Selama prosesi ini banyak yang mulai membuka ingatan-ingatan lama akan kegagalan yang telah dicapai oleh pemerintah saat ini, mulai dari masalah BBM, good governance, pertumbuhan ekonomi, utang luar negeri, kasus korupsi dan yang terbaru tentang penolakan RUU Hankamnas. Dalam sejarah ritual yang satu ini nampaknya akan sulit kita temukan bahwa suatu pemerintahan dipuji atau bahkan apresiasi dalam bentuk massal, atau mungkin juga karena banyaknya provokasi berita yang kurang seimbang dari mass media. Mulai dari zamannya presiden pertama sampai dengan presiden yang telah menjabat selama dua periode ini, ritual ini hanya terlihat sebagai tontonan yang mengalami perulangan (repetisi)—sama-sama menyinggung hal yang sama, diperankan oleh orang-orang yang memiliki status yang sama, memiliki efek atau kerugian yang sama (baik jiwa maupun fisik).
Berbicara tentang pengulangan, jelas tidak ada repetisi yang betul-betul persis dengan kejadian sebelumnya, baik aktor, tempat maupun waktu berubah sesuai zamannya—hasilnyapun berbeda-beda. Mungkin masih terngiang di ingatan bagaimana generasi saat ini disuguhi dengan bacaan-bacaan ataupun film-film dokumenter tentang sejarah perjuangan mahasiswa, baik lewat teatrikal, demonstrasi atau infiltrasi terhadap pejabat pemerintahan, hasilnya, tidak jarang yang melahirkan perubahan besar dari ritual tersebut, sampai yang terakhir adalah tahunnya reformasi 1998. Cara tersebut (baca: demonstrasi) adalah salah satu tools yang dianggap paling manjur pada masa lalu, penggerakkan massa secara masif.
Setelah sedikit menoleh kebelakang terkait alat perjuangan yang dilakukan, kita kembali pada repetisi cara tersebut dengan tantangan yang berbeda, hanya saja kita sulit menemukan titik keberhasilan tersebut dalam bentuk masif seperti yang ada di buku-buku sejarah, jangan-jangan hanya menjadi sebagai style bagi orang-orang yang sedang mengukur dalamnya idealisme, atau juga karena sudah banyak cara yang telah dilakukan selain demonstrasi tetapi sama saja tidak mempunyai efek yang signifikan. Padahal dimana-mana, berkoar untuk menurunkan presiden, hapuskan korupsi, buat adil dan sejahtera masyarakat Indonesia. Sayang hal ini menjadi ritual tanpa nurani dan hasil.
Karena telah menjadi ritual tanpa hasil di era saat ini, demonstrasi yang sering kita lihat dan banggakan bisa menjadi pemicu hilangnya integritas perjuangan, akan mudah terlihat seperti propagasi kesalahan alat perjuangan. Bayangkan saja setiap ada kesalahan pemerintah kita turun ke jalan, setiap pergantian tahun kita beramai-ramai membuat fasilitas negara rusak dan setiap ada peringatan hari ini-itu, kita bersorak-sorak menutup akses jalan. Demonstrasi itu adalah cara ampuh melumpuhkan kenyamanan terhadap jalannya suatu hal yang negatif/kesewenang-wenangan, tapi cara ini akan mengalami distorsi kepentingan massa ketika tools ini sering sekali digunakan. Tidak akan ada lagi pejabat pemerintahan yang takut atau mungkin was-was akan suatu demonstrasi, tak ada lagi kesakralan dan nilai yang dibawa pada saat demonstrasi.
Propagasi ini akan merambat pada hilangnya kepercayaan dari masyarakat terhadap tools yang satu ini (baca: demonstrasi), karena selama ini, yang tercitra lebih banyak bersifat destruktif. Sangat disayangkan kalau masyarakat yang kita elu-elukan dalam setiap langkah untuk turun ke jalan malah berpikir negatif terhadap perjuangan yang dilakukan, ini akan menjadi “onani” perjuangan. Dalam beberapa kasus terakhir, demonstrasi malah menjadi lawan masyarakat sendiri dalam arti fisik.
Dalam beberapa referensi, mungkin kita akan menyadari bahwa masyarakat Indonesia mengalami reformasi intelektual yang luar biasa, kita sudah banyak memiliki orang-orang yang terkenal dengan sebutan cendikiawan atau bahkan ilmuan yang disegani oleh rakyatnya sendiri. Bayangkan saja kalau semua memiliki kepentingan untuk kebaikan Indonesia, mungkin infiltrasi secara massal akan lebih mudah dilakukan oleh orang-orang seperti ini untuk mengatasi persoalan bangsa—sepertinya kita terlupa dengan gerakan pakar-pakar agama di Indonesia untuk memberikan masukan pada pemerintahan, bukan tidak didengarkan, hanya saja tidak dijalankan. Gerakan intelektual seharusnya tidak lagi diartikan sebagai gerakan mahasiswa atau aktifis-aktifis muda bangsa ini, justru karena bangsa ini sudah semakin maju, maka gerakan intelektual harus mulai dibubuhi dengan orang-orang yang sudah mulai lupa tentang bahasa-bahasa perkuliahan, digerakkan pula secara masif, masyarakat kecilpun akan ikut bergerak kalau ketua RT/RW yang turun ke jalan. Jangan mau mahasiswa digerakkan oleh orang tua yang punya kepentingan tertentu, ubah paradigma untuk menggerakkan orang-orang tua tersebut untuk ikut turun ke jalan atau memasuki area pejabat teras.
Pada akhirnya kita jangan mau terkurung dalam provokasi “yang muda yang mengubah”, karena tanpa yang tuapun kita hanya berpotensi menjadi naughty toy. Karena tatanan masyarakat, baik yang memiliki intelegensia tinggi atau rendah tidak lepas dari dua golongan, yaitu muda dan tua. Inilah Hantam Kromo. 20-10-12