Beberapa orang, bahkan mungkin seluruh masyarakat Indonesia sudah tahu tentang gosip yang menjadi rahasia publik ini, karena termakan oleh kebiasaan dan sudah menjadi budaya di setiap sisi hidup, hal ini tidak menjadi sorotan dalam setiap kampanye-kampanye yang berbau penegakan kejujuran dan keadilan terhadap suatu masalah. Mulai dari masalah yang paling dasar, pendidikan maupun kesehatan—jangan lagi berbicara ekonomi, politik, hukum dan HAM, jelas sudah menjadi senjata andalan untuk mempertahankan supremasi dan hegemoni untuk suatu cita-cita serakah manusia—memonopoli.
Kalau Saja Semua Keterunan Nabi Adam AS
Saya hanya berpikir bahwa adanya gejala sosial yang katanya berimbas negative ini, dimulai dari pemikiran bahwa, semua makhluk di dunia ini berdasarkan satu bapak dan satu orang tua, tentu sangat sederhana kita bisa mengatakan bahwa, seluruh manusia yang ada di Indonesia dan dunia ini saling berkeluarga, saling punya kasih dan sayang antara sesama. Begitupun dengan pembagian jatah jabatan, kocek, usaha maupun hal-hal yang menjadi dasar untuk keberlangsungan umat manusia. Tentunya akan dilakukan berdasarkan keadalian link-isme tersebut—orang yang punya jabatan tinggi, mempromosikan keluarganya yang lain yang kurang mampu untuk dapat sekolah dan berpendidikan, orang yang punya banyak rupiah akan memberikan duit penutup mulut pada seluruh makhluk yang namanya manusia, orang yang memiliki ilmu dan prestasi yang melimpah akan menafkahkan hasil-hasil pemikirannya untuk kesejahteraan keluarga manusianya yang lain—betapa indahnya hidup, satu manusia menipu, semua ikutan menipu, satu manusia yang benar, semua menjadi benar.
Sebetulnya keadaan sekarang kurang dan lebihnya menandakan bahwa orang di Indonesia sudah berpikiran kalau semua manusia itu berkeluarga—punya keluarga masing-masing. Punya keluarga konglomerat, punya keluarga pengusaha, punya keluarga pemerintahan, punya keluarga kedokteran, punya keluarga miskin, punya keluarga sakit-sakitan. Semuanya menjadi tergolong dalam banyak keluarga masing-masing, bahkan tidak mau memberikan predikat keluarganya tersebut pada orang lain tanpa sedikit “suap”. Akhirnya yang miskin tetaplah miskin, kaya tetaplah kaya dan terpenting adalah yang menjadi keluarga korup tetap mau mempertahankan tahtanya jadi keluarga korup. Walaupun seperti ini patutlah berbangga kita pada bangsa besar ini sebagai Bhineka Tunggal Ika, setidaknya masih punya keluarga masing-masing.