Hari ini adalah salah satu hari raya umat Islam yakni Hari Raya Idul Fitri 1430 Hijriyah. Selain itu ada dua hari besar lain yakni Idul Fitri dan Hari Jum’at. Dua tahun terakhir tiap kali idul adha, saya ‘langganan’ sakit. Tahun lalu saya cacar, tahun ini dicurigai demam tifoid sehingga kurang bisa menikmati perayaan hari raya kali ini. Alhamdulillah Allah masih mengasihi saya dan mengingatkan saya akan kematian yang setiap saat bisa datang menjemput. Semoga demam kali ini menggugurkan dosa-dosa kecil yang sudah terlalu banyak saya lakukan. Kita semua tidak ingin ritual tahunan ini kosong dari makna. Namun ada pelajaran yang bisa kita petik dari setiap perayaan hari raya. Bukan hanya diselingi oleh daging kurban dan acara silahturrahim serta ucapan selamat idul adha yang memenuhi inbox handphone yang merupakan trend silaturrahmi 2.0 saat ini. Pada tiap khutbah idul adha ustadz atau Teungku akan mereview kembali sejarah sejarah spektakuler pengorbanan Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS. Setiap hari raya Idul Adha, kita selalu diingatkan kisah tentang ketundukan, ketaatan, dan pengorbanan Nabi Ibrahim as dan putranya dalam menjalankan perintah Allah Swt. Ketika Nabi Ibrahim as diperintahkan untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail as, keduanya segera bergegas melaksanakan perintah Allah. Tak tampak sama sekali keraguan, keengganan, apalagi penolakan. Keduanya dengan ikhlas menunaikan perintah Allah Swt, meski harus mengorbankan sesuatu yang paling berharga dan dicintai. Ibrahim rela kehilangan putranya, dan Ismail pun tak keberatan kehilangan nyawanya. Saya kadang bertanya pada diri sendiri sudah sejauh mana pengorbanan saya untuk taat kepada-Nya dan memperjuangkan Agama-Nya ? Sudahkan saya mengorbankan harta, jabatan, keluarga, atau bahkan jiwa saya untuk Allah dan Islam? Bahkan hanya sekedar untuk sumbangan perbaikan mushollapun kadang saya masih piker-pikir kalau menyumbang. Kalau ada teman yang meminta bantuan untuk dana perjuangan Islam, kadang masih sulit untuk memupuk keikhlasan dalam melakukannya. Ketika diminta untuk meninggalkan kepentingan pribadi demi Agama, kadang kepentingan pribadi masih lebih diutamakan. Nabi Ibrahim dan putranya mencontohkan ketaatan yang tanpa syarat pada Rabbnya. Hal ini perlu kita refleksikan pada diri kita masing-masing. Sudahkah kita taat pada syariat dan ikhlas melakukannya tanpa syarat. Tatkala syariat mewajibkan kita sholat, puasa, zakat, mungkin kita akan melakukannya dengan ringan. Namun tatkala dituntut untuk tidak berzina, mencuri (korupsi), jangan makan riba (bunga uang) mungkin sudah akan ada yang membangkang dengan berbagai alasan. Apalagi bila diperintahkan untuk menerapkan sistem ekonomi, politik, pendidikan, dan sistem sosial (pergaulan) dalam Islam. Rasanya kita masih enggan untuk itu. Saya kira Islam diturunkan bukan untuk ditaati sebagian dan ditinggalkan yang lainnya. Memang agak sulit untuk menjadi insan yang taat dalam segala hal. Tapi itu bukan hal yang mustahil. Allah menurunkan syariat Islam sesuai dengan kemampuan manusia. Karena syariat itu memang untuk manusia dan (jin). Mungkin pada momen-momen seperti idul adha ini kita bisa ber
muhasabah (intospeksi) kembali pada diri kita masing-masing dan terus memperbaiki diri serta meningkatkan iman dan ketaqwaan yang kita miliki. Selamat Hari Raya Idul Adha 1430 H Semoga semangat pengorbanan dan keikhlasan Nabi Ibrahim AS dan putranya mengispirasi kita semua untuk rela berkorban demi Agama-Nya dan ikhlas dalam melakukan segala ketaatan pada-Nya. Amin. Salam Kompasianer
KEMBALI KE ARTIKEL