Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Komunitas Berpagar: Ancaman bagi Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta?

5 Juni 2014   05:06 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:17 1436 1


Komunitas Berpagar: Ancaman bagi Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta?


Komunitas berpagar (gated community) merupakan salah satu fenomena yang tak terpisahakan dari kehidupan berbagai kota besar di dunia. Keberadaannya pun telah menjadi diskurus ilmuwan dan pemerhati dari berbagai disiplin ilmu. Lalu, bagaimana dengan Yogyakarta? Sejauh mana eksistensi komunitas berpagar dalam bingkai perkembangan fisik kota Yogyakarta, yang belakangan dikenal dengan istilah Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta (APY) ?


Komunitas Berpagar: Siapa dan Mengapa?


Quintal & Thompson (2007) menjelaskan bahwa definisi komunitas berpagar digunakan untuk menyebutkan kawasan permukiman yang memiliki ciri pengamanan lingkungan dalam bentuk fisik, seperti penggunaan portal, pagar keliling, satpam, dan kamera CCTV. Cahyono (2010) menyimpulkan dari berbagai referensi tentang ciri komunitas berpagar, yaitu: (1) mempunyai gerbang untuk memasuki kawasan tersebut dan pagar yang mengelilingi seluruh permukiman, (2) terdapat pengamanan di gerbang, (3) beberepa dilengkapi dengan kebutuhan eksklusif seperti sekolah, pusat perbelanjaan, pusat kesehatan, dll, (4) bentuk perumahan berupa klaster, (5) lokasi strategis dengan nilai jual tinggi, (6) perumahan mewah dan eksklusif (7) membentuk komunitas tertentu karena kesamaan etnis, tingkat ekonomi, gaya hidup, budaya tersendiri, dan (8) penghuninya cendrung individualis.


Mengutip dari penjelasan Cahyono (2010) pula, terdapat tiga alasan kemunculan komunitas berpagar di berbagai kota di dunia. Alasan pertama adalah alasan keamanan. Adalah barang tentu bahwa kebutuhan akan rasa aman di perkotaaan, terkhusus kota besar, semakin lama semakin dibutuhkan karena meningkatnya berbagai ancaman perkotaan, semisal kriminalitas. Konsep komunitas berpagar merupakan solusi praktis yang diambil sebagian warga kota dalam rangka mendapatkan rasa aman tersebut. Alasan kedua adalah alasan prestis. Telah tersemat anggapan bahwa permukiman yang direncanakan pembangunannya yang dilengkapi dengan berbagai infrastruktur seperti pagar dan portal, lebih memilik prestis jika dibandingkan dengan pemukiman yang tumbuh secara alami, seperti kampung. Oleh karena itulah sebagian warga kota memilih untuk tinggal pada komunitas berpagar untuk menaikkan status sosial mereka. Alasan terakhir adalah alasan dari perspektif pengembang perumahan, yaitu alasan ekonomi. Komunitas berpagar dianggap sebagai salah satu konsep yang bisa digunakan sebagai strategi pemasaran dan menaikkan harga lahan yang efektif di kalangan para pengembang perumahan.


Tren Komunitas Berpagar di APY


Komunitas berpagar dalam definisi modern untuk pertama kali muncul di Amerika Serikat pada akhir abad 19 (Quintal & Thompson, 2007). Di tahun 2000, tercatat sudah delapan juta orang bermukim di sekitar 30 ribu perumahan yang mengadopsi konsep komunitas berpagar di Amerika Serikat. Sedangkan Low (2003) dalam Quintal & Thompson (2007) memprediksikan sudah 16 Juta penduduk Amerika Serikat tinggal di perumahan yang mengadopsi konsep komunitas berpagar pada waktu itu.


Di Indonesia, komunitas berpagar menurut Handoko (2011) sudah mulai bermunculan sejak awal pembangunan orde baru dan memuncak pada waktu di mana Indonesia mengalami masa keemasan properti sebelum krisis moneter pada tahun 1997. Kehadiran Bumi Serpong Damai di Jakarta merupakan salah satumilestone eksistensi komunitas berpagar di Indonesia.


Di Yogyakarta sendiri, komunitas berpagar sebenarnya sudah ada sejak awal dekade ketiga abad ke-20, seiring dengan berkembangnya wilayah Kotagede (Widhyharto, 2009). Belakangan penelitian dan pembahasan mengenai komunitas berpagar di Yogyakarta menjadi semakin ramai karena eksistensinya yang semakin terasa beriring dengan berkembangnya fisik kota Yogyakarta yang terus merangkul daerah-daerah penyangganya, yang belakangan dikenal dengan istilah Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta (APY).


Keberedaan APY merupakan diantara tanda semakin besarnya kebutuhan lahan di kota Yogyakarta sehingga harus merangkul berbagai daerah di kawasan penyangganya, yaitu Sleman dan Bantul. Kebutuhan lahan tersebut, tentunya, didominasi oleh kebutuhan lahan untuk pembangunan kawasan permukiman. Untuk kawasan Sleman sebagai ilustrasi, luas area terbangun pada tahun 1987 tercatat 10.740 hektar, merangkak menjadi 19.034 hektar pada tahun 2007yang mayoritas konversi lahan tersebut disebabkan oleh pembangunan kawasan permukiman.


Jika dilihat lebih lanjut, kawasan permukiman yang menjadi penyebab terus bertambah besarnya fisik APY adalah kawasan permukiman yang mengadopsi konsep komunitas berpagar. Widhyharto (2009) membawakan hasil survei yang dilakukan Maharika dkk (2006) pada bulan Februari - April 2005 dan Mei 2006 yang menunjukkan bahwa sebagian besar perumahan baru yang berumur kurang dari 10 tahun di kawasan APY dapat dikategorikan sebagai komunitas berpagar. Setidaknya terdapat 383 kawasan permukiman yang mayoritasnya berkonsepkan komunitas berpagar di wilayah APY (Widhyharto, 2009). Data terbaru, dibawakan oleh Handoko (2011) menunjukkan bahwa pada tahun 2010 terdapat sekitar 350 kompleks perumahan yang dibangun di Kabupaten Sleman yang hampir seluruhnya mengadopsi konsep komunitas berpagar dan banyak diantaranya yang merupakan perumahan klaster kecil yang terdiri tidak lebih dari 10 unit hunian. Data-data tersebut menunjukkan bahwa eksistensi komunitas berpagar di kawasan APY bukan lagi hanya dirasakan oleh pemerhati kota dan permukiman, akan tetapi keberadaannya semakin terasa dan kasat mata.


Pengamatan Widhyharto (2009) terhadap permukiman berkonsep komunitas berpagar di kawasan APY menunjukkan ciri sebagai berikut:


“...ditandai dengan elemen fisik yang khas. Diantaranya adalah adanya pagar keliling (perimeter wall) entah berupa pagar masif (tembok misalnya), pagar alami, atau pagar yang sifatnya transparan (kawat atau BRC). Elemen lainnya adalah pos satpam, baik yang dijaga maupun tidak, portal, palang pintu atau pintu gerbang, serta gerbang penanda. Terdapat pula tanda-tanda yang berfungsi sebagai penanda/marking seperti “dilarang masuk” atau “tamu harap lapor.” Lokasi komunitas berpagar pun bervariasi. Ada yang berada di lingkungan kampung yang telah ada sebelumnya, di pinggir kampung, atau terpisah sama sekali yang biasanya di area pertanian. Terdapat pula kasus dimana beberapa komunitas baru terbentuk mengelompok di area pertanian.” (Widhyharto, 2009: 211)


Komunitas Berpagar: Ancaman Fragmentasi Spasial dan Disintegrasi Sosial


Pembahasan mengenai komunitas berpagar pada ranah teoritik, hampir selalu dikaitkan dengan pembahasan ancaman fragmentasi spasial dan disintegrasi sosial yang berpotensi muncul sebagai dampak negatif dari eksistensinya. Salah satu alasan yang menjelaskan hal tersebut adalah akibat adanya privatisasi ruang. Para peneliti dan pengamat komunitas berpagar seperti Blakely dan Snyder (1997) dan Glasze dan Meyer (2000) talah sepakat bahwa komunitas berpagar merupakan salah satu sumber terjadinya fragmentasi kota (Widhyharto, 2009). Cahyono (2010) juga menyatakan bahwa terjadinya ketegangan sosial diataranya disebabkan oleh hilangnya tempat-tempat maupun akses yang selama ini dianggap sebagai public goods, akibat adannya komunitas berpagar.


Kekhawatiran konflik sosial akibat adanya komunitas berpagar mulai menjadi nyata di Indonesia sejak awal tahun 2000-an. Dua contoh dari hal tersebut disampaikan oleh Ridwan Kamiltelah terjadi di Surabaya dan Cimanggis Depok. Di Surabaya, kehadiran kompleks perumahan Darmo Satelit-lah penyebabnya. Warga yang marah memblokade gerbang masuk dengan cara mengelas portal-portal besi perumahan tersebut. Di Cimanggis Depok, peyebabnya adalah kehadiran Vila Pertiwi. Warga sekitar perumahan sangat marah dengan kehadiran tembok pembatas setinggi 2,5 meter yang mengelilingi perumahan ini yang menjadi penyebab gelapnya lorong sirkulasi di perkampungan sekitar perumahan.


Komunitas Berpagar VS Kampung: Ancaman bagi APY?


Telah banyak penelitian yang berupaya mengungkap eksistensi dan tren perkembangan komunitas berpagar di kawasan APY. Namun, sepanjang pengamatan penulis, penelitian tentang sebarapa jauh eksistensi komunitas berpagar tersebut memberikan dampak sosio-kultural terhadap APY belum terlihat di permukaan. Atau dengan kata lain, apakah kekhawatiran-kekhawatiran sebagaimana telah disampaikan pada poin pembahasan sebelumnya juga terjadi di APY yang notabene sedang mengalami tren perkembangan komunitas berpagar yang cukup pesat? Tentunnya dibutuhkan penelitian yang mendalam untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pada poin pembahasan ini penulis hanya akan mencoba menguraikan sebarapa besar peluang terjadinya ancaman tersebut di APY.


Eksistensi komunitas berpagar merupakan fenomena yang menarik di kawasan APY jika dilihat dalam persepektif keistimewaan Yogyakarta. Dalam hal ini, keistimewaan Yogyakarta tersebut muncul dalam bentuk simbol kemapanan, kenyamanan, toleran-guyub, dan keagungan budaya (Widhyharto, 2009).  Hal tersebut kemudian berimplikasi kepada dua wujud bentuk permukiman yang eksis di kawasan APY. Pertama, bentuk permukiman masyarakat asli. Untuk kasus Sleman misalnya. Masyarakat asli dari Kabupaten Sleman pada awalnya didominasi oleh masyarakat agraris dan rural yang memiliki prinsip “guyub rukun dengan tetangga”. Hal tersebutlah kemudian yang mendasari pembentukan pola dan struktur ruang permukiman yang terbuka dan menyatu dengan sekitar (Handoko, 2011), atau yang lebih dikenal dengan istilah kampung. Di sisi lain, dari persepektif masyarakat pendatang,  nilai-nilai keistimewaan tersebut adalah daya tarik tersendiri yang menyebabkan mereka tertarik untuk tinggal dan bermukim di sekitaran APY, yang pada gilirannya banyak diantara masyarakat pendatang tersebut yang berkumpul dan bermukim bersama dalam sebuah wilayah, yang salah satunya membentuk sebuah komunitas yang dikenal dengan istilah komunitas berpagar (Widhyharto, 2009).


Meskipun, dalam perspektif ini, kampung dan komunitas berpagar di sekitaran APY lahir atas dasar yang sama, yaitu bingkai keistimewaan Yogyakarta, namun realitanya di lapangan sering ditemui dikotomi yang tajam antara kampung dan komunitas berpagar. Sebagaimana dinyatakan oleh Setiawan (2010) kampung dan perumahan gedongan/real estateseringkali dikontraskan atau didikotomikan yang berimplikasi pada terwujudnya stigma bahwa kampung adalah tempat tinggal orang miskin, warga biasa atauwong cilik, sedangkan perumahan gedongan/real estate, yang tergolong dalam komunitas berpagar, merupakan tempat tinggal mereka yang kaya dan mapan.


Ada banyak penjelasan tentang penyebab munculnya stigma tersebut. Dua diantaranya, yang jarang muncul dalam pembahasan, adalah apa yang disampaikan oleh Widhyharto (2009) yaitu alasan pengembang dan kebijakan pemerintah. Pengembang perumahan berperan banyak di dalam pemebentukanimagebahwa komunitas berpagar adalah tempat yang prestis, berkelas, eksklusif, aman, dan nyaman.Imageini kemudian dimanfaatkan untuk meraup pangsa pasar para elit. Dari sisi kebijakan pemerintah, kehadiran komunitas berpagar tentu merupakan potensi sebagai PAD. Maka kemudian muncullah anggapan bahwa orang kaya mudah diatur daripada orang miskin.


Ilustrasi singkat tersebut menjelaskan bahwa keberadaan sekat antara komunitas berpagar dan kampung juga sangat berpeluang menciptakan sekat sosial antara si kaya dan si miskin. Sekat tersebutlah yang berpotensi menimbulkan konflik sosial, jika nilai-nilai keguyuban dalam bingkai kebudayaan keistimewaan tidak terus dihadirkan. Kehadiran nilai-nilai keguyuban dalam bingkai kebudayaan keistimewaan tersebut menjadi sangat penting untuk memperkecil sekat sosial yang ada dan menghalangi sekat tersebut berubah menjadi konflik sosial dalam makna yang lebih luas. Diantara penjelasan yang menjadi alasan pentingnya kehadiaran nilai-nilai keguyuban tersebut adalah dibutuhkannya interaksi antara komunitas berpagar dengan kampung sekitar.


Ada kecendrungan keengganan sebagian masyaraakat komunitas berpagar untuk tidak berinteraksi dengan masyarakat kampung di sekitarnya. Setidaknya, ada tiga alasan yang berhasil didentifikasi oleh Widhyharto (2009) untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, adanya perasaan telah terpenuhinya segala kebutuhan masyarakat yang berada di dalam komunitas berpagar, seperti kebutuhan sarana dan prasarana lingkungan, menyebabkan mereka merasa tidak lagi perlu berinteraksi dengan masyarakat di luar mereka. Kedua, adanya anggapan bahwa aktivitas sosial merupakan aktivitas yang tidak terlalu penting yang hanya memakan waktu dan tenaga dan ditambah akan tingginya kebutuhan akan privasi. Ketiga, masyarakat di dalam komunitas berpagar biasanya membentuk pola interaksi yang baru sebagaimana yang mereka inginkan dengan meninggalkan bentuk interaksi sosial di lingkungan lama mereka.


Sekat antara kaya dan miskin akibat adanya sekat antara komunitas berpagar dan kampung sebisa dan sesegara mungkin harus diminimalisir. Jika kekhwatiran konflik sosial tersebut terjadi, maka konflik sosial yang tercipta akan berdampak besar karena baik komunitas berpagar atau pun kampung memiliki posisi tawar yang kuat. Dalam persepektif kampung, kampung telah menjadi identitas asli permukiman Yogyakarta, bahkan permukiman Indonesia. Eksistensi kampung sebenarnya jauh lebih kuat dan lebih lama jika dibandingkan eksistensi permukiman dengan konsep berpagar di Yogyakarta atau pun di Indonesia. Secara umum, data menunjukkan bahwa 70% peruntukan lahan kota-kota di Indonesia didominasi oleh kampung dan kampung telah menyediakan perumahan bagi 70-85% penduduk kota-kota di Indonesia (Kementrian Perumahan Rakyat, 2009 dalam Setiawan, 2010). Pun demikian halnya dengan Yogyakarta yang permukimannya sejak awal didominasi oleh kampung. Adapun dalam perspektif komunitas berpagar, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, adanya anggapan bahwa komunitas berpagar berpeluang menjadi sumber PAD membuat komunitas berpagar merasa lebih kuat dengan kedekatakannya kepada aspek legal-formal.


Pentingnya Peran Perencana Kota


Keberadaan komunitas berpagar diberbagai kota di dunia memang selalu menjadi dilema dan diskursus. Untuk kasus APY, penjelasan singkat di atas memang tidak menggambarkan secara utuh tentang apa yang terjadi, namun setidaknya bisa membukakan kesadaran kita akan pentingnya mengambil langkah pencegahan (jika belum bisa dikatakan sebagai langkah penanganan). Tidak dipungkiri, peran kita sebagai perencana kota, sangat penting di dalam langkah-langkah pencegahan konflik sosial yang sama-sama tidak kita inginkan kehadirannya tersebut. Setidaknya, ada tiga hal yang bisa kita lakukan dalam peran kita sebagai perencana kota:


Pertama, pentingnya kehadiran desain lingkungan dan bangunan yang lebih humanis dan mempertimbangkan kearifan lokal dari tangan-tangan dan pikiran kita, para perencana kota. Sudah barang tentu bahwa desain lingkungan dan bangunan yang lebih humanis dan mempertimbangkan kearifan lokal mempengaruhi bagaimana persepsi serta interaksi sosial dengan lingkungan sekitarnya. Penelitian Cahyono (2010) menunjukkan bahwa desain lingkungan dan bangunan, seperti desain pagar dan gerbang, sangat mempengaruhi bagaimana interaksi dan persepsi masyarakat sekitar dengan masyarakat di dalam komunitas berpagar. Kehadiran konsep green buffer yang bisa menggantikan tembok-temobok tinggi dan kokoh yang tidak humanis merupakan diantara jawaban tantangan tersebut. Atau dengan mengadopsi konsep eyes on the street yang dikenalkan oleh Jane Jacobs.


Kedua, perlunya perencanaan permukiman yang berpihak secara berimbang. Dalam ranah legal-formal, jelas terasa bahwa posisi komunitas berpagar lebih mendominasi dan posisi kampung lebih termarginalkan. Sebagaimana Setiawan (2010) menyatakan bahwa  kedepan perlu adanya integrasi kampung dengan sistem kota yang lebih kompleks. Kampung perlu mendapatkan advokasi dalam ranah perencanaan permukiman. Selama ini kampung telah termarginalkan di dalam proses perencanaan permukiman. Bahkan, sebagian rencana kota telah mencitrakan kampung sebagai kawasan kumuh kota yang harus digusur atau dihapuskan dari peta rencana kota (Setiawan, 2010).


Ketiga, pentingnya diadakan riset-riset tentang eksistensi komunitas berpagar dan dampaknya untuk mendukung proses perumusan kebijakan perencanaan permukiman yang dilakukan oleh pemerintah daerah serta agar bisa membantu berbagai pihak terkait untuk keluar dari diskursus ini.


Sebagai penutup, berikut disampaikan perkataan Sri Sultan HB X yang tentunya sejalan dengan apa yang kita semua harapkan:


“Saya berharap saudara dari mana pun berasal, saya berharap merasa aman dan nyaman. Karena Yogyakarta memberikan ruang luas bagi orang luar Yogyakarta, baik bagi yang menetap atau sedang menimba ilmu. Ini rumah sendiri. Kita bersaudara. Ini rumah kami dan saudara tinggal di sini, jadi rumah saudara juga” 


Daftar Pustaka


Cahyono, Triatmoko Ari. 2010. Interaksi Warga Perumahan Gated Community dengan Masyarakat Sekitar; Kasus: Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar. Tesis tidak diterbitkan, Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


Handoko, Jawa Prasetya S. 2011. Pertumbuhan Permukiman Gated Community di Yogyakarta. Dalam Proceeding Seminar Nasional SCAN#2: 2011 Life Style and Architecture. Penerbit Universitas Atma Jaya. Yogyakarta.


Quintal, Dana & Thompson, Susan. 2007. Gated Communities: The Search for Security. The Faculty of the Built Environment, The University of New South Wales. Diunduh dari: http://soac.fbe.unsw.edu.au/2007/SOAC/gatedcommunities.pdf pada 12 April 2013.


Setiawan, Bakti. 2010. Kampung Kota dan Kota Kampung: Tantangan Perencanaan Kota di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Perencanaan Kota, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


Widhyharto, Derajad S. 2009. Komunitas Berpagar: Antara Inovasi Sosial dan Ketegangan Sosial (Studi Kasus Komunitas Berpagar di Propinsi D.I Yogyakarta, Indonesia). Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 13, Nomor 2, November 2009: 204-230.




Ditulis oleh Muhammad Rezki Hr (2013) dalam buku “Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta dalam Ragam Perspektif” (2013).




Ridwan Kamil “Arogansi “Gated-Community” di Kota Kita“ Kompas, Minggu 29 Oktober 2000 diakses di http://groups.yahoo.com/group/fdu/message/759?var=1 pada 11 April 2013




Pernyataan Rika Harini, S.Si, MP, dikutip dari http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=5221)




Ridwan Kamil “Arogansi “Gated-Community” di Kota Kita“ Kompas, Minggu 29 Oktober 2000 diakses di http://groups.yahoo.com/group/fdu/message/759?var=1 pada 11 April 2013




Dikutip dari Ridwan Kamil “Arogansi “Gated-Community” di Kota Kita“ Kompas, Minggu 29 Oktober 2000




Dikutip dari http://www.kotajogja.com/berita/index/Sultan:-Yogyakarta-Rumah-bagi-Warga-Indonesia


image source

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun