ADU LAYANG-LAYANG
Aku tak suka bermain di sawah, apalagi menangkap belut. Walau berkali-kali Bondan mengajakku memancing belut, hampir semua ajakannya aku tolak. Ada sih beberapa kali aku ikut dia menangkap belut dengan pancingnya yang unik itu. Dapat juga belutnya, lumayan besar. Untunglah tidak dimakan ular lagi. Aku senang melihat caranya memancing hewan berbadan licin itu. Tapi tetap saja aku tidak suka pekerjaan itu.
Kalaulah ditanya apa permainan yang paling menyenangkan di dalam hidupku, hanya satu jawabannya; layangan. Ya, hanya itu permainan yang membuat aku larut hingga lupa seharian. Kalaulah tidak sekolah, tentu setiap hari aku bermain layangan saja di lapangan. Kalau sudah lupa waktu, ibu marah-marah. Tak jarang Bondan menjadi mata-mata ibu dan sering melaporkan aku kepada ibu bila aku tak mau pulang kalau sudah bermain layang-layang.
Ketika musim layangan tiba, banyak sekali layangan beragam bentuk dan warna menghias angkasa. Mulai layangan berukuran besar hingga layangan ukuran kecil. Beberapa kali terlihat layangan putus meliuk-liuk dibawa angin dan dikejar anak-anak seusiaku. Beramai-ramai. Aku juga ikut mengejar walau sering hanya dapat sobekan ekornya saja.
Yang paling asyik adalah adu layangan. Ini pertandingan penuh gengsi. Benangnya harus tajam. Agar tajam dibuatlah ramuan khusus dari pecahan kaca. Bondan ahlinya soal buat-membuat ramuan benang tajam itu. Beberapa kali benang layanganku dia yang meramu. Entah apa saja bahan ramuannya. Ada getah pohon ini pohon itu, ada bunga kembang sepatu, diperas dan diaduk lalu disaring dengan kain tipis. Air saringannya dimasak sekental-kentalnya. Benang layangan itu direndam beberapa lama di dalam kaleng yang sudah berisi ramuan. Sesudah ramuan dingin benang dijemur dengan cara mengikat dan mengulurnya dari satu pohon ke pohon lain hingga isi gulungan benang habis. Bila mujur matahari terik hanya dibutuhkan waktu beberapa jam saja untuk mendapatka hasil benang yang bagus. Kalau mendung, agak lama benang kering dan kualitasnya tidak bagus.
Bondan bukan saja ahli membuat ramuan benang layangan adu. Tetapi dia juga sering memenangkan lomba adu layangan. Jarang dia kalah. Aku yang selalu berada didekatnya dan dibuatkan ramuan benang adu itu, tak pernah menang-menang. Layanganku selalu putus dibantai lawan.
“Setajam apapun benang Kau itu, kalau tak pandai mengadu layangan, putuslah dia,” kata Bondan suatu hari di lapangan.
“Maksud Kau, Ndan?” tanyaku.
“Kau harus punya taktik dan strategi jitu agar layanganmu tak cepat putus. Jangan Kau tahan saja benangnya ketika lawan sudah menyerempet ke benang Kau. Pandai-pandailah Kau mengulur dan menariknya,” katanya mengajarkan cara agar bisa menang mengadu layangan.
Aku mengangguk-angguk paham. Hebat betul dia. Sudah banyak makan asam garam kalau soal berlaga layangan.
Lagi asyik menyiapkan layangan dan benang hendak dimainkan, tiba-tiba datang empat orang anak-anak seusia kami. Badannya lebih besar dari Bondan. Mereka si Ateng, Ucok, Toni dan Dodon. Keempatnya anak kampung tetangga sebelah. Kedatangan mereka tak bersahabat. Keempatnya berkecak pinggang. Menghardik aku dan Bondan.
“Oi! Kalian mau adu layangan dengan kami? Harus mau! Oke?!” hardik si Ucok.
Bondan melihat kedatangan mereka, ia berdiri seketika.
“Eh, Ndan. Tuh anak mana? Orang baru di sini, ya?” tanya Ateng sembari menunjukkan tangan kirinya ke arahku.
Aku yang ditunjuk diam. Tubuhku yang kecil menggigil melihat tubuh mereka yang besar-besar.
“Ini si Agam. Kawanku. Mau apa kalian?” balas Bondan.
“Oo, teman Kau, ya? Kalau begitu ayolah kita kerjai dia. Kita buka celananya!” tambah Dodon menakut-nakuti aku. Aku bertambah menggigil. Mereka tertawa mengejek.
“Awas kalau kalian berani ganggu dia!” teriak Bondan. Tawa keempat anak itu berhenti. Kecut juga agaknya mereka digertak Bondan yang tak kalah besar badan dan suaranya.
Walau demikian, mereka belum beranjak pergi. Layanganku ingin dirampas Dodon. Bondan menghadang. Hampir terjadi dorong-dorongan.
Ketika teman Dodon mendekati Bondan. Mereka akan mengeroyok Bondan. Aku ketakutan. Tapi Bondan tenang saja. Tak sedikit pun kulihat dia takut atau mundur langkah ke belakang.
“Pengecut kalian, beraninya main keroyok. Kalau berani, ayo satu lawan satu!” tantang Bondan. Keempat anak itu diam. Saling melirik. Aku tak mau terjadi apa-apa terhadap Bondan, walau dia berani.
“Eh, tunggu. Tunggu!” teriakku kemudian. Aku beranikan diri bersuara.
Bondan dan keempat anak itu melihat ke arahku.
“Buat apa kita berkelahi? Gak ada gunanya, bukan? Begini saja, kita adu layangan. Gimana? Yang menang harus berjanji pergi dari lapangan ini ya?” ujarku sok diplomatis. Apa yang kuomongkan itupun meluncur begitu saja.
“Kalau kau kalah?” hardik Ucok dengan sorot matanya yang tajam.
Ufh, aku gelagapan. Kalau aku kalah, apa hukuman yang harus aku terima? Lama juga aku hilang akal. Diam beribu bahasa.
“Ah, begini saja. Kalau aku kalah, kubelikan kalian layang-layang,” jawabku asal bicara.
Bondan melirikku. Keningnya terlihat berkerut.
“Gila, Kau. Mana uang Kau beli layang-layang empat buah banyaknya?” Bondan marah.
Keempat anak itu tertawa terkekeh.
“Oke juga usulan Kau itu. Baiklah kalau begitu, ayo kita berlaga,” Ucok mengajak kawan-kawannya menjauh. Mereka mempersiapkan benang dan layangan di sudut lapangan. Angin sangat mendukung untuk mengadu layangan. Lapangan rumput itu luas. Tak ada halangan pepohonan yang tumbuh di sekitar.
Lama juga aku terpaku. Bingung apa yang harus kuperbuat. Akankah aku dapat memenangkan pertandingan? Aku tidak mahir adu layangan. Kalaulah Bondan nanti membantu, tentulah dia tak dapat sekaligus mengalahkan empat layangan yang menyerang layangan kami. Konon mereka juga jago-jago main layangan. Tapi gendang perang sudah dibunyikan. Tak ada lagi kata mundur ke belakang. Kalaulah lari dari pertandingan itu, hendak kemana muka ini dibawa pergi?
Ah, tak banyak lagi yang aku pikirkan. Tanpa bicara kepada Bondan, kusiapkan benang dan layangan. Apapun yang terjadi, terjadilah. Aku telah siap menerima. Kalaupun aku kalah, aku terima pula dengan jiwa besar. Entahlah bagaimana caranya nanti aku siapkan hadiah layangan buat mereka yang menang. Pikiranku fokus untuk memenangkan pertandingan.
Bondan yang melihat semangatku itu tak diam. Ia mendekat kepadaku. Dipukulnya pundakku pelan.
“Kau hebat, Men. Aku bantu Kau. Kita lawan mereka. Dua layangan lawan empat layangan. Ayolah!” ujar Bondan tiba-tiba. Pandangannya penuh wibawa.
Aku tersenyum menatapnya. Semangatku tumbuh kembali. Dukungan Bondan itu membuat aku yakin bahwa kami nanti akan memenangkan pertandingan. (bersambung)
Catatan: Novel ini belum pernah dipublikasikan. Pertama di Kompasiana.