Namun demikian, brutalitas kadang dipoles dengan religiusitas. Kadang pula, religiusitas ditafsirkan dengan brutalitas. Hal ini banyak dijumpai pada oknum-oknum yang overdosis agama, namun krisis paham keagamaan. Mereka militan dalam beragama, namun minim dalam ilmu agama.
Richard Dawkins menganjurkan untuk tidak serius dalam beragama. Menurutnya, orang yang baik dalam beragama adalah yang tidak serius dalam beragama.
Beragama mesti totalitas, dijalani dengan serius. Tanpa keseriusan, tidak ada spirit untuk membela agama. Akibatnya, dalam ranah teoritis akan berujung pada relatifisme, dan pada ranah praktis akan bermuara pada sikap masabodoh.
Militansi agama adalah satu bentuk keseriusan dalam beragama. Militansi dibuktikan dengan kesiapan untuk hidup dalam bingkai agama, dan kerelaan untuk mati dalam misi agama. Pada hakikatnya, tanpa militansi para penganutnya, setiap agama, dan juga setiap ideologi, dipastikan mengalami kematian eksistensi; ia hanya akan menjadi perbincangan sejarah, bahwa ia pernah ada.
Akan tetapi, keseriusan dan militansi agama mesti diarahkan oleh pengetahuan keagamaan yang berpijak pada rasionalitas. Â Ini penting, agar militansi agama tidak diperalat oleh politikus dunia untuk kepentingan kekuasaan, agar militansi agama tidak salah arah, dan tidak berkata: "yang beda harus mati".
Dalam firman-Nya, Tuhan mengecam orang-orang yang tidak menggunakan akalnya. Termasuk, mereka yang beragama tanpa akal. Seakan Tuhan ingin mengingatkan bahwa, beragama tanpa akal adalah brutal, adalah militansi tanpa welas asih. Beringas, tapi merasa religius.
Sejarah yang tidak begitu jauh ke belakang, mencatatkan jejak segerombolan orang-orang beringas, namun berhias ornamen dan ucapan yang sarat religiuisitas. Mereka memenggal kepala orang-orang yang tak berdosa, lantas memainkannya seperti bola.
Yang paling miris, semua itu dilakukan sembari memekikkan nama suci Tuhan. Mereka tidak begitu malu mencatut "Islam" sebagai bagian dari nama kelompok mereka.
Dan bebaru ini, kita melihat perilaku brutal dari sekelompok orang yang tampak religius. Korban kebrutalan mereka adalah salah seorang pegiat medsos yang dikenal nasionalis, anti radikalisme dan terorisme.
Tampaknya, kritikannya di dunia maya tak bisa ditangkis. Maka di dunia nyata, dalam sebuah aksi unjuk rasa, ramai-ramailah ia dihujani tinju oleh mereka yang tak mampu beradu logika dengannya. Ia dikeroyok di tengah massa, ia tak berdaya, usianya juga tak lagi muda, sekira 61 tahun.
Tapi, pengeroyok itu benar-benar bar-bar. Bahkan, mereka merasa perlu melucuti celana korbannya, sembari meneriakkan kalimat-kalimat suci, merasa sedang ibadah. Inilah militansi yang kehilangan nurani.
Sebagai teladan yang baik (33:21), Rasul saw megajarkan etika perang. Bahwa masyarakat sipil, tak boleh jadi korban. Bahkan tetumbuhan, jangan sampai dirusakkan. Bahwa musuh yang tak berdaya, tak patut dianiaya, apatahlagi yang sebenarnya bukan musuh.
Bekasi,24 Mei 2022
By : Muhammad Rifqy Nur Fauzan