Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Miskin, Sedang, dan Kaya - Dalam Pergerakan Mahasiswa

20 Mei 2012   16:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:03 227 0
“yang saya mengerti adalah, perjuangan kaum “menengah” atau mahasiswa ( meminjam istilahStalin ), pergerakan mahasiswa Indonesia dari tahun ke tahun mengalami beberapa perubahan—baik itu dikategorikan sebagai degradasi nilai, atau cara yang dilakukan dalam pergerakan—terutama pergerakan yang berhubungan dengan implementasi nilai “social control”. Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut, antara lain “kenyamanan zaman”, orientasi dan tujuan, serta pendidikan yang didapatkan”

Tulisan ini saya buat, karena melihat keadaan di sekitar saya berdasarkan pemahaman yang mungkin terbilang “sempit”. Lewat konstelasi pemikiran sederhana, saya mulai menggambarkan bahwa terdapat tiga jenis mahasiswa, dalam hal ini saya mengafiliasikan antara status ekonomi dan implementasi pergerakannya dalam “social control”. Tiga golongan itu antara lain : yang pertama adalah golongan miskin (beruntung), golongan sedang (bimbang) dan terakhir golongan kaya (aman).



Flash Back

Saya pernah membayangkan bagaimana kondisi pergerakan mahasiswa Indonesia tahun-tahun sebelum kemerdekaan dan pasca kemerdekaan lewat sedikit literatur yang saya baca—pada saat bersamaan mulai di implementasikannya jargon perjuangan “kelas” oleh orang-orang sosialis atau semacamnya. Satu hal yang saya tanggapi dalam tulisan ini adalah, pergerakan mahasiswa Indonesia pada saat itu betul-betul memaknai perjuangan kelas tersebut—tidak membedakan kelas, siapapun, dari golongan manapun, kaya atau miskin, semua tergabung dalam usaha-usaha revolusi nasional. Ki Hajar dewantara, Dr. Cipto, Ir. Soekarno, Shjahrir, Tan Malaka, Samin, Hatta dan yang lain. Lihatlah biografi mereka, maka yang akan kita temukan adalah heterogenitas asal-usul dan status yang tertuang dalam suatu kesatuan perjuangan.

Bahwa perjuangan untuk meraih kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia adalah tujuan yang ingin dicapai bersama—lihatlah semangat orang-orang terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini berjuang dengan melepas batas-batas status sosial dan batas-batas demarkasi latar belakang. Hal ini rasanya yang sedikit terdegradasi dalam pergerakan pada tataran mahasiswa sekarang.



Intelektual yang Utama

Definisi intelektual yang saya patrikan adalah definisi intelektual dari salah seorang mantan presiden Indonesia yaitu BJ Habibie bahwa intelektual menurut beliau adalah “seseorang yang memiliki ilmu dan memikirkan sekaligus mengaplikasikan ilmunya tersebut untuk kepentingan rakyatnya”, kurang lebihnya seperti itu (tanpa mengabaikan pemikiran tokoh-tokoh kepemimpinan yang lain). Tentunya definisi ini merupakan definisi yang masih umum, dan ketika seorang anak SD memiliki ilmu pengetahuan sekaligus sudah dapat mengaplikasikanya untuk kemanfaatan dalam masyarakat, diapun akan termasuk seorang Intelektual.

Tentunya ketika dalam keseharian kita memaknai definisi ini sebagai sesuatu yang menjadi tuntutan dalam suatu pergerakan dan pemikiran, sudah barang tentu faktor-faktor selain hasrat mencari dan menerapkan ilmu pengetahuan dapat kita kesampingkan—baik itu status ekonomi, sistem sosial, keberagaman latar belakang dan sebagainya. Intelektual memang harus ditujukan pada pengabdian untuk masyarakat, karena dalam setiap implementasi dari tindakan-tindakan sangat mudah kita bedakan. Adalah wajar ketika dalam setiap tindak-tanduk intelektual memiliki proses yang panjang, sebab intelektualpun harus memiliki banyak pemikiran dan juga perhitungan tapi bukan menjadi “oportunis”.

Dalam hal ini, sebenarnya hubungan antara tindakan intelektual dengan ketiga kategori yang saya tuliskan di atas—dapat kita lihat pada seberapa jauh seorang mehargai intelektualitasnya dalam melihat dan merespon gejala sosial yang timbul dalam masyarakat—timing yang tepat adalah salah satu entitas yang harus diperhatikan dalam melakukan sesuatu hal (intelektual). Karena entitas waktu ini tidak bisa kita atur, sehingga yang harusnya menjadi pertimbangan adalah menoleh kembali pada tujuan intelektual itu berdasarkan suatu pemahaman yang telah terbentuk oleh seseorang. Karena itu sadar dan pergunakanlah status intelektual tersebut.



Yang Miskin

Dalam konstelasi pemikiran terkait tiga kategori yang saya tuliskan di atas, hal pertama yang saya lihat adalah status ekonomi dari keluarga seorang mahasiswa. Tentunya sesuai dengan hal tersebut, akan banyak mempengaruhi tindak-tanduk mahasiswa tersebut dalam fungsi sebagai  social control. Yang pertama adalah golongan Miskin, kenapa saya tuliskan sebagai golongan miskin karena berdasarkan kemampuan ekonomi dari seorang mahasiswa tersebut—dan mahasisawa ini adalah salah satu jenis mahasiswa yang “beruntung”.

Saya katakan beruntung karena mahasiswa yang seperti ini adalah mahasiswa yang kebanyakan memaknai intelektual sebagai suatu kebutuhan, oleh karnanya mereka dalam sebagian besar, malakukan tindak-tanduk atas dasar pengetahuan dan totalitas, dengan motif yang tentu jelas untuk kehidupan mereka yang lebih baik. Mereka yang merasakan “susah”nya hidup tentunya akan memiliki pikiran yang sama dengan orang-orang yang berjuang untuk kemajuan bangsa ini—melewati batas-batas tirani yang memungkinkan menjadi penghalang. Mengamati dari sudut kebutuhan, tentu mereka memiliki kebutuhan yang besar atas pendidikan. Terkadang nekat dalam bertindak, karena tidak memiliki apa-apa (harta), sehingga bisa dikatan sebagai golongan mahasiswa yang “bebas”. Pergerakan yang dibangun oleh golongan mahasiswa seperti ini dari tahun ke tahun merupakan pergerakan yang sering menimbulkan pergolakan—baik itu bersifat kres ataupun memiliki akhir yang tragis.

Saya pikir adalah suatu kewajaran ketika intelektual seperti ini dalam perjuangan, untuk tidak mengulangi nasibnya sampai pada keturunannya, melakukan manuver yang bisa dikatakan “keras”, penolakan, demonstrasi dan cara-cara yang lain adalah bukti nyata dari keinginan yang kuat untuk mengubah, serta adanya tunggangan jiwa murni karena ingin mengubah—tidak semua golonganya melakukan hal seperti ini, hanya semangat ini yang melahirkan banyak moment perubahan bangsa kita sampai dengan saat ini—semangat dan penghargaan atas intelektualitaslah yang harusnya kita patrikan.

Sejalan dengan golongan mahasiswa seperti ini—karena memang tidak semua mahasiswa yang memiliki status ekonomi “pas-pas”an memiliki keinginan untuk merubah—terkadang tipe seperti ini memiliki salah satu kecenderungan untuk memulai ataupun lebih menginisiasi pergerakan mahasiswa yang bertujuan untuk melakukan perubahan, baik dalam kerangka pendidikan, kelembagaan mahasiswa di universitas/kampus, dan sebagainya. Apa kita harus menjadi miskin terlebih dahulu sebelum menentukan langkah, saya rasa tidak!!!



Yang Sedang

Pada golongan mahasiswa yang kedua ini, saya katakana sebagai golongan mahasiswa “sedang” atau seperti yang saya tuliskan diatas adalah golongan mahasiswa yang “bimbang”. Dari beberapa teman yang saya lihat, golongan ini merupakan golongan yang saya pikir paling banyak di antara dua golongan lain yang saya tuliskan. Hampir rata diseluruh institusi/lembaga pendidikan di Indonesia. Golongan ini saya katakana golongan “bimbang” dalam kerangka pergerakan mahasiswa karena, golongan ini sepertinya memiliki perhitungan dan standar sendiri ketika ingin melakukan suatu tindakan—maksud saya adalah terkadang pada saat dibutuhkan, golongan ini tindak kunjung bertindak dan terkadang ketika memiliki nafsu untuk bertindak, maka golongan ini akan hadir sebagai orang yang dapat mengatur irama “gerakan” mahasiswa.

Sifat terkadang muncul dan terkadang terbenam inilah yang menjadi ciri khas mahasiswa golongan sedang, sedang sangat berbeda dengan golongan mahasiswa “miskin” yang terbilang reaksioner. Hal ini tentunya akan menimbulkan ketimpangan pemikiran, terutama dalam eskalasi pergerakan mahasiswa. Kita tahu bahwa ketika kita ingin menjadikan suatu pergerakan yang memiliki impact dalam suatu permasalahan yang sedang dihadapi—ada beberapa persyaratan sebagai berikut : ada tokoh, ada organisasi massa, ada strategi, dan ada keterlibatan aktif secara missal dari berbagai elemen mahasiswa. Ketika golongan ini pada saatnya nanti “mati suri” karena tidak memiliki “mood” dalam suatu perjuangan yang semestinya dikawal, akan sia-sialah suatu perjuangan yang diusung sebagian orang—mengingat jumlah golongan ini memiliki massa yang cukup banyak.

Peran golongan sedang ini sebetulnya sangat sentral, sebagai penyeimbang—terlebih ketika golongan ini memiliki kesadaran atas intelektualitas dan tanggung jawab moralnya sebagai salah satu pelopor perubahan. Kebimbangan golongan inipun akan dapat menjadi boomerang yang sangat tajam ketika eskalasi permasalahan yang seharusnya dikawal atau ditanggapi tidak mendapat respon positif dari golongan ini. Salah satu contoh kebimbangan tersebut adalah, adanya pikiran mencari aman, karena merasa tidak mengganggu “lingkaran kehidupan nyaman” dari golongan ini—dapat dilihat dari sikap menunggu dan apatis dalam memikirkan suatu masalah.

Hal ini tentu saja akan menjerumuskan salah satu teman seperjuanga yaitu (golongan miskin), yang selalu bergejolak untuk melawan sesuatu yang menurutnya tidak adil dan bersifaf sewenang-wenang. Inilah yang patut disadari oleh golongan ini, sadar akan tanggungjawab dan sadar akan kepemilikan intelektualitasnya dalam hidup, sehingga perjuangan akan menghasilkan perjuangan yang massif—tidak lagi memiliki banyak pertimbangan di saat keadaan yang mendesak.



Yang Kaya

Untuk golongan ini, sebetulnya sangat mudah untuk menemukannya—memiliki hasrat untuk berjuang tapi tidak pernah turun ke medan perang, ketika suatu pergerakan yang dibangun bernasib sial, maka mereka akan mudah menjadi “penceramah” akibat kegagalan pergerakan tersebut. Sekiranya golongan ini, karena telah mendapat ke”nyamanan” dalam mengikuti pendidikan, mereka tidak akan berpikir jauh dan panjang terhadap persoalan yang terjadi, tapi mereka tahu banyak tentang segala sesuatu. Hanya saya masih belum dapat mendefinikan secara gambling apa yang menjadi motifnya sehingga golongan ini jarang bergerak.

Dalam pandangan sesaat kita akan menemukan fenomena yang menurut saya positif dari golongan ini—mereka akan sangat memiliki potensi untuk melakukan pergerakan untuk merubah, ketika jubah dan status mereka yang melebihi golongan lainnya dibuang dan tidak dinikmati sampai lupa daratan. Mereka dapat menjadi contoh intelektualitas aristokratis dan intelektualitas teknokrat, mereka bisa menjadi tameng sekaligus contoh representative orang-orang kaya di negeri ini yang memiliki kesadaran intelektual untuk bermanfaat dan mengabdi untuk rakyatnya. Hal ini akan membawakan kita pada angin segar, ketika golongan ini ikut terjun dalam pergerakan mahasiswa yang begitu komplek—dan tentunya secara otomatis akan mempengaruhi semangat dan kondisi psikologis golongan lainnya untuk melakukan suatu pergerakan. Ketika baik akan menjadi bapak—ketika acuh akan menjadi sampah intelektual.

Kebutuhan akan gerakan yang masif harus melibatkan ketiga golongan ini (hal ideal), setidaknya golongan ini tidak malah bersembunyi ketika banyak masalah yang menghampiri—mungkin melakukan kegiatan underground ketika tidak ingin menampakkan muka di muka umum, saya rasa syah dan ini adalah pendapat yang paling “aman”. Pada akhirnya untuk kemajuan dan kebesaran bangsa semua harus dilakukan berdasarkan tanggung jawab intelektual masing-masing.

Semakin bertambahnya umur, dan semakin bertambahnya ilmu serta pengetahuan yang dimiliki seseorang akan berbanding lurus dengan tanggungjawabnya terhadap pribadi, masyarakat dan dunia (Max Tollenaar)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun