Bahasa lain dari kebudayaan adalah kebiasaan. Sesuatu yang terbentuk dari kebiasaan akan menjadi suatu kebudayaan. Beda negara, beda bahasa, dan beda tradisi akan melahirkan kebudayaan yang berbeda. Budaya yang baik akan melahirkan generasi yang baik. Begitu juga sebaliknya, generasi yang dijaga kebaikannya akan terus melestarikan kebudayaan yang baik.
Ahli ekologi masyarakat telah lama menyatakan bahwa tatanan sosio-budaya memiliki peran besar dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Apabila pada suatu wilayah terjadi kerusakan lingkungan yang sulit diatasi, bisa jadi hal itu disebabkan oleh kerusakan budaya atau tatanan masyarakat di dalamnya.
Berbicara tentang kerusakan lingkungan, setidaknya ada dua faktor utama yang berperan: fenomena alam dan campur tangan manusia. Fenomena alam seperti letusan gunung berapi dan angin puting beliung memang merupakan hukum alam yang tidak dapat dihindari. Namun, campur tangan manusia dapat menyebabkan dua kondisi, yakni kerusakan lingkungan yang dapat dikendalikan atau malah sebaliknya.
Menurut Priantoko, dkk. (2021), kerusakan lingkungan yang terjadi secara terus-menerus mampu menurunkan fungsi lingkungan itu sendiri. Lingkungan didefinisikan sebagai ruang yang ditempati makhluk hidup dan tidak hidup yang berfungsi sebagai tempat tinggal (Soemarwoto, 2004). Penurunan fungsi lingkungan mengakibatkan berbagai pencemaran seperti pencemaran air, tanah, dan udara. Hal ini berdampak pada kelangsungan hidup yang erat kaitannya dengan sistem ekologi serta pembangunan berkelanjutan.
Pranadji (2005) menyatakan bahwa setidaknya terdapat 12 nilai budaya dasar yang digunakan untuk memperkirakan apakah suatu bangsa mengalami kemajuan atau keterbelakangan. Dalam aspek lingkungan, nilai-nilai budaya tersebut digabungkan menjadi tiga nilai dasar: bebas korupsi, kerukunan, dan kemandirian. Ada tiga sumber utama dalam menjadikan nilai-nilai budaya tersebut melekat pada masyarakat, yaitu nilai-nilai agama yang langsung berasal dari kitab suci, nilai-nilai agama yang dijadikan tradisi, serta nilai-nilai baru yang dibentuk melalui kesepakatan.
Kerusakan lingkungan di suatu wilayah bukan hanya terjadi karena pencemaran semata, melainkan juga disebabkan oleh nilai-nilai budaya yang mulai tergerus. Misalnya, pada nilai bebas korupsi. Saat ini, banyak yang sulit membedakan apakah suatu tindakan termasuk korupsi atau tidak. Contohnya, dana yang seharusnya digunakan untuk membeli bahan baku ramah lingkungan dialihkan untuk keperluan lain. Hal ini berdampak pada nilai budaya itu sendiri dan juga terhadap lingkungan.
Begitu juga dengan nilai-nilai budaya lainnya, seperti kerukunan. Tingginya tingkat kerukunan di suatu wilayah akan memudahkan pengelolaan lingkungan dan pengendalian pencemaran. Namun, kenyataannya banyak yang lebih mementingkan ego kelompok sehingga kerukunan berkurang dan berdampak pada pengelolaan lingkungan. Berdasarkan beberapa contoh tersebut, sangat jelas keterkaitan antara nilai-nilai dasar budaya dengan kerusakan lingkungan.
Penurunan nilai budaya di masyarakat sudah banyak diteliti, dan diketahui bahwa terdapat beberapa cara untuk memperbaikinya sehingga nilai budaya tersebut dapat ditingkatkan kembali. Upaya ini dikenal dengan mitigasi atau tahap pencegahan. Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007, mitigasi didefinisikan sebagai suatu upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Mitigasi tidak hanya berkaitan dengan pencegahan secara teknis, seperti perbaikan tata pelaksanaan, perubahan hukum dan aturan, atau perancangan yang lebih ramah lingkungan. Perbaikan nilai-nilai dasar kebudayaan juga merupakan langkah yang tepat untuk memperbaiki keadaan lingkungan. Seperti telah disampaikan, budaya yang buruk akan menyebabkan pengelolaan yang buruk dan berakhir dengan kerusakan lingkungan.
Abad ke-21 ditandai dengan kemajuan teknologi dan era globalisasi, di mana segala informasi mudah didapatkan tanpa batas jarak. Hal ini tentu berdampak pada karakter dan budaya masyarakat. Menurut Efendi (2023), terdapat tiga keterampilan yang harus dikuasai setiap individu pada abad ke-21: learning skills, literacy skills, dan life skills. Karakter mengacu pada sikap, perilaku, motivasi, dan keterampilan, yang dapat dibentuk melalui pendidikan dan berpengaruh terhadap nilai dasar kebudayaan.
Dalam menghadapi pengelolaan lingkungan di Indonesia pada abad ke-21, kita harus memahami karakter dasar tersebut dan mengaitkannya dengan nilai budaya di wilayah tertentu. Sebagai seorang akademisi, kita dapat menyisipkan nilai-nilai dasar kebudayaan tersebut dalam pembelajaran. Sebagai pegawai, kita bisa memulai dari pembentukan karakter diri sehingga dapat ditularkan kepada rekan lainnya. Intinya, langkah ini disesuaikan dengan peran yang dijalani saat ini agar kerusakan lingkungan dapat diminimalisir.