Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Tafsir Hukum Pemilu Indonesia

19 Januari 2014   15:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:41 161 0
Menjelang disidangkannya permohonan pemohon pada tanggal 21 January 2014 di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh Calon Presiden dari Partai Bulan Bintang Yusril Izha Mahendra. Suhu politik semakin panas, bahkan semakin meningkat. Saling serang, bahkan saling tuduh akan mengganggu jalannya pesta demokrasi lima tahunan masih terus berlangsung.

Saling serang, bahkan saling tuduh dikarenakan adanya Nomor Perkara 108/PUU-XI/2013, Pemohon atas nama Yusril Izha Mahendra menguji Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Pasal 3 ayat (4), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 terhadap Pasal 6A ayat 2 dan Pasal 22E UUD 1945.

Dalam Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dikatakan bahwa “Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ditetapkan dengan keputusan KPU”. Pasal 9 mengatakan bahwa “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.” Pasal 14 ayat 2 mengatakan bahwa, “Masa pendaftaran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden paling lama 7 (tujuh hari) terhitung sejak penetapan secara nasional hasil pemilu anggota DPR”. Sementara Pasal 112 masih dalam Undang-Undang yang sama mengatakan “Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.”

Adapun, Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 mengatakan bahwa: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksaan pemilihan umum”. Sedangkan Pasal 22E UUD 1954 mengatakan bahwa, ayat 1 “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Ayat 2 “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden dan dewan perwakilan rakyat daerah. Ayat 3 mengatakan bahwa “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah adalah partai politik. Ayat 4 mengatakan bahwa “Peserta pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Ayat 5 mengatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan Undang-undang”.

Yusril menafsirkan semua Partai Politik (Parpol) peserta pemilu bisa mendaftarkan pasangan capres-cawapres ke KPU. Selanjutnya Yusril mengatakan bahwa, 12 parpol bisa mengajukan pemimpin selanjutnya di Pilpres 2014 dan pelaksanaan Pilpres, tidak bisa dilaksanakan setelah Pileg. Menurut Yusril, jika Pilpres digelar setelah Pileg seperti diatur dalam UU Pilpres, maka 12 parpol peserta pemilu 2014 disebut parpol menjadi mantan peserta pemilu. Padahal, menurut Yusril dalam UUD 1945 disebutkan pengusung capres-cawapres adalah parpol atau gabungan parpol peserta pemilu (www.kompas.com).

Sadjipto Rahardjo mengatakan bahwa, dalam aturan perundangan-undangan sering dikatakan jelas, padahal masih banyak yang belum jelas, dan masih memerlukan penafsiran. Disinilah Yusril sebagai pihak yang berkepentingan meminta penjelasan tafsir yang dimohonkan kepada kepada penjaga konstitusi yang tidak lain adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Persoalan tafsir ini tentunya tidak sama, apalagi jika ditanya ahli hukum, terlebih lagi apabila tafsir ini lempar ke publik dan “disantap” oleh para politikus dan pakar politik. Sebagai bahan perdebatan dan adu argumen soal tafsir ini tentunya sah-sah saja. Apalagi argumen tersebut bisa diterima akal sehat. Akan tetapi, argumen tersebut sebaiknya mencerdaskan, bukan atas dasar ketakutan-ketakutan yang tidak beralasan.

Berbagai ketakutan tersebut datang dan beragam pendapat jika permohonan Yusril dikabulkan. Bagaimana jika nanti pada tahun 2019 ada lebih 20 parpol yang lolos jadi partai politik? Bagaimana jika terjadi kekacauan penyelenggaran pemilu yang sudah mendekati waktu? dan bagaimana-bagaimana lainnya.

Namun demikian, karena Indonesia yang sudah kita sepakati sebagai negara hukum, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, tentu akan lebih baik, setiap persoalan hukum diselesaikan melalui mekanisme hukum yang tersedia. Karena bagaimanapun buruknya peradilan Indonesia saat ini, tentu masih ada hakim-hakim yang berpegang teguh pada hukum, kebenaran dan keadilan.

Karena itu, walaupun MK baru-baru ini mengalami “musibah” dengan tertangkapnya Akil Muktar dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga melakukan tindak pidana korupsi. Tentu penulis masih yakin bahwa, Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan memutus permohonan pemohon dengan Nomor Perkara 108/PUU-XI/2013 dapat memberikan “Tafsir Hukum Pemilu Indonesia” yang lebih baik dan adil. Semoga!

*mungkin tulisan jelek, tetapi anda sudah menjadi pembaca yang baik

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun