Tulisan ini sengaja saya buat untuk refleksi penerapan syariat Islam di Aceh. Walaupun sudah7 bulan saya meninggalkan Tanah Rencong itu, namun semua memori tentang Aceh masih melekat erat dalam benakku. Saat ini syariat Islam di Aceh telah diterapkan selama 7 tahun. Namun apa yang saya saksikan selama 4 tahun tinggal di Aceh adalah penerapan setengah hati syariat yang seolah hanya untuk menenangkan keinginan rakyat Aceh yang rindu akan penerapan syariat Islam. Penerapan syariat yang kebanyakan sebatas simbol dan slogan politik ada kaitanya dengan ‘perseteruan’ antara Teungku dan Teuku yang ada di Aceh.
Dalam masyarakat Aceh kata Teungku (dibaca Tengku) dinisbatkan pada seseorang yang memiliki pengetahuan agama atau seorang tokoh agamai baik pria maupun wanita. Teungku adalah panggilan atau gelar kepakaran untuk seorang ulama atau ustadz atau guru ngaji. Walau pada prakteknya kadang dipakai juga untuk panggilan secara umum untuk laki-laki Aceh. Bahkan saya sendiripun pernah dipanggil Teungku oleh anak-anak TPA. Contoh Teungku Cik Di Tiro, Teungku Daud Beureueh dan Teungku Fakinah (ulama wanita).
Teuku adalah gelar kebangsawanan untuk seorang lelaki Aceh yang masih merupakan keturunan Sultan atau raja atau pemimpin nanggroe (negeri). Misalnya Teuku Umar.
Saat ini, dalam kasus penerapan syariat Islam di Aceh, keinginan kuat para Teungkuuntuk menerapkan syariat tidak didukung secara penuh oleh pihak pemerintah (saya istilahkan Teuku-walau tidak semua gubernur/bupati bergelar Teuku). Pada kabupaten tempat saya bertugas dulu, penerapan syariat Islam dijadikan sebagai pilar pertama pembangunan daerah bahkan pada hampir semua acara tertulis dengan jelas ada spanduk bahwa semua itu dalam rangka penerapan syariat Islam yang kaaffah.
Namun pada kenyataannya masih agak jauh panggang dari api. Penerapan syariat Islam lebih banyak pada retorika politik saja. Dinas Syariat Islam terkesan menjadi tempat ‘pembuangan’ bagi mereka yang berhaluan politik berbeda dengan pemerintahan yang ada. Kepala Dinas Syariat Islam dan ketua Mahkamah Syar’iyah lebih banyak tampil sebagai pembaca doa pada pertemuan-pertemuan resmi yang diadakan di kabupaten. Komandan Wilayatul Hisbah yang aktif melakukan edukasi dan monitoringpelanggaran syariat dimutasi ke tempat lain. Polisi syariat Islam (wilatul hisbah) kemudian ‘dikebiri’ dengan menggabungkannya dengan Satpol PP, sehingga suatu saat gambaran satpol PP yang ‘garang’ terhadap masyarakat dan melaksanakan hukum dengan pandang bulu bisa melekat juga pada wilayatul hisbah.
Pada awalnya saya punya secercah harapan akan pemberlakuan syariat Islam yang lebih baik setelah para mantan kombatan GAM menjadi mayoritas penguasa di Aceh dan para wakil rakyat didominasi oleh mereka yang beralatar belakang GAM. Namun saat ini harapan itu hampir pupus. Belum banyak perubahan yang berarti dalam penerapan syariat Islam tatkala para Teungku dari GAM itu berkuasa. Bahkan baru satu kabupaten yang saya ketahui mulai melakukan gebrakan penerapan syariat Islam. Itupun karena sang bupati adalah seorang Teungku.
Saya kira perlu sinergi yang harmonis antara Teungku dan Teuku untuk menuju Aceh yang bersyariat. Aceh akan lebih baik dan mulia hanya dengan syariat Islam. Keinginan mulia para Teungku harus disambut dan didukung baik oleh para Teuku. Salah satu pilar utama penerapan syariat Islam adalah pemerintah (para Teuku) yang mau menerapkan syariat. Para Teungku hanya bisa mendidik masyarakat dengan Islam dan menghimbau penerapan Islam, namun kekuasaan dan kekuatan untuk menerapkan syariat dan memaksa rakyat mentaati hukum yang berlaku berada di tangan penguasa. Cita-cita mulia penerapan Islam sudah ada sejak masa Teungku Daud Beureueh. Jangan sampai yang terjadi adalah persaingan antara Teungku dan Teuku untuk memperebutkan pengaruh dalam masyarakat untuk memperebutkan kedudukan politis dengan menelantarkan syariat Islam.