Malam itu kakak laki - laki saya sedang terkena sakit demam yang membuat suhu badannya panas sekali. Ayah saya ketika tidak berada di rumah karena sedang bekerja di luar kota. Keadaan kakak saya ketika itu sudah sangat mengkhawatirkan dan sangat butuh sekali untuk di bawa ke puskesmas. Hanya saja ketika itu ibu saya kebetulan tidak memiliki uang untuk membayar biaya pengobatan. Perlu untuk diketahui bahwa saat itu jika membawa orang sakit puskesmas harus sudah membawa uang karena begitu tiba harus langsung membayar. Ibu saya kemudian berinisiatif untuk meminjam uang kepada istri dari kakak suami ibu saya. Tetapi jawaban yang didapat ketika itu sangat menyakitkan hati ibu say. Ibu saya dikatakan sebagai orang yang tahunya hanya meminjam dan tak jelas apakah bisa mengembalikan atau tidak. Ibu saya memohon dengan sangat tetapi istri dari kakak ayah saya itu malah mengatakan tidak memiliki uang untuk dipinjamkan padahal ibu saya tahu saat itu istri dari kakak ayah saya itu baru saja mendapatkan arisan. Ibu saya kemudian memilih pamit untuk pulang kembali kerumah. Sampai dirumah ibu saya sampai menitikkan air mata karena tak tahu harus meminjam uang kemana lagi tengah malam itu. Ibu saya kemudian teringat dengan Mbak Iss (sekarang sudah almarhum) yang mempunyai toko kelontong. Akhirnya ibu saya tengah malam sambil menggendong kakak saya yang sakit itu menuju kerumah Mbak Iss. Sesampainya di sana dengan penuh harap ibu saya mengatakan ingin meminjam uang sebesar Rp 20.000 dengan jaminan kalung emas ibu saya seberat 5 gram. Jawaban yang didapat ibu saya sungguh diluar dugaan, Mbak Iss bukan hanya meminjamkan tetapi malah memberikan secara cuma - cuma uang sebesar Rp 20.000 itu dan mengatakan jika kurang ibu saya bisa menghubunginya lagi. Mbak Iss kasihan dengan keadaan kakak saya yang jika tidak dibawa ke puskesmas ketika itu mungkin saja kakak saya itu sudah tidak berada di dunia lagi. Ibu saya saya berterima kasih ketika itu bahkan sampai sujud syukur. Akhirnya kakak saya dibawa ke puskesmas dan mendapatkan perawatan hingga sembuh.
Saya menangis terharu ketika ibu menceritakan ulang kejadian itu ketika Mbak Iss meninggal 3 tahun yang lalu. Yang membuat saya lebih terharu adalah Mbak Iss ini bukan saudara apalagi keluarga. Bahkan Mbak Iss ini beragama nasrani. Tetapi itu tidak menjadi penghalang beliau untuk menunjukkan sisi kemanusiaan dari seorang manusia. Dari cerita ibu saya ini, saya mengambil pelajaran bahwa dalam menolong seseorang jangan pernah melihat latar belakangnya, status sosialnya, bahkan agamanya. Yang harus kita lihat adalah apakah orang yang kita berikan pertolongan itu benar - benar membutuhkan pertolongan atau tidak. Semoga amal ibadah Mbak Iss diterima oleh tuhan yang maha esa. Dan semoga kisah ini bisa menginpirasi kita untuk saling menolong sesama dan bisa menjadi tetangga yang baik bagi orang yang tinggal di sekitar anda. Amin.