Sejak SD sampai SMP saya sekolah di kampung sono yang hampir tidak kelihatan di peta dunia. Bayaran sekolah masih murah, bisa nyicil lagi. Waktu SMA saya sudah pindah ke kota, ngekos sama sodari2 saya dengan sewa kos 300 ribu pertahun. Biaya hidup masih murah, dan kalau kehabisan uang, kalung sodari perempuan saya yang digadaikan. Sampai-sampai pegawai pegadaian mungkin bosan lihat muka saya yang bolak balik ke pegadaian tiap bulan. Kalung sodari saya lama-kelamaan jadi aus karena sering digosok ke alat tes emas murni atau palsu tiap bulan. Walau semboyan pegadaian saat itu masih “mengatasi masalah tanpa masalah“, tapi bagi saya kadang masih bermasalah. Soalnya kadang pada saat jatuh tempo pengembalian uang, kiriman dari kampuang yang di seberang laut sana belum sampai. Maklumlah kalau musim keras ombak, Laut Banda tidak mengizinkan kapal dari kampung saya untuk berlayar karena kampung udik itu tepat berhadapan dengan Laut Banda.
Waktu SMU sarapan pagi biasanya pake nasi putih saja. Lauknya teh manis. Kadang-kadang makan kerak nasi, tapi enak juga kok. Saya awalnya tidak suka roti, tempe, apalagi tahu… (wueekk…). Ketiga jenis makanan itu tidak pernah diketemukan di kampung saya yang masih amat sangat terpencil itu. Tapi karena tahu dan tempe adalah lauk yg paling murah di kota, terpaksa harus makan. Kalau pas bulan ramadhan, saya rajin sholat maghrib di masjid karena banyak makanan gratis :-)
Tiga tahun, walau orang bilang tak terasa. Tapi bagi saya sangat terasa. Akhirnya tamat juga SMU. Hmm… Saya ingin kuliah. Cita-cita saya sejak kecil ingin jadi tentara, tapi karena satu dan banyak hal impian itu gak kesampaian. Dua kali saya ikut seleksi, tapi gagal terus. Akhirnya merubah haluan ingin jadi dokter. Alhamdulillah. Saya beruntung karena ternyata lulus di fakultas kedokteran di salah satu universitas di negeri ini. Setelah lulus.. malah jadi bingung. Biayanya nanti pake apa ? Apa boleh pake daun cengkeh? Kalau pake daun cengkeh, di kampung saya juga banyak. Setelah keluarga berunding dan nanya-nanya masalah biaya kuliah, akhirnya jadi berangkat kuliah. Sebelumnya ada orang sekampung saya juga ada yang lulus di kedokteran, katanya biayanya mahal. Sudahlah coba dulu, kalau nanti gak sanggup biayanya, bisa mengundurkan diri.
Berangkatlah saya ke tempat kuliah di propinsi lain. Tiba disana langsung tinggal di asrama mahasiswa dengan sewa kamar Rp.15.000/bulan biaya kuliah kuliah yang masi relatif murah (Rp.180.000/semester). Mana ada biaya kost dan uang kuliah persemester seperti itu sekarang. Walau sewa asrama masih murah begitu, tapi saya masih sering nunggak juga. Kadang kiriman uang dari orang tua tiba ketika sudah hampir semua tetangga asrama dan teman dekat saya pinjam uangnya. Untuk menghemat biaya transportasi, saya kumpul uang beasiswa BBM untuk beli sepeda bekas. Bisa dipake kemana-mana tanpa mengeluarkan uang untuk beli BBM tapi cukup dengan mengeluarkan keringat dan kadang-kadang kencing. Sepeda itu saya pakai untuk ke tempat kursus dan meeting bahasa inggris, pergi ngaji dan jalan-jalan sore.
Alhamdulillah setelah itu saya juga dapat beasiswa dari perusahaan Jepang dan uang capek sebagai asiten laboratorium. Akhirnya saya bisa beli hape… hehe.. ikut-ikutan bergaya seperti orang kota. Bagi saya, biar miskin yang penting sekolah dan tidak ketinggalan zaman. Benar juga kata pepatah, dimana ada kemauan disitu ada jalan. Allah pasti memberikan jalan bagi siapa saja yang bersungguh-sungguh dalam segala hal.