Refleksi sejarah santri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah bukti nyata bahwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya bersifat politik dan militer, tetapi juga melibatkan dimensi spiritual dan intelektual. Peran santri dalam meraih kemerdekaan menunjukkan bahwa semangat keagamaan dan nilai-nilai moral dapat menjadi sumber inspirasi dan kekuatan dalam menghadapi penjajahan. Salah satu bentuk bukti santri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia ketika sangan umum 1 Maret 1949, Pada awal tahun 1949, ketika Indonesia berada di ambang kemerdekaan, Belanda melancarkan serangan militer untuk merebut kembali Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota Republik Indonesia. Pemerintahan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta tertahan di Yogyakarta dalam situasi yang kritis. Dalam menghadapi ancaman ini, para santri dari berbagai pesantren di Yogyakarta, seperti pesantren Sunan Drajat dan pesantren Tegalsari, bersatu untuk membentuk pasukan sukarelawan. Mereka secara sukarela mendaftar sebagai pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan. Puluhan ribu santri dari berbagai pesantren datang dengan senjata tradisional seperti bambu runcing, tombak, dan senjata sederhana lainnya untuk bergabung dalam pertahanan. Pada 1 Maret 1949, pasukan santri ini bersama dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan rakyat sipil melancarkan perlawanan heroik terhadap pasukan Belanda yang jauh lebih kuat. Meskipun menghadapi keterbatasan persenjataan dan logistik, semangat juang dan tekad mereka untuk mempertahankan kemerdekaan sangat kuat. Serangan Umum 1 Maret 1949 berlangsung dengan pertempuran sengit di berbagai titik di Yogyakarta. Santri-satri ini berjuang dengan gigih melawan pasukan Belanda, menggunakan taktik gerilya dan semangat keberanian yang menginspirasi. Mereka tidak hanya melindungi wilayah Yogyakarta, tetapi juga menjadi simbol perlawanan nasional terhadap upaya kolonial untuk menghancurkan semangat kemerdekaan Indonesia. Kesungguhan perjuangan santri dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 memberikan dampak yang signifikan. Perlawanan ini menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia siap mempertahankan kemerdekaannya dan bahwa semangat nasionalisme dan persatuan sangat kuat di kalangan masyarakat, termasuk di kalangan santri. Serangan Umum 1 Maret 1949 akhirnya menghasilkan gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda, membuka jalan menuju pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia. Kisah perjuangan santri dalam pertempuran ini menjadi warisan inspiratif bagi generasi muda Indonesia, mengajarkan pentingnya semangat perjuangan, keberanian, dan pengorbanan dalam menjaga dan mempertahankan kedaulatan bangsa. Dan juga ketika tanggal 22 Oktober 1945 terdapat seruan resolusi jihad yang disampaikan hadrotusyeikh KH. Hasyim As'ari. Ada buku KH. Hasyim Asy'ari-Pengabdian Seorang Kyai Kepada Negara oleh Rijal Muumaziq, menjelaskan bahwa saat itu Indonesia sedang mempertahankan kemerdekaannya dari tekanan kolonial. Berbagai upaya dan provokasi telah dilakukan untuk memperlemah kemerdekaan Indonesia. Mulai dari perobekan bendera Belanda pada 19 September 1945 hingga perampasan senjata oleh tentara Jepang pada 23 September 1945. Situasi memanas, mendorong Presiden Soekarno berkonsultasi dengan KH Hasyim Asy'ari. "Presiden Soekarno berdiskusi dengan KH Hasyim Asy'ari yang berpengaruh di kalangan ulama. Melalui utusannya, Presiden menanyakan tentang UU Pelindung Kemerdekaan," tulis Rijal di koran Muumaziq. KH Hasyim Asy'ari mengatakan bahwa umat Islam harus mempertahankan tanah airnya dari ancaman asing. Kemudian, pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asy'ari berinisiatif mengadakan pertemuan konsul PBB di Jawa dan Madura di Bubutan, Surabaya.
KEMBALI KE ARTIKEL