melancarkan pencernaan. Kau akan terkentut-kentut bila banyak makan singkong. Perut akan terasa lapang. Tapi jangan coba-coba kentut sembarangan, akan banyak korban berjatuhan.
"Kau mau pergi kemana?" tanya ibu lagi.
"Ke warung Nek Ani, Bu. Bantu-bantu Nek Ani lagi," ujarku.
Ibu tak bicara lagi. Dia sibuk dengan piring-piring yang menumpuk di dapur.
"Bagaimana pelajaran sekolah Kau, Gam? Apa ada PR?" giliran bapak bertanya.
"Gak ada, Pak," jawabku singkat.
"Ya sudah, jangan terlalu sore pulangnya," kata Bapak lagi.
Aku mengangguk. Setelah selesai sarapan aku minta izin kepada bapak dan ibu, sembari mencium kedua tangannya. Bapak mengusap-usap kepalaku. Bapak tidak tahu kalau hari itu aku, Bondan dan Anton menjalankan misi untuk membantu meringankan masalah bapak.
Aku bergegas keluar rumah langsung menuju warung Nek Ani yang berjualan sate kerang, menu khasnya. Sesampainya di sana aku disambut nenek yang ramah itu. Sudah beberapa pekan aku tak membantunya di warung karena ada kesibukan lain. Tapi Nek Ani tidak marah, dia selalu senang bila aku menyempatkan diri membantunya di warungnya yang selalu ramai itu.
Maka mulailah aku bekerja dengan rajin. Nek Ani terheran-heran melihat semangat kerjaku yang tinggi. Beberapa pengunjung warung Nek Ani mulai akrab denganku lalu ada beberapa diantara mereka yang menyelipkan serupiah dua rupiah ke kantong saku celana yang kupakai. Tentu saja aku senang.
Ketika hendak pulang Nek Ani ingin menghadiahkan aku dua tusuk sate kerang seperti biasa yang aku terima setiap kali selesai bekerja di warungnya. Tapi kali itu aku menolak. Nek Ani heran, lalu bertanya kepadaku.
"Kenapa Kau tolak pemberian Nenek?"
Aku senyum malu. Sembari memutar-mutar ujung baju akupun menyampaikan keinginanku agar mendapat sedikit uang lebih.
"Maaf Nek, kalau Nenek tidak keberatan, dua tusuk sate kerang itu Nenek ganti dengan uang, ya?" ujarku kemudian. Wajahku memerah karena malu.
Kening Nek Ani berkerut.
"Lho, Kau tak suka lagi makan sate kerang buatan Nenek?" tanyanya heran.
Aku kikuk. Kehilangan kata-kata untuk menjawab.
"Bukan Nek, aku suka. Tapi... anu... Nek, aku..."
"Tapi kenapa?" tanyanya lagi.
Aku bertambah bingung harus menjawab apa. Aku tak mungkin berterus terang uang itu untuk membantu meringankan masalah bapak. Aku, Bondan dan Anton sudah berjanji untuk merahasiakan masalah itu, agar ceritanya tidak semakin menyebar kemana-mana.
"Aku... aku mau beli buku tulis, Nek!" jawabku tiba-tiba. Entah dari mana kalimat itu datangnya. Tapi hatiku tidak enak karena aku telah berbohong kepada Nek Ani.
Mendengar ucapanku Nek Ani tersenyum, kemudian melangkah ke meja kerjanyan lalu membuka laci kecil yang dikunci. Aku lihat Nek Ani mengambil beberapa rupiah uang receh, menambah upah kerjaku di hari itu.
"Kau harus berjanji rajin belajar, ya," kata Nek Ani sembari menyerahkan uang itu.
Kusambut uang pemberian Nek Ani dengan senyum. Aku gembira sekali. Setidaknya uang itu untuk menambah uang yang dibutuhkan bapak nanti untuk melunasi hutangnya gara-gara pot bunga sialan milik ayah Anton. (bersambung)
Catatan: Novel ini belum pernah dipublikasikan. Pertama di Kompasiana.