Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Pandangan Etika Tentang Etis/Tidaknya Manusia Menghidupkan Kembali Species yang Telah Punah

27 Februari 2012   05:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:56 1143 0

Film fiksi The Lost World, tentu sangat berbekas dalam ingatan. Spesies yang telah punah mampu dihadirkan kembali di dunia nyata. National Geographic bulan Mei 2009 ini menyajikan berita yang cukup menarik mengenai usaha para ilmuwan untuk membangkitkan kembali mamooth, sejenis gajah raksasa berbulu lebat yang pernah menguasai lingkaran kutub utara puluhan ribu tahun silam. Dengan ditemukannya spesimen utuh seekor bayi mamooth di Siberia dua tahun yang lalu, para ilmuwan berhasil memetakan lebih dari 70% genom mamooth yang merinci banyak hal dasar yang amat diperlukan untuk menghidupkan hewan kembali hewan purba itu.

Namun, meskipun nampaknya keberhasilan membangkitkan kembali species-species tersebut, bahkan mammoth dan dinosaurus hanya tinggal menunggu waktu saja. Namun, letak permasalahannya bukanlah di situ, bukan soal teknologinya, tetapi lebih ke soal etis. Perlu dipertimbangkan kembali baik dan buruknya membangunkan kembali spesies yang telah punah. Memang, keberhasilan seperti itu akan membawa terobosan yang amat revolusioner di bidang sains, khususnya biologi, akan tetapi secara etis masih banyak sekali yang perlu dipertimbangkan. Makalah ini sedikit banyak akan membahas pandangan etika tentang boleh/tidaknya manusia menghidupkan kembali spesies-spesies yang telah punah

menghidupkan kembali spesies-spesies yang telah punah menjebak khalayak kedalam masalah yang teknis, masalah teknologi. Namun melupakan prinsip dasar bahwasannya masalah itu harus lulus uji etis. Menghidupkan kembali spesies-spesies yang telah punah, selalu dilihat khalayak dari sudut pandang teknik (membuat daftar kode genetik, melengkapi seluruh peta genetika (genom), rumitnya ekstraksi DNA, peliknya membuat urutan DNA, perkembangan teknologi kloning, sel induk, dan sejenisnya). masalah menghidupkan kembali spesies-spesies yang telah punah bukan masalah teknis, tetapi masalah etika. Sehingga penyelesaian masalahnya harus dilakukan melalui pendekatan etika.

Berangkat dari pemikiran bahwa setiap individu itu memiliki nilai dan status sosial. Setiap individu itu hidup memiliki tujuan tersendiri bahkan punah pun adalah sebuah tujuan, maka menghidupkan kembali spesies-spesies yang telah punah adalah merupakan tindakan yang tidak etis, dengan argumen sebagai berikut :

Argumen #1 : Penyimpangan pemahaman sebagai sumber bencana

Permasalahan menghidupkan spesies yang telah punah tidak bisa dilepaskan dari kegiatan manusia yang disebut teknik. Pengertian teknik adalah suatu cara membuat sesuatu. Teknik kemudian dipelajari untuk tujuan tertentu dan dinamakan teknologi. Alat-alat yang dihasilkan teknik bisa merupakan perpanjangan tubuh manusia atau bisa juga sarana untuk menemukan dan menyimpan apa yang tidak didapatkan pada dirinya. Maka teknik adalah realisasi sekaligus substitusi diri manusia.

Masalahnya kemudian teknik itu mengandaikan ada sarana yang dipakai, dan itu adalah alam. Penggunaan alam untuk memenuhi kebutuhan manusia dibedakan dalam 2 (dua) sifat, yaitu; eksploitatif dan konstruktif. Eksploitatif maksudnya manusia mengambil segala sesuatu dari alam tanpa mengganti atau mengembalikannya ke alam. Sedangkan konstruktif adalah pengambilan hasil alam dengan memperhitungkan kelestariannya, maka harus diikuti dengan tindakan memperbarui. Sejak lama tindakan manusia yang sembrono dan serakah menyebabkan banyak spesies punah tiap tahunnya. Lalu, semakin mengguritanya teknologi berbaur dengan nilai ekonomi, membuat manusia semakin kehilangan kendali. Nilai ekologis yang mengatakan take what to need berubah menjadi take what to want.

Padahal, seperti kata Erich Fromm dalam bukunya, To Have or to Be; "Keinginan merupakan sesuatu yang tidak terbatas. Keinginan memiliki selalu melahirkan keinginan berikut, sehingga yang muncul adalah keserakahan". Ironisnya, keserakahan itu sifatnya tidak akan terpenuhi, tidak akan sampai titik jenuh, karena ini menyangkut mental. Atau, kata Gandhi, dunia dan segala isinya betapapun banyaknya, tidak akan memenuhi keserakahan. Karena keserakahan tidak bisa dikendalikan akibat dibalut oleh hawa nafsu manusiawi, akan terus lahir ulah manusia untuk menempuh jalan pintas meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dari spesies lain. Dengan berbagai alasan, alam akan dirusaj, dibabat, dan dieksploitasi tanpa batas. Manusia menjadi arogan, dapat berbuat apa saja, memusnahkan spesies, kemudian menghidupkannya lagi.

Manusia sebagai pelaku moral (moral agents) dengan segala kelebihan pada dirinya melakukan manipulasi-manipulasi kepada subyek moral (moral subjects). Ini sangat tidak etis. Penyimpangan pemahaman etika antroposentrisme inilah yang menyebabkan manusia ingin menghidupkan spesies yang telah punah. Pandangan antroposentris yang meletakkan manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia inilah yang melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tidak mempunyai nilai pada diri sendiri. Semua diukur atas asas kemanfaatan bagi manusia. Manusia bahkan bisa menuhankan apa saja, rasionya bahkan dirinya sendiri.

Argumen #2 : Tentang moral dan value

Karena setiap spesies juga mempunyai hak, walaupun mereka tidak dapat bertindak yang berlandaskan kewajiban. Mereka eksis dan tercipta untuk kelestarian alam ini. Maka mereka juga mempunyai hak untuk hidup. Hak itu harus dihormati berdasar prinsip nilai intrinsik yang menyatakan bahwa setiap entitas sebagai anggota komunitas bumi bernilai.

Berangkat dari pemikiran ini menghidupkan spesies yang punah kemudian menjadikanya spesies tersebut hidup merana hidup sendiri di dunia ini, hanya demi kepuasan manusia semata, maka sangat bertentangan dengan keyakinan bahwa suatu species memiliki nilai dan status serta menjadi subyek moral bagi pelaku moral (manusia), dan sangat bertentangan dengan 4 (empat) platform etika lingkungan, yaitu; no harm (tidak mencelakai makhluk hidup), non interference (tidak  menghambat/ mengendalikan perkembangan populasi makhluk hidup), honesty (tidak memperdaya makhluk hidup), dan restitutif (memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan terhadap makhluk hidup). Pelaku moral adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk  bertindak secara moral, sehingga memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang bisa dituntut pertanggungjawabannya atas tindakannya. Subjek moral adalah makhluk hidup yang dapat diperlakukan secara baik atau buruk.

Sikap moral artinya mengakui adanya nilai intrinsik pada setiap spesies, pandangan moral merupakan pandangan yang menempatkan makhluk hidup selain manusia juga memiliki nilai. Nilai ini sangat berharga bagi diri makhluk hidup yang bersangkutan. Nilai ini lepas dari kepentingan manusia. Pandangan moral berfungsi untuk menuntun manusia untuk bertindak secara baik demi menjaga dan melindungi kehidupan tersebut. Bukankah suatu perbuatan itu baik ketika hal tersebut cenderung melestarikan integritas, kestabilan dan keindahan komunitas biotik, dan sesuatu itu buruk jika mengakibatkan hal sebaliknya?.

Argumen #3 : Terganggunya kesetimbangan alam

Ekosistem menjadi mapan melalui proses perakitan komponen ekosistem. Sangat sulit bagi spesies yang baru untuk bergabung dengan ekosistem yang telah mapan tersebut, karena selain memiliki begitu banyak spesies, spesies-spesies tadi juga sudah menduduki semua potensi niche ekologi. Spesies baru dapat bertahan hidup dalam ekosistem yang matang hanya jika mereka dapat outcompete dan spesies yang sudah ada. Akhirnya terciptalah komunitas klimaks (ekuilibrium), yang dimiliki oleh spesies dengan jumlah terbesar, dan mereka semua pesaing efisien, dapat bertahan hidup baik dengan sumber daya terbatas.

Suksesi ekologis terjadi dengan berjuta-konsekuensi praktis, segenap species telah merespon dengan mengembangkan berbagai cara untuk fitting together dengan ekosistem, dan mengintegrasikan penggunaan ekosistem dengan proses-proses yang terjadi di alam. Alam sudah mencapai stability domain (kesetimbangan) baru dan tertentu semenjak spesies yang punah tersebut berhasil dibangkitkan. Introduksi spesies secara “tiba-tiba” hanya akan menyengsarakan spesies tersebut, karena akan terjadi culture shock karena memang spesies tersebut memang bukan hidup di habitat aslinya, yang memang sudah tidak ada lagi. Alam akan mengalami gangguan hanya karena intriduksi satu-dua spesies saja yang bahkan dapat mengorbankan segenap proses suksesi ekologis termasuk proses koadaptasi dan koevolusi spesies baru yang sudah menjapai titik kesetimbangan tertentu. Hal ini sama sekali tidak memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan terhadap alam dan makhluk hidup.

Eksistensi suatu spesies lain dipengaruhi oleh spesies lainnya. Spesies yang satu dengan spesies yang lainnya merupakan bagian dari jaring kehidupan yang saling mempengaruhi. Seperti juga spesies lain manusia juga memiliki tujuan yang sama, yaitu bertahan untuk tetap eksis . Munculnya species baru adalah tanda bahwa alam telah mencapai keseimbangan tertentu. Setiap spesies mensyaratkan daya dukung lingkungan yang spesifik, dinosaurus memerlukan daya dukung alam tersendiri, adalah hal sangat tidak etis bila manusia dengan segala kelebihannya sengaja membuat sengsara mahluk/spesies lain hanya karena fantasi dan kesenangan.

Pada akhirnya pandangan etika tentang boleh/tidaknya manusia menghidupkan kembali spesies-spesies yang telah punah kembali pada moral dan etika yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Karena moral dan etika tersebut yang akan membentuk cara pandang dan pola pikir yang dicerminkan pada tindakan manusia sehari-hari. Etika dan moral merupakan hakikat kemanusiaan itu sendiri, ketika kedua hal tersebut memudar maka kemanusiaan kehilangan maknanya. Sehingga dengan kedua hal itulah manusia dapat memahami kedirian dan kemanusiaanya di dunia ini.

Daftar Bacaan

Borrong, R., 1999. Etika Bumi Baru, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Callicot , J.B., 1999. Beyond the land ethic. More essay in environmental philosophy , State university of New York press , New York

Hargrove, E.C., 1989. Foundation of Environmental Ethics,  Prentice Hall, New Jersey

Keraf, S., 1982. Lingkungan Hidup, Melihat Dimensi Etisnya, Kompas, 6 Desember 1982.

Paterson, M., 2005 Green Politics, dalam Theories of International Relations, BAB X, hal 277-300.

oleh  :

Muhammad Ihwan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun