Bayangkan seorang anak kelas 4 SD di Jakarta. Sambil duduk di sofa, ia menghabiskan waktu berjam-jam men-scroll video TikTok, dari tarian viral hingga prank konyol. Di sudut ruang tamu, buku cerita rakyat yang dibelikan ibunya bertumpuk berdebu, tidak tersentuh sejak dibeli. Di sisi lain, di pedalaman Nusa Tenggara Timur, seorang siswa hanya bisa mendengar cerita rakyat dari gurunya, karena listrik dan internet terlalu mahal untuk diandalkan. Kedua skenario ini, meskipun berbeda, adalah cerminan jelas dari bagaimana dunia digital mengubah cara anak-anak kita mengenal budaya lokal.
KEMBALI KE ARTIKEL