Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum

Judicial Restraint dalam UU No 4 Tahun 2009

1 Juli 2024   00:41 Diperbarui: 1 Juli 2024   00:41 45 0
JUDICIAL RESTRAINT DALAM UNDANG -- UNDANG NO. 4 TAHUN 2009

Oleh : Muhammad Iqbal/1322300034
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya
Untuk Memenuhi Tugas Hukum Pembuktian (DR. Tomy Michael, S.H, M.H).


Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan lembaga judicial review terpusat yang melaksanakan a posteriori dan kontrol. Keputusan Mahkamah Konstitusi seringkali bersifat sensitif secara politik dan melibatkan isu-isu penting. Di satu sisi menjatuhkan putusan yang kuat dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip penting konstitusi dapat membawa manfaat besar bagi warga negara dan dapat memperkuat dukungan terhadap demokrasi, namun di sisi lain, kuatnya peran pengadilan dalam judicial review cenderung semakin melanggar wilayah pembuatan undang-undang. Opini ini mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi dalam rangka ketegangan antara konstitusionalisme dan demokrasi, khususnya dari pendekatan teoritis atau konseptual.
Berdasarkan hasil pengujian putusannya, Mahkamah Konstitusi Indonesia dapat mencerminkan dua karakter, yaitu aktivisme peradilan yang ditandai dengan bertindak sebagai pembuat undang-undang dan menggunakan kebijakan dalam keputusan peradilan dan/atau pengendalian diri peradilan. Pengalaman Indonesia saat ini menunjukkan bahwa judicial review peraturan perundang-undangan bukan sekedar kontrol yudisial terhadap lembaga pembuat undang-undang, melainkan membawa ketegangan dalam konteks relasi kekuasaan dalam skema pemisahan kekuasaan. Hubungan antara pengadilan dan legislatif, dalam masing-masing judicial review, akan berujung pada filosofi peradilan. Namun, karena konstitusionalisme dan demokrasi adalah kebajikan, maka putusan Mahkamah Konstitusi dalam judicial review harus menciptakan mode pembatasan diri dalam kerangka prinsip pemisahan kekuasaan.
Dalam praktek judicial review di Indonesia, terdapat beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang tidak hanya menyatakan sebuah norma undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, tetapi juga menentukan norma yang seharusnya diberlakukan atau mengubah makna sebuah norma di Undang-Undang Dasar yang keluar dari original intent para pembentuknya. Dalam konteks hukum, hakim karena jabatannya dapat saja melakukan pembentukan hukum ataupun melakukan perubahan konstitusi melalui metode penafsiran konstitusi.
Namun, doktrin judicial restraint menghendaki prasyarat-prasyarat tertentu agar hakim dan pengadilan lebih berhati-hati dalam melakukan penafsiran hukum hingga dapat membentuk norma hukum yang baru ataupun mengubah makna sebuah norma di dalam Undang-Undang Dasar melalui putusannya. Salah satu putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengubah makna dari norma Undang-Undang Dasar adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur mengenai mekanisme penggantian pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan Pemohon dalam perkara tersebut tidak dapat diterima karena Pemohon tidak memenuhi syarat legal standing untuk menjadi Pemohon dalam perkara judicial review . Namun, di dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan berwenang untuk menguji Perppu terhadap Undang-Undang Dasar.6 Putusan ini secara tegas memberikan tafsir baru atas makna kata "undang-undang" sebagai objek judicial review yang dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas mengenai gagasan penerapan judicial restraint di Mahkamah Konstitusi Indonesia. Pada tradisi hukum manapun, baik civil law maupun common law, seringkali terjadi kesenjangan antara hukum dengan perkembangan kehidupan masyarakat.
Hal tersebut mengakibatkan timbulnya kebutuhan masyarakat akan hukum yang responsif untuk dapat memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang timbul. Dalam kehidupan yang demokratis, pengadilan menjadi salah satu tempat yang dituju masyarakat untuk dapat menjembatani kesenjangan antara hukum dan kenyataan sosial. Meskipun begitu, pengadilan memerlukan "rambu-rambu" yang tepat agar mampu memberikan putusan yang memiliki nilai manfaat tanpa merusak tatanan hukum (legal order). Kewajiban untuk menjaga keseimbangan antara menjalankan fungsi pengadilan dalam memecahkan permasalahan di masyarakat di satu sisi dengan menjaga tatanan hukum di sisi lain, merupakan tantangan yang sangat besar bagi pengadilan.
Oleh karena itu, konsepsi judicial restraint hadir sebagai sebuah jalan keluar yang tepat bagi pengadilan dalam menjalankan fungsinya. Judicial restraint menurut Aharon Barak adalah bahwa hakim harus sedapat mungkin tidak membentuk norma hukum baru dalam mengadili sebuah perkara untuk menciptakan keseimbangan diantara nilai-nilai sosial yang saling bertentangan. Dengan kata lain judicial restraint menghendaki hakim untuk menafsirkan sebuah undang-undang dengan terlebih dulu memperhatikan politik hukum pembentuknya . Robert Posner memberikan pengertian yang lebih tegas mengenai judicial restraint. Menurut Posner, judicial restraint merupakan upaya hakim atau pengadilan untuk membatasi diri dalam kerangka prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers).
Hal ini berarti bahwa judicial restraint adalah upaya dari cabang kekuasaan kehakiman untuk tidak mengadili perkara-perkara yang akan dapat mengganggu cabang kekuasaan yang lain. Posner beranggapan bahwa pengadilan bukanlah "primary custodian" dalam sistem politik sebuah negara yang dapat menentukan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, pengadilan hanya diperkenankan untuk mengadili perkara-perkara yang ditentukan secara limitatif berdasarkan hukum sebagai kewenangannya (limited jurisdiction). Berdasarkan pendapat posner tersebut, judicial restraint dapat pula diartikan sebagai "structural restraint". Rebecca Zietlow mengungkapkan bahwa judicial restraint merupakan implementasi dari pengakuan dan penghormatan hakim kepada cabang kekuasaan politik sebagai cabang kekuasaan yang berwenang untuk membentuk hukum dalam kerangka demokrasi.
Oleh karena itu, Zietlow mengungkapkan bahwa hakim atau pengadilan sebaiknya menerapkan judicial restraint kapanpun dimungkinkan. Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Justice O'Connor bahwa pelembagaan judicial restraint penting dalam kerangka konstitusionalisme serta sebagai sebuah bentuk kehati-hatian dalam menjalankan kewenangan kekuasaan kehakiman yang merupakan cabang kekuasaan yang tidak mencerminkan keterwakilan rakyat melalui mekanisme pemilihan.  Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa judicial restraint adalah pengekangan diri yang dilakukan oleh cabang kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya dengan tidak mengganggu cabang kekuasaan yang lain dalam kerangka prinsip pemisahan kekuasaan. Judicial restraint terdiri dari berbagai jenis pembatasan bagi pengadilan dalam mengadili perkara-perkara konstitusional (constitutional matters). Jenis-jenis pembatasan tersebut adalah:


1.Pembatasan Konstitusional (Constitutional Limitation)
Pembatasan konstitusional adalah pembatasan yang berdasarkan ketentuan dalam konstitusi atau pemberian kewenangan secara limitatif kepada pengadilan didalam konstitusi. Pembatasan konstitusional dapat terlihat, misalnya, pada Article III Konstitusi Amerika Serikat yang mensyaratkan adanya "case and controversy".  Dengan syarat ini, maka Supreme Court dalam memutus perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar akan selalu didasarkan pada keadaan yang aktual atau berupa "concrete case" dan tidak didasarkan pada "hypothetical case".  Chief Justice Hughes mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "case and controversy" adalah keadaan yang pasti dan nyata yang menyentuh hubungan hukum pihak yang dirugikan oleh sebuah undang-undang.  Bentuk pembatasan konstitusional lainnya dapat terlihat misalnya pada Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada pasal tersebut, kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diatur secara limitatif, yakni hanya menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar, mengadili sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, mengadili sengketa hasil pemilihan umum, mengadili permohonan pembubaran partai politik, dan mengadili pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C tersebut merupakan norma tertutup yang tidak memungkinkan adanya penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi, selain melalui amandemen Undang-Undang Dasar.  Berdasarkan uraian tersebut, maka pembatasan konstitusional berarti memberikan kewenangan yang limitatif bagi kekuasaan kehakiman melalui norma-norma konstitusi.
Dengan pembatasan konstitusional tersebut, diharapkan kekuasaan kehakiman tidak mengganggu kewenangan konstitusional dari cabang kekuasaan yang lain.  
2. Pembatasan Berdasarkan Kebijakan (Policy Limitation)
Pembatasan berdasarkan kebijakan (policy limitation) dikemukakan oleh Justice Brandels pada tahun 1936 dalam perkara Ashwander v. Tennessee Valley Authority yang kemudian dikenal sebagai "Ashwander rules".  Ashwander rules yaitu pengadilan untuk melakukan pengekangan diri (self-restraint) dalam rangka menjalankan kewenangan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.  Ketujuh prinsip tersebut adalah:
1. Pengadilan harus menghindari memberikan putusan mengenai permasalahan konstitusional yang timbul tanpa adanya sengketa (in friendly non-adversary proceedings);
2. Pengadilan tidak akan memutus sebuah permasalahan konstitusional hingga benar-benar dibutuhkan;
3. Pengadilan akan selalu menganggap bahwa seluruh undang-undang adalah konstitusional, dan membebankan kepada para pihak yang berperkara untuk membuktikan sebaliknya (presumption of constitutionality);
4. Pengadilan tidak akan merumuskan sebuah putusan dalam masalah konstitusional melebihi kebutuhan yang diperlukan sebagaimana yang tergambar di dalam persidangan dengan sedapat mungkin menghindari pembentukan norma baru (Avoiding the creation of new principles);
5. Pengadilan tidak akan menerima permohonan yang bersifat constitutional question atau perkara yang memiliki isu politis yang kuat jika perkara tersebut dapat diselesaikan melalui mekanisme konstitusional lainnya. Pengadilan tidak akan menerima permohonan pengujian undangundang yang diajukan oleh mereka yang tidak dapat membuktikan kerugian yang mereka alami akibat keberlakuan undang-undang tersebut;
7. Pengadilan tidak akan menerima pengujian konstitusionalitas dari sebuah undang-undang yang dimohonkan demi menarik keuntungan bagi diri pemohon sendiri. Selain ketujuh prinsip di atas, Supreme Court Amerika juga mengembangkan kebijakan yang disebut sebagai kebijakan "saving construction/statutory construction". Kebijakan ini menekankan bahwa pengadilan seharusnya menemukan makna asli dari sebuah norma dalam undang-undang yang diuji sebelum menentukan mengenai konstitusionalitasnya. Kebijakan ini ditujukan untuk mengetahui maksud asli (original intent) pembentuk undang-undang tentang norma yang dipermasalahkan. Original intent tidak selalu dapat tergambar dengan jelas dalam risalah-risalah perdebatan anggota legislatif.
Oleh karena itu, ketika original intent tersebut tidak dapat secara jelas terlihat, maka pengadilan dapat menentukan makna dari norma tersebut. Apabila sebuah norma memiliki tafsir yang berbeda-beda, maka judicial restraint menghendaki hakim untuk memilih penafsiran yang melindungi konstitusionalitas norma tersebut.
3.Pembatasan Berdasarkan Doktrin (Doctrine Limitation)
Pembatasan berdasarkan doktrin tertentu merupakan implementasi dari prinsip kehati-hatian (prudential principles) hakim dalam memutus sebuah perkara. Pembatasan berdasarkan doktrin terdiri dari beberapa doktrin, yakni:
1.Standing, berdasarkan doktrin ini, pihak yang berperkara harus memiliki kepentingan secara langsung terhadap perkara berupa kerugian yang bersifat nyata yang diakibatkan oleh berlakunya suatu undang-undang.  Terdapat tiga syarat agar doktrin standing ini dapat terpenuhi, yakni:  
a.Adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran kepentingan khusus, dan aktual dalam satu kontroversi dan bukan yang bersifat potensial;
b.Adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara kerugian dengan berlakunya satu undang-undang;
c.Kemungkinan dengan putusan yang diharapkan, maka kerugian akan dihindarkan atau dipulihkan.
2. Mootness, adalah keadaan dimana latar belakang masalah yang diperkarakan telah terselesaikan atau telah lenyap sehingga putusan pengadilan tidak dapat diimpelementasikan atau tidak memiliki efek praktis.  Hilang atau telah terselesaikannya permasalahan pada sebuah perkara sebelum adanya putusan pengadilan mengakibatkan perkara tersebut tidak lagi memiliki sifat kontroversi yang aktual sebagai salah satu syarat berperkara di pengadilan.  Kern Alexander dan David Alexander memberikan beberapa alasan sebuah perkara termasuk pada kategori mootness, yakni:
a. facts did not hold at all stages of the appellate process;
b. the law has changed; the defendant no longer wishes to appeal;
c. the wrongful behavior has passed and cannot reasonably be expected to recur;
d. a statutory age limit no longer appliesbecause of lapse of time;
e. a party to the suit has died Ripeness, menyangkut kematangan sebuah perkara untuk dapat diadili oleh pengadilan. Doktrin ripeness ditujukan untuk menghindari keterlibatan pengadilan secara prematur dalam mengadili suatu perkara yang mungkin dapat diselesaikan melalui cara-cara lain yang tersedia berdasarkan hukum.  Doktrin ripeness ini penting untuk menjaga agar pengadilan tidak mengadili perkara-perkara yang bersifat potensial (hypothetical case).  Doktrin ripeness ini serupa dengan doktrin exhausted of administrative remedies pada dimensi hukum administrasi.  Doktrin ripeness menghendaki para pihak yang bersengketa untuk menempuh proses non-judicial terlebih dahulu.  
4. Abstention doctrine, adalah doktrin yang melarang pengadilan yang lebih tinggi untuk melakukan intervensi terhadap perkara yang sedang bergulir di pengadilan yang lebih rendah sampai terdapat putusan akhir.  5. Political question doctrine, adalah doktrin pengekangan diri yang dilakukan cabang kekuasaan kehakiman untuk tidak mengadili perkara yang memiliki sifat politis yang berat.  Penarikan diri ini, menurut Philip A. Talmadge dikarenakan pengadilan tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan yang memiliki nilai politis yang besar. Lebih jelas Philip A. Talmadge mengatakan: "The courts are not readily capable of managing the resolution of large-scale political problems". Aharon Barak dengan mengutip pendapat dari Justice Brennan pada perkara Baker v. Carr pada tahun 1962, menyatakan political question sebagai: "Political question textually demonstrable constitutional commitment of the issue to a coordinate political department; or the impossibility of a court's undertaking independent resolution without expressing lack of the respect due coordinate branches of government; or an unusual need for unquestioning adherence to a political decision already made; or the potentiality of embarrassment from multifarious pronouncements by various departments on one question".  Political question merupakan cerminan dari prinsip pemisahan kekuasaan.  Penerapan political question harus dilakukan oleh cabang kekuasaan kehakiman apabila perkara yang timbul merupakan exclusive power dari cabang kekuasaan yang lain, atau sebagaimana yang dikemukakan Philip A. Talmadge sebagai "the sole concern of the coordinate branch of government".  Political question diterapkan dalam rangka melindungi prinsip pemisahan kekuasaan serta menghormati cabang-cabang kekuasaan yang lebih demokratis secara konstitusional, dan merupakan sebuah bentuk kehati-hatian pengadilan untuk menjaga citranya dimata masyarakat sebagai lembaga non-politis,  sehingga penyelesaian perkara yang tergolong political question sudah selayaknya ditempuh melalui proses politik.  Berdasarkan doktrin political question, perkara yang memiliki nuansa politis yang kuat akan ditolak oleh pengadilan meskipun memiliki argumen hukum yang sah dan kuat.  Terdapat beberapa kriteria perkara yang tergolong political question, yakni :  
a. Apabila dalam perkara tersebut nampak nyata secara konstitusional merupakan exclusive power dari cabang kekuasaan politik;
b. Kurangnya standar penyelesaian perkara secara hukum di pengadilan;
c. Ketidakmungkinan penyelesaian perkara tanpa membentuk sebuah kebijakan melalui proses non-judicial;
d. Apabila penyelesaian perkara yang dilakukan pengadilan akan menggambarkan kurangnya penghormatan (lack of respect) terhadap cabang kekuasaan yang lain.
4.Fungsi Judicial Restraint Bagi Kekuasaan Kehakiman dan Penerapannya pada Mahkamah Konstitusi Secara prinsipil, fungsi kekuasaan kehakiman adalah menyelesaikan sengketa yang terjadi di tengah masyarakat agar tidak terjadi tindakan penyelesaian sengketa melalui hal-hal diluar hukum termasuk kekerasan.  Konsep penyelesaian sengketa melalui pengadilan ini merupakan konsep triadic (pihak ketiga) dimana masingmasing pihak yang berperkara bersepakat untuk melakukan penyelesaian melalui putusan pengadilan sebagai pihak ketiga (triadic rule making).  Dalam kehidupan demokrasi, kekuasaan kehakiman berfungsi sebagai pelindung hak-hak individu yang mungkin terancam oleh kepentingan mayoritas. Dalam konteks kehidupan negara berkonstitusi yang menjamin perlindungan hak asasi melalui konstitusi, maka kekuasaan kehakiman dapat pula dimaknai sebagai pelindung konstitusi.
Dengan demikian, dalam kehidupan negara demokrasi konstitusional, pengadilan menjadi harapan masyarakat dalam menghadapi berbagai permasalahan yang mendasar atau bahkan permasalahan yang membingungkan dalam kehidupan. Perlindungan terhadap demokrasi mencakup dua aspek penting. Pertama, aspek formal dari demokrasi yang diartikan sebagai kedaulatan rakyat yang tercermin dalam pemilu yang bebas untuk memilih wakil-wakil rakyat di parlemen yang kemudian menentukan kebijakan-kebijakan berdasarkan kehendak mayoritas. Kedua, aspek substantif demokrasi yang berisi nilai-nilai lain yang terkandung selain nilai mayoritas. Nilai-nilai tersebut berupa prinsip pemisahan kekuasaan, prinsip negara hukum (the rule of law), independensi peradilan, hak asasi manusia, moralitas, keadilan, tujuan sosial berupa perdamaian dan keamanan, goodfaith, reasonableness, serta etika dan perilaku.  Nilai-nilai tersebut merupakan substansi inti demokrasi, tanpa nilai-nilai tersebut maka demokrasi tidak akan pernah terwujud. Fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas menggambarkan betapa pentingnya kedudukan pengadilan dalam sebuah negara demokrasi. Oleh karena itu, menjaga integritas pengadilan menjadi hal yang penting untuk dilakukan mengingat kedudukan kekuasaan kehakiman sebagai "the least power" diantara cabang kekuasaan lainnya dalam kerangka prinsip pemisahan kekuasaan. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap integritas pengadilan akan menyebabkan hilangnya kewibawaan putusan pengadilan yang dapat mengakibatkan pengabaian terhadap putusan pengadilan. Demi menjaga integritas pengadilan tersebut, kehadiran judicial restraint menjadi penting untuk dilembagakan dengan alasan sebagai berikut:
1. Keterbatasan institusional cabang kekuasaan kehakiman yang memiliki akuntabilitas lebih rendah dari cabang kekuasaan legislatif yang merupakan perwakilan rakyat yang dipilih secara langsung melalui pemilihan umum;
2. Independensi pada lembaga peradilan, baik secara kelembagaan maupun secara individual, termasuk independensi hakim dalam menggunakan metode-metode penafsiran dapat dengan mudah disalah gunakan;
3. Sebagai sebuah bentuk kehati-hatian pengadilan untuk menjaga citranya di mata masyarakat sebagai lembaga non-politis.
5.Hingga saat ini, Mahkamah Konstitusi telah memiliki Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/MK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Namun, peraturan tersebut hanya memberikan sedikit pengaturan mengenai prinsip kehati-hatian atau diligence principle bagi hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Kode Etik dan Perilaku yang diatur di dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut diantaranya adalah:  
1. Prinsip independensi, yang menyatakan bahwa hakim konstitusi harus terbebas dari pengaruh, yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat memengaruhi secara langsung atau tidak langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.
2. Prinsip ketidakberpihakan, yang mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam akan pentingnya keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ini melekat dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan Mahkamah dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya.
3. Prinsip integritas, yang mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya, disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk-rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya.
4. Prinsip kepantasan dan kesopanan, yang tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, penampilan, ucapan, atau gerak tertentu; sedangkan kesopanan terwujud dalam perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan antar pribadi, baik dalam tutur kata lisan atau tulisan; dalam bertindak, bekerja, dan bertingkah laku; dalam bergaul dengan sesama hakim konstitusi, dengan karyawan, atau pegawai Mahkamah Konstitusi, dengan tamu, dengan pihak-pihak dalam persidangan, atau pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara. Prinsip-prinsip sebagaimana disebutkan di atas merupakan prinsip-prinsip yang menjamin terjaganya independensi Makamah Konstitusi. Namun, dalam peraturan tersebut, bentuk-bentuk kebijakan yang menekankan pentingnya hakim untuk melakukan pengekangan diri tidak dapat terlihat. Dalam praktik di negara-negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental yang mengedepankan hukum tertulis sebagai sumber hukum utama seperti Indonesia, menghadirkan bentuk-bentuk kebijakan pembatasan melalui bentuk formal dapat menjadi sebuah terobosan. Salah satu prinsip pembatasan yang dapat diformalkan adalah prinsip case and controversi. Doktrin ini mengharuskan perkara bersifat konkret dan tidak memperkenankan perkara yang bersifat hipotesis. Penulis berpendapat bahwa bentuk perkara yang hipotesis akan mengakibatkan pengadilan akan sulit untuk memperkirakan remedy yang dapat diterima Pemohon sebagai bentuk pemulihan hak yang terlanggar oleh berlakunya sebuah undang-undang. Sulitnya menentukan remedy pada perkara yang bersifat hipotesis akan cenderung membuat hakim memberikan interpretasi yang juga bersifat hipotesis futuristik. Di satu sisi, tafsir demikian dapat menjadi sebuah terobosan hukum, tetapi di sisi lain, tafsir demikian, jika tidak dilakukan dengan penuh kehati-hatian dapat membuat pengadilan memutuskan sesuatu di luar apa yang dimohonkan oleh Pemohon atau bersifat ultra petita, atau bersifat membentuk norma dan mengubah makna dari norma Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, pemberlakuan prinsip case and controversy akan dapat memudahkan hakim dalam memperkirakan remedy yang tepat bagi pemohon dikarenakan kerugian konstitusional sudah bersifat nyata dan aktual. Kondisi tersebut akan dapat mengekang kecenderungan hakim untuk melahirkan putusan dengan tafsir futuristik yang dapat berupa putusan ultra petita. Selain itu, terdapat prinsip judicial restraint lainnya yang dapat diformalkan untuk diterapkan pada Mahkamah Konstitusi adalah doktrin absolutely necessary. Doktrin ini mengharuskan bahwa sebuah perkara konstitusional harus bersifat sangat penting agar dapat diadili di Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu, penerapan doktrin tersebut dapat berupa memberikan makna absolutely necessary pada setiap perkara yang masuk ke Mahkamah Konstitusi. Setiap perkara yang masuk ke Mahkamah Konstitusi harus diasumsikan sebagai sebuah perkara konstitusional yang penting. Kondisi ini harus diikuti dengan perubahan syarat minimum dikabulkannya sebuah perkara yang semula dengan perbandingan persetujuan hakim sebanyak lima berbanding empat, menjadi enam berbanding tiga. Artinya, setiap perkara konstitusional akan dianggap sangat penting, oleh karena itu putusan untuk mengabulkan sebuah sengketa konstitusional harus menggambarkan kehati-hatian yang besar. Bentuk kehati-hatian tersebut dapat berbentuk syarat minimal diterimanya sebuah permohonan, yakni disetujui sekurang-kurangnya oleh 6 orang hakim. Prinsip kehati-hatian ini dapat diterapkan lebih jauh lagi, misalnya untuk perkara-perkara yang memerlukan pembentukan norma baru, atau putusan yang berimplikasi pada perubahan makna Undang-Undang Dasar, atau putusan yang bersifat ultra petita, hanya dapat dilakukan apabila seluruh hakim secara bulat menyatakan persetujuannya. Artinya, untuk dapat melahirkan putusan dengan sifat-sifat sebagaimana disebutkan, harus diambil dengan suara bulat tanpa adanya dissenting opinion. Prinsip-prinsip judicia judicial review restraint lainnya, menurut penulis merupakan sebuah prinsip dan doktrin yang akan sulit untuk diformalkan dalam bentuk apapun.
 Oleh karena itu, diperlukan sebuah legal conciousness dari dalam diri hakim untuk mengekang dan membatasi dirinya sendiri sebagai the least power dalam struktur ketatanegaraan dan demi menjaga wibawa dan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan.
Judicial restraint merupakan sebuah prinsip dan doktrin yang perlu dikembangkan oleh hakim untuk tetap menjaga dijalankannya kewenangan Mahkamah Konstitusi agar tetap pada apa yang telah digariskan di dalam Undang-Undang Dasar. Judicial restraint dalam penerapannya dapat meminimalisir perdebatan yang dapat timbul akibat putusan hakim yang kontroversial. Penerapan judicial restraint dapat diterapkan melalui bentuk-bentuk formal tertentu. Namun, sebagian besar prinsip dan doktrin judicial restraint hanya dapat dikembangkan dan ditegakkan dari dalam diri hakim.



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun