Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Cinta Regu Badak (11)

30 Oktober 2011   02:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:18 101 0
7
BERJUALAN TEBU DI SEKOLAH


Tembung di tahun 80-an banyak penduduknya bertanam tebu. Beberapa pengusaha Tionghoa membangun pabrik pengolahan tebu untuk dijadikan gula. Tebu-tebu yang ditanam warga secara massal dibeli oleh tengkulak lalu dijual ke toke-toke Tionghoa. Bila harga cocok berpindahlah tebu berikat-ikat banyaknya ke gudang-gudang besar di daerah itu.

Di hari libur aku dan Bondan sering bermain ke ladang-ladang penduduk dan meminta sisa-sisa tebu yang tidak dijual ke tengkulak. Tentu saja sebelum mendapatkan tebu kami harus bekerja dulu, diantaranya membersihkan sampah-sampah daun dan tunggul tebu di ladang-ladang yang luas. Walau tidak sesuai dengan upah yang diberikan, tapi kami senang melakukan pekerjaan itu.

Setelah selesai bekerja kami bebas mengambil tebu-tebu yang tinggi batangnya melebihi tubuh kami. Tubuhku yang kecil tentu tak dapat membawa banyak tebu-tebu itu. Paling banyak dua atau tiga batang saja. Kalau Bondan bisa sampai enam batang sekali angkut. Hebat dia.

Sesampainya di rumah kami membersihkan tebu dari kulitnya, dicuci bersih hingga terlihat isinya yang putih. Lalu dipotong kecil-kecil. Potongan-potongan tebu itulah yang kami kunyah dan isap. Terasa manis di lidah dan segar di tenggorokan. Bila berlebih kami bagi ke kawan-kawan yang lain.

Karena kami membutuhkan uang jajan, Bondan punya ide untuk berjualan tebu. Tebu-tebu yang dipotong kecil-kecil itu dicuci bersih lalu dimasukkan ke dalam plastik. Satu plastik tebu harganya lima rupiah. Mulanya aku menolak karena tidak berbakat berjualan, tapi karena melihat semangat Bondan akhirnya aku ikut juga berjualan tebu.

Siapa sangka jualan kami laris manis. Selain menjualnya pada kawan-kawan tetangga di komplek rumah tengah sawah tempat kami tinggal, kami juga menjualnya di sekolah di saat jam istirahat. Kawan-kawan berebutan membelinya. Aku dan Bondan semakin semangat mencari uang untuk menambah jajan.

“Wah, kalau begini kita bisa kaya Men,” ujar Bondan sembari menghitung uang hasil jualan kami.

Aku tersenyum-senyum saja.

“Tapi kalau kita berjualan terus nanti mengganggu pelajaran kita di sekolah, Ndan,” kataku kemudian.

“Ah, yang penting pandai-pandai saja kita membagi waktu,” jawabnya enteng.

Melihat kami berjualan di kelas beberapa orang guru mendukung dan memberikan semangat. Hanya seorang guru yang menjadi halangan kami, dialah Bu Titin, guru matematika yang cerewet. Kau ingatkan ketika dulu aku didaftarkan bapak ke sekolah dan disambut Bu Titin dengan ketus karena tangan kananku tak sampai menjangkau ujung telinga kiri? Ya, dialah orangnya. Guru yang super cerewet di sekolah itu. Walau nilai matematikaku bagus semua, tapi kalau melakukan kegiatan lain yang tak ada kaitannya dengan sekolah, habis deh kami diceramahinya.

“Kau mau sekolah atau mau berdagang? Kalau berdagang tak usah sekolah, sana buka kedai di depan pagar sekolah!” hardiknya suatu hari.

Wajah Bondan memerah. Aku takut. Kalimatnya itu menciutkan nyali kami.

Di sekolah itu aku dan Bondan anak yang tergolong dari keluarga kurang mampu. Kami kadang diberi uang jajan oleh orangtua tapi seringnya tidak berjajan. Aku sering sedih melihat keadaanku. Tapi syukurlah bapak dan ibu masih mau menyuruhku sekolah, dengan harapan ketika dewasa kelak hidupku berobah.

Aku sering melihat kawan-kawanku yang orangtua mereka mampu jajan dengan sangat banyaknya di sekolah. Di pojok taman sekolah aku hanya dapat melihat dengan jakun turun naik ketika mereka mencicipi makanan. Nikmat nian. Tapi apa hendak dikata, aku tak punya apa-apa.

Bondan juga demikian. Tak ubahnya dengan keadaanku. Karena kedua orangtuanya tak mampu membelikan buku akhirnya ia tak punya bahan bacaan untuk mengulang pelajaran. Di masa itu belum ada mesin fotocopy. Sebab keadaan itu pula ia pernah tinggal kelas.

Tapi sejak ia mengungkapkan cita-citanya ingin menjadi dokter, saat itu pula dia bertekad rajin belajar. Tak sungkan dia bertanya kepadaku bila ada pelajaran yang tak diketahuinya. Dengan senang hati aku memberi tahu, sebab hanya dialah satu-satunya sahabat terbaikku.

Suatu hari karena masalah kami berjualan tebu di sekolah semakin luas diketahui semua orang, khususnya guru dan kawan-kawan kami, akhirnya aku dan bondan dipanggil ke ruang kepala sekolah. Aku dan bondan mengira kami akan dimarahi Pak Lukman, kepala sekolah kami.

“Bapak memanggil kami?” tanyaku takut-takut.

“Iya, masuklah,” kata Pak Lukman.

Aku dan Bondan masuk dan duduk di kursi tamu di ruangan kepala sekolah. Beberapa saat suasana hening. Pak Lukman masih sibuk menandatangani berkas-berkas yang menumpuk di atas meja kerjanya. Aku dan Bondan saling pandang karena seolah dibiarkan saja diam di kursi tamu.

“Ada apa ya Pak, Bapak memanggil kami?” tanyaku lagi. Pak Lukman masih sibuk dengan pekerjaannya. Melihat kami pun tidak. Dia berdehem sekali-kali.

“Iya, sebentar. Saya selesaikan ini dulu,” jawabnya singkat.

Setelah itu suasana hening.

Di luar terdengar lonceng dipukul, tanda jam sekolah berakhir. Mungkinkah kami diskor dari sekolah hanya gara-gara berjualan tebu? Bermacam pikiran menghantui kami.

Barulah ketika berkas terakhir selesai ditandatangani Pak Lukman, orang tua itu memandang kami dengan senyum, lalu berdiri dan duduk di kursi tamu bersama kami.

“Agam, Bondan, bagaimana kabar orangtua kalian?” tanyanya ramah.

“Baik, Pak,” jawab kami serentak. Lalu saling pandang lagi.

“Syukurlah. Bapak senang mendengarnya.”

Pak Lukman memandang aku dan Bondan satu persatu. Kami tak berani memandang wajah Pak Lukman, takut kalau dia marah.

“Oh ya, Bapak dengar kalian berjualan di sekolah. Apa benar?” tanya Pak Lukman kemudian.

“Iya Pak,” jawab kami lagi serentak. Jantungku mulai berdegup cepat, takut kalau-kalau pak Lukman marah.

“Jualan apa?”

“Tebu, Pak,” jawab Bondan. Aku diam.

“Oh, tebu. Dari mana kalian dapatkan tebu itu? Ada laris jualannya?” tanya pak Lukman lagi.

Bondan semangat menjawab. “Alhamdulillah, kami mendapatkannya dengan bekerja di ladang tebu penduduk, Pak. Upahnya kami diberi tebu, lalu kami jual kembali agar kami dapat uang jajan.”

Pak Bondan mengangguk-angguk. Aku masih diam.

“Hmm, Bapak senang mendengarnya. Kalian anak yang rajin bekerja. Bapak tidak melarang kalian berjualan di sekolah, asal jangan mengganggu pelajaran dan tugas-tugas yang diberikan guru harus dikerjakan semuanya,” kata Pak Lukman sembari menepuk-nepuk pelan pundak kami berdua.

Alhamdulillah, Pak Lukman tidak marah. Aku mengira kami akan diceramahi habis-habisan lalu diskor dari sekolah karena berjualan tebu. Nyatanya tidak. Pak Lukman benar-benar kepala sekolah yang bijaksana, tahu keadaan muridnya yang kurang mampu seperti kami.

“Siap, Pak. Kami laksanakan nasihat Bapak!”

Bondan mengucapkan kata-kata itu sembari berdiri dan meletakkan tangan kanannya di kening kepalanya. Dia memberi hormat kepada Pak Lukman. Aku pun ikut-ikutan berdiri. Memberi hormat pula. Pak Lukman yang melihat ulah kami tersenyum lalu tertawa.

“Ya, ya. Pulanglah kalian. Jangan sampai lupa belajar di rumah,” ujarnya lagi.

Kami menggangguk senang lalu mencium tangan pak Lukman. Kami pamit dari ruang kerjanya. Di luar sekolah suasana telah sepi. Aku dan Bondan pulang dengan hati lapang. (bersambung)

Catatan: Novel ini belum pernah dipublikasikan. Pertama di Kompasiana.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun