Menurutnya, dulu petani menanam di pagar – pagar depan rumah pangan umbi”an, hal tersebut juga serupa untuk menyadarkan akan pentingnya sarapan, jadi mereka makan ubi di pagi hari. Namun, pada saat masuk revolusi hijau, masyarakat di doktrin oleh akademisi, karena makan ubi dan semacamnya itu bikin bodoh, serta dimasa kini, pagar sudah diganti dengan bangunan dari semen. Padahal ini adalah persepsi yang salah. Selain itu, kebijikan pemerintah yang salah, seperti raskin. Coba kalau kalian dikasih raskin, mau makan tidak? serta, subsidi pupuk, dan juga praktik tengkulak yang memainkan harga.
Tidak hanya berkaitan tentang revolusi hijau, ada juga yang membahas tentang tanaman transgenik, dimana 80 – 90 % kedelai dan jagung di Indonesia adalah trangenik. Menurutnya konsumsi makanan tersebut dapat menyebabkkan berbagai penyakit, sehingga untuk pencegahan tersebut, pemahaman ataupun edukasi untuk mengetahui asal usul makanan perlu dilakukan, serta perlu juga untuk mengetahui tanaman yang sesuai dengan musimnya, dan makan makanan sesuai dengan musimnya.
Di sisi lain perlu juga membangun kemandirian pupuk dengan pengolahan pupuk kompos, serta bank tani untuk peminjaman bibit, sehingga petani tidak perlu tergantung pada kedatangan pupuk, yang sering kali dipermainkan harganya, dan hanya untuk kepentingan industri.
Diskusi berlanjut dengan penyampaian combine harvester, yaitu, alat untuk memanen, dengan alat tersebut petani dapat memanen dengan cepat di lahan besar. Namun, menurutnya hal tersebut sangat aneh, petani di Indonesia sekarang lahannya sangat kecil, sehingga kalau ada alat tersebut, jelas akan mengurangi petani di desa.
Peta permasalahan atau konflik pangan sangatlah luas, perlu kajian lebih mendalam, pemahaman dari diri sendiri akan kepedulian nasib lingkungan dan petani. Pangan kita butuhkan setiap harinya, bukankah kita perlu menghargai siapa yang membuat makanan tersebut, yang berjuang untuk menanamnya, sehingga kita bisa tercukupi.