Saat ini, muncul banyak jenis kegiatan relawan yang dapat diikuti oleh berbagai kalangan. Salah satu penyedia layanan kegiatan relawan adalah kegiatan relawan berbayar. Jenis kegiatan relawan berbayar ini pun sangat beragam. Mulai dari menggambar dan mewarnai bersama adik-adik panti asuhan, membuat parsel bersama lansia, membersihkan sampah di Kampung Pemulung, hingga bermain permainan tradisional bersama adik-adik binaan. Kegiatan ini pun tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Jumlah kegiatannya bisa mencapai lima puluh kegiatan dalam satu bulan. Dalam satu kegiatan, biasanya dibutuhkan sekitar sepuluh sampai dua puluh relawan untuk berpartisipasi dalam kegiatan relawan tersebut. Setiap relawan yang berpartisipasi diharuskan untuk membayar biaya pendaftaran sekitar dua ratus ribu rupiah. Kuota pendaftaran untuk para relawan ini pun sering habis dalam waktu yang sangat cepat. Contohnya saja adalah kegiatan mengunjungi museum bersama anak jalanan dengan harga tiket di atas dua ratus ribu rupiah yang tikernya telah habis terjual sekitar tiga minggu sebelum Hari-H kegiatan dimulai. Hal ini menunjukkan antusiasme yang sangat tinggi dari masyarakat umum untuk mengikuti kegiatan relawan. Bahkan, kita dapat melihat banyak komentar di akun Instagram penyedia jasa kegiatan relawan berbayar yang meminta penambahan kuota dalam kegiatan relawan berbayar yang diadakan. Hal menarik menurut saya adalah sebenarnya banyak pilihan kegiatan relawan gratis yang bisa diikuti tanpa harus membayar sejumlah uang, namun kenapa masih banyak orang yang rela mengeluarkan uang untuk mengikuti kegiatan relawan berbayar? Banyak teori psikologi sosial yang bisa menjelaskan hal tersebut, namun pada esai kali ini, saya akan berfokus pada teori Strategic Self-Presentation.
KEMBALI KE ARTIKEL