Apa pernah sama-sama kita dengar ada pembicaraan tentang mahasiswa yang bertipe pekerja dan bertipe pemikir? Saya rasa pembicaraan konvensional ini sudah lama menjadi buah bibir yang sudah mulai dilupakan oleh kita dalam memetakan potensi manusia-manusia intelektual. Pembicaraan tentang hal ini akan seketika menjadi asap ketika orientasi gerakan mahasiswa sekarang hanya berporos pada pikiran “hanya sekedar mensukseskan acara”—setelah tolok ukur terpenuhi selesailah pendidikan yang didapatkan, padahal bukankah pendidikan adalah suatu hal yang berkesinambungan dan memiliki esensi dibalik setiap tindakan yang dilakukan, bukan hanya pelaksanaan event-eventbesar semata.
Dalam perkembanganya, mahasiswa selalu dituntut untuk melaksanakan kegiatan hanya sebagai ritual implementation untuk dicap sebagai orang-orang yang berhasil dalam suatu amanat atau suatu seremonial acara. Kita seakan-akan melaksanakan acara itu dengan baik dan sukses—tapi kita sendiri melupakan tujuan dari setiap pelaksanakan kegiatan tersebut, yaitu sebagai pendidikan atas tanggung jawab moril kita sebagai mahasiswa (tidak hanya menjadi kuli suatu event tapi lebih dari itu untuk melatih perfect management, memikirkan tindak lanjut berkesinambungan atas kegiatan yang dilakukan dan menjadi “pemikir” yang berorientasi pada kebutuhan pendidikan).
Bahwa seseorang yang meiliki inisiatif yang lebih dibanding yang lain adalah salah satu ciri suatu jiwa kepemimpinan, ketika kita dijadikan sebagai suatu pelaksana atas suatu pekerjaan, pernahkah kita berpikir kenapa kegiatan itu harus kita jalankan dan kenapa kegiatan itu berbentuk sedemikian rupa—ketika pertanyaan seperti ini tidak pernah terbuka dan terbesit dalam pikiran, bersyukurlah karena bangsa ini akan memiliki banyak “kuli-kuli” bersarjana. Saya mencontohkan pada suatu kasus yang saya anggap serius dalam pergerakan mahasiswa adalah tentang pelaksanaan kaderisasi—kebanyakan dari kita hanyalah berpikir untuk melaksanakan kaderisasi hanya sebagai eventualpeninggalan orang-orang yang telah lulus dari kampus. Kenapa kegiatan ini harus ada atau tidak jarang sekali yang memikirkan, alhasil adalah pengkader dan orang-orang yang dikader memiliki nasib yang sama (sama-sama kebinungan)—sama artinya juga bahwa orang-orang yang mengkader lebih “konservatif” dari yang dikader.
Tataran pergerakan mahasiswa yang lainpun dapat dengan mudah kita temui sifat yang hanya berorientasi pada perhitungan materi dan kalkulasi peserta. Setiap acara dianggap sebagai alat untuk mencari sumber dana (tipe yang satu ini sangat keterlaluan), kemudian ada juga yang melaksanakan kegiatan karena memiliki motif “tidak mau kalah” dari kegiatan atau event yang sama sebelumnya, padahal dengan kondisi yang tidak memungkinkan—akhirnya terseok-seok tanpa tujuan yang jelas. Pemaknaan terhadap suatu kegiatan yang dialkukan oleh orang-orang yang berada dalam institusi pendidikan seharusnya kembali pada tujuan pendidikan itu sendiri.
Suatu pemandangan yang mencolok dan naïf ketika ada diantara kita, mahasiswa, menjadikan fenomena ini menjadi suatu transformasi sosial yang biasa. Masih sadarkah kita akan invasi hegemoni pendidikan yang sampai sekarang dilakukan oleh Negara-negara eropa terutama USA—kita tidak di buat lebih berpendidikan dengan kerjasama dan solusi acara-acara yang ditawarkan, kita tetap menjadi kuli Negara sendiri, bukankah dari dulu yang membangun Negara ini adalah orang-orang Indonesia sendiri atas perintah dan pemikiran orang-orang eropa, jalan, jembatan, perumahan, saluran irigasi dan sebagainya—sampai saat inipun seperti itu. Tidak inginkah kita melihat orang-orang eropa itu yang menjadi kuli dan pekerja lapangan yang membangun jembatan dan tembok rumah kita?
Disini tentunya saya tidak berpikran untuk melihat manusia-manusia intelektual Indonesia hanya menjadi pemikir saja, hanya saja berpikirlah sebelum bekerja—hal ini adalah hukum alam ketika kita ingin memulai suatu perubahan yang berkelanjutan untuk pergerakan ini. Memaknai setiap pekerjaan yang dilakukan sebagai tanggungjawab. 12 Feb 2012