Pernikahan merupakan suatu institusi yang diatur secara ketat oleh hukum perdata Islam di Indonesia. Namun permasalahan perkawinan di bawah umur dan perkawinan di luar nikah telah menimbulkan berbagai perdebatan hukum dan permasalahan sosial. Artikel ini memberikan gambaran mengenai kedua topik tersebut dalam konteks hukum perdata Islam  Indonesia. Pertama, perkawinan di bawah umur melanggar prinsip keadilan dan perlindungan anak, Meskipun Islam membolehkan pernikahan pada usia yang relatif muda, batasan usia minimum tertentu harus dipatuhi untuk melindungi hak-hak anak, Meskipun hukum perdata Islam di Indonesia  menetapkan usia minimum untuk menikah, namun praktik pernikahan ilegal pada anak di bawah umur masih tetap terjadi, Kedua, meskipun perkawinan siri tidak diakui secara resmi dalam hukum perdata Islam di Indonesia, namun perkawinan siri masih merupakan fenomena yang cukup umum, terutama di daerah pedesaan. Pernikahan siri melibatkan tantangan hukum dan sosial yang kompleks, termasuk masalah hak-hak perempuan dan anak terkait  status perkawinan. juga terfokus. Oleh karena itu, tujuan artikel ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai kedua permasalahan tersebut dan upaya penyelesaiannya dalam konteks hukum perdata Islam Indonesia.
Keywords : Perkawinan dibawah umur, perkawinan siri, Perempuan , Anak  Â
Introduction
Buku "Perkawinan di Bawah Umur dan Siri dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia Potret Pelaksanaannya di Provinsi Riau. Bertujuan untuk menjelaskan tentang alasan perkawinan dini, dan pernikahan tak tercatat/siri yang terjadi di Provinsi Riau. Maka buku ini mengungkap dampak sosial, hukum, ekonomi dan kesehatan reproduksi bagi pasangan yang melakukan bentukbentuk perkawinan tersebut. Selain itu, penulis juga memaparkan solusi dari dampak tersebut untuk menanggulangi terjadinya bentuk-bentuk perkawinan bawah umur dan perkawinan tidak tercatat/siri yang dilakukan oleh masyarakat Provinsi Riau. Â Â
Result and Discussion
BAB I PENDAHULUAN Â
Keluarga merupakan elemen terkecil dalam masyarakat. Kesejahteraan, ketentraman dan keharmonisan suatu keluarga besar (bangsa) sangat bergantung pada kesejahteraan, ketentraman dan keharmonisan keluarga tersebut. Keluarga tercipta melalui perkawinan, yaitu persatuan antara dua orang yang berbeda jenis kelamin dengan tujuan menciptakan sebuah keluarga. Ikatan suami istri yang didasari dengan baik-baik diharapkan dapat tumbuh dan berkembang menjadi keluarga (rumah tangga) yang bahagia selamanya berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dari ayat 1 Surat Nisa kita dapat memahami: tujuan perkawinan menurut syariat Islam adalah untuk menyalurkan kebutuhan biologis dan menghasilkan generasi yang lebih berkualitas. Kenyataannya, berbagai media elektronik yang semakin maju seperti televisi, internet, dan lain sebagainya mendukung derasnya arus gangguan-gangguan baru yang bergerak sangat cepat menyajikan informasi yang berbeda-beda, yang secara tidak langsung telah mempengaruhi pola pikir, perilaku dan gaya hidup masyarakat kota-kota besar. kota-kota termasuk Provinsi Riau.
Munculnya seks pranikah di kalangan remaja merupakan suatu perubahan makna seks pranikah di masyarakat ini. Mereka memandang seks pranikah sebagai simbol cinta dalam gaya hidup masa kini yang membutuhkan penyerahan diri sepenuhnya. Faktanya, di kalangan masyarakat Melayu Riau, seks pranikah masih dianggap sebagai perilaku yang melanggar norma sosial dan agama. Seks pranikah kini dianggap normal di kalangan remaja. Fenomena seks pranikah menyebabkan banyak ibu hamil muda yang akhirnya menikah karena hamil. Perkawinan karena hamil juga membawa permasalahan lain, baik perkawinan langsung, perkawinan dini karena hamil, maupun perkawinan rahasia.Di Kabupaten Riau, maraknya perkawinan tidak selalu disebabkan oleh perkawinan yang disengaja. Diketahui bahwa pernikahan merupakan langkah awal dalam mewujudkan keluarga bahagia. Oleh karena itu, perkawinan harus dilangsungkan berdasarkan nilai-nilai budaya, agama, hukum, adat, ekonomi dan lainnya. Perbedaan budaya dalam masyarakat menimbulkan perbedaan dalam proses perkawinan dan pemilihan pasangan antar kelompok masyarakat. Hampir setiap agama mempunyai aturan tentang pernikahan. UU Perkawinan yakni UU Nomor 1 Tahun 1974 telah berlaku selama 45 tahun. Sosialisasi undang-undang ini dan evaluasi implementasinya di masyarakat akan memakan waktu yang cukup lama. Jika sosialisasi berjalan efektif dan sarana dan prasarana siap untuk menerapkan undang-undang tersebut, seharusnya implementasi undang-undang tersebut akan baik. Faktanya, banyak pernikahan yang tidak sah saat ini setidaknya karena dua alasan. Pertama, perkawinan yang tidak dicatatkan. Kedua, perkawinan yang usia calon mempelai belum (belum) sesuai dengan undang-undang perkawinan, karena perempuan belum genap 19 tahun dan laki-laki belum 19 tahun. Kenyataannya, saat ini banyak terjadi perkawinan ilegal di Provinsi Riau, setidaknya dalam hal perkawinan yang tidak dicatatkan dalam buku nikah dan perkawinan yang calon pasangannya belum (belum) cukup umur untuk menikah, sedangkan perempuan belum cukup umur untuk menikah. masih berusia 19 tahun. , dan belum berusia 19 tahun. Perempuan yang menikah di luar nikah tidak mempunyai akta nikah.
Perempuan tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan sikap suaminya terhadap pernikahan kembali atau perpisahan dari keluarga suaminya, dan mereka juga tidak akan diberikan hak yang sama setelah perceraian, termasuk harta benda masyarakat dan tunjangan anak. Perkawinan tidak dicatatkan juga menimbulkan dampak diskriminatif terhadap anak, akta kelahirannya hanya mencantumkan nama ibu saja, sehingga mempunyai stempel anak yang lahir di luar nikah sehingga dapat menimbulkan berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi. Dalam pasal tersebut terdapat beberapa konsep yang perlu dipahami yaitu tentang penegakan hukum perkawinan, perkawinan di bawah umur dan perkawinan di luar nikah dalam KUA:
1. Penegakan hukum perkawinan, penegakan berasal dari kata laksana yang artinya melaksanakan, melaksanakan, melaksanakan, melaksanakan, kata-kata tersebut mempunyai awalan "pe" dan akhiran "an". berarti usaha melaksanakan rancangan dan mengendalikan pelaksanaannya.
2. Perkawinan di bawah umur/dini yang dimaksud dengan ikatan jasmani dan rohani antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai laki-laki dan perempuan, dengan tujuan mewujudkan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 Perkawinan). . Bertindak). Rumusan Pasal 1 UU Perkawinan memberikan gambaran betapa pentingnya perkawinan bukan hanya untuk mewujudkan keluarga bahagia dan kekal menurut standar duniawi, jasmani, dan materil, melainkan perkawinan yang mengandung aspek bahagia dan kekal menurut ukuran ukhrawi.
 3. Perkawinan tidak dicatatkan Perkawinan tidak dicatatkan adalah perkawinan yang sah secara agama atau tidak sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak dicatatkan atau dicatatkan pada lembaga perkawinan (kantor agama setempat). Memiliki lembaga urusan agama sangat penting bagi umat Islam. Sebab, hanya lembaga pemerintah saja yang berwenang mencatatkan pernikahan umat Islam. Artinya, tidak sekedar ada untuk memenuhi persyaratan birokrasi saja, namun pada hakikatnya bertanggung jawab penuh dalam memenuhi tugas sahnya perkawinan.
Seperti halnya nikah siri, masih banyak perempuan yang beranggapan bahwa nikah siri merupakan bentuk tanggung jawab moral bagi laki-laki yang siap menjalani tahapan hubungan yang lebih serius. Hal ini mungkin bisa dibenarkan untuk sesaat, namun pada kenyataannya proses perkawinan sangat timpang berdasarkan gender, mengingat banyak permasalahan yang akan diselesaikan oleh perempuan di kemudian hari. Sebaliknya seseorang tidak memikul beban, sekalipun ia (serius) melalaikan kewajibannya sebagai pribadi, tidak ada syarat hukumnya. Pemeriksaan keabsahan perkawinan siri menurut ketetapan syariat bertentangan dengan maqashid asy-syariah atau tujuan penerapan hukum syariat, yang meliputi:
1). Perlindungan Jiwa (Hifdz an-nafs),
2) Perlindungan Agama (Hifdz ad-din),
3) Perlindungan Keturunan (Hifdz an-nasl),
4) Perlindungan Pikiran (Hifdz al-aql) dan
5) Perlindungan terhadap Kekayaan (Hifdz) al-mal).
Apabila perkawinan itu dilangsungkan tanpa pencatatan yang resmi, maka secara agama, bila perkawinan itu dilangsungkan, maka perkawinan tersebut adalah sah.
BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM Â
Pengertian Pernikahan Â
Perkawinan menurut UU perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 mendefinisikan: pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu "akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholiidzhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah". Sementara itu Pasal 3 juga diatur bahwa tujuan perkawinan adalah "untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah".
B. Hukum Perkawinan
Berdasarkan perintah Allah SWT dan anjuran Nabi SAW untuk menikah, maka dapat dikatakan bahwa pernikahan merupakan suatu perbuatan yang disukai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian sebagian besar ulama memutuskan bahwa hukum perkawinan yang asli adalah sunnah. Hal ini secara umum benar. Namun karena perkawinan ini mempunyai tujuan yang mulia untuk dicapai dan terdapat perbedaan situasi dan keadaan yang melatarbelakangi perkawinan tersebut, maka sebagian besar ulama menyatakan secara rinci bahwa hukum perkawinan itu sesuai dengan keadaan orang yang melangsungkan perkawinan tersebut. yang memenuhinya sebagai berikut:
a. Disunnahkan menikah dengan orang yang mampu membiayai pengeluaran rumah tangga dan mempunyai keinginan untuk menikah, namun tidak ada ketakutan bahwa keinginan untuk menikah akan berujung pada zina (haram), maka bagi orang-orang tersebut, menikah adalah sunat, boleh saja. . menjadi lebih tenteram dalam beribadah dan bekerja.
b. Makruhnya menikah dengan orang yang tidak mampu memenuhi nafkah jasmani dan rohaninya.
c. Pernikahan itu wajib, sebaiknya menikahlah orang yang merasa sanggup membiayai rumah tangga, yang ingin berkeluarga, dan yang takut akan perzinahan.
d. Pernikahan itu Haram, bagi orang yang tidak dapat memenuhi syarat-syarat pernikahan syariat atau meyakini bahwa pernikahan tidak akan mencapai tujuan syariat, padahal mereka yakin dengan melangsungkan pernikahan berarti merusak kehidupan pasangannya mereka.
e. Nikah mubah, bagi orang yang tidak mempunyai keinginan yang kuat terhadap lawan jenis, namun mempunyai kemampuan menunaikan tanggung jawab rumah tangga.
C. Hikmah Pernikahan
Islam menganjurkan pernikahan kepada umatnya karena membawa dampak baik bagi pelakunya, masyarakat dan seluruh umat manusia, antara lain:
1. Pernikahan adalah cara alami dan biologis terbaik dan paling tepat untuk mengarahkan dan memuaskan naluri seksual,
2. Menyalurkan naluri ayah atau ibu
3. Menumbuhkan tanggung jawab atas pengasuhan dan pendidikan anak, yang mendorong seseorang untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.
4. Untuk membagi tanggung jawab kedua belah pihak antara suami dan istri.
5. Keluarga masing-masing pihak bersatu, bahkan hubungan keluarga menikah semakin kuat dan lahirlah keluarga baru.
D. Syarat Sahnya Perkawinan
Pernikahan yang sah secara hukum Islam adalah yang telah sempurna rukunrukunnya dan terpenuhi syarat-syaratnya. Rukun dan syarat menentukan suatu hukum terutama yang berhubungan dengan sah atau tidaknya. Jumhur Ulama berpendapat bahwa rukun perkawinan terdiri dari: a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakuakan perkawinan b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita c. Adanya dua orang saksi d. Sighat akad nikah yaitu ijab kabul. Â
E. Kedudukan Wali dan Saksi
a. Wali
Wali adalah orang yang berhak melangsungkan perkawinan perempuan di bawah perwaliannya. Kedudukan wali dalam perjanjian pranikah bersifat mengikat, dan perjanjian pranikah yang tidak dipenuhi oleh wali adalah batal. Kebanyakan ulama membagi wali menjadi dua kelompok, yaitu (a) wali nasab, yaitu. orang yang mempunyai perwalian atas silsilah keluarga. Inilah orang-orang yang termasuk ahli waris hakim (b) wali hakim, Wali keluarga dibedakan menjadi dua jenis, yaitu wali yang menguntungkan dan wali yang merugikan. wali mujbir adalah wali yang berhak mengawini gadis yang berada di bawah perwaliannya meskipun anak tersebut belum memberikan izin tegas kepadanya. wali ghair mujbir adalah wali yang tidak berhak mengawini wanita yang berada di bawah perwaliannya tanpa persetujuan tegas darinya. Mereka berbeda dengan ayah dan kakek. Seseorang yang termasuk ahli waris dari pasangan dianggap sebagai wali perkawinan yang sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Kamal al-ahliyah yang artinya dewasa, berakal, dan mandiri. Islam Adil Cerdas Saat ini tidak melakukan Ihram
b. Saksi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peranan saksi dalam suatu kontrak. Kehadiran saksi dalam pesta pernikahan bermanfaat bagi kedua belah pihak, baik perempuan maupun laki-laki. Setidaknya ada dua akta dalam sebuah pernikahan. Pertama, menghindari tuduhan perzinahan dan fitnah. Kedua, mengharapkan para pihak untuk mengingkari dan menghindari tanggung jawab mereka sebagai suami dan istri. Pernikahan sangatlah penting, karena saksi merupakan salah satu rukun pernikahan dan syarat sahnya pernikahan. Persyaratan untuk mendapatkan sertifikasi adalah sebagai berikut: 1) Beragama Islam 2) Akal Sehat 3) Baligh 4) Bertakwa (agama yang baik) 5) Tidak tuli atau tuli.
KHI Pasal 26 menyatakan bahwa "saksi harus hadir dan memberikan kesaksian yang setuju secara pribadi." untuk menikah dan menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat inisiasi." Saksi dinilai sangat penting karena merekalah yang benar-benar menentukan sah atau tidaknya akad nikah yang ditandatangani dengan wali calon pengantin. Selain itu, keberadaan saksi juga sangat penting karena membawa manfaat bagi kedua belah pihak dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Sebaliknya, seorang pria dan seorang wanita tidak bisa begitu saja mengingkari perjanjian suci pernikahan.
F. Hukum mengumumkan pernikahan.
Dalam Islam, setelah perkawinan selesai, diwajibkan untuk mengumumkannya. Dalam kaitannya dengan munakahat dalam fiqh dikenal dengan istilah walimah al-'ursy (pesta atau resepsi pernikahan). Bacaan walimah al-'ursy itu sunnah menurut jumhur. Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa dilakukan setelah akad nikah dan bisa juga ditunda beberapa saat hingga berakhirnya masa pengantin baru. Orang-orang yang diundang ke Walimah haruslah orang-orang yang bertakwa baik kaya maupun miskin. Sebab jika hanya orang kaya saja yang penting dan orang miskin tidak diajak, maka makan makanan walima dianggap makanan buruk. Disunnahkan bagi mereka yang menghadiri pesta pernikahan untuk mendoakan pasangannya. Hikmah dalam menyelenggarakan hajatan pernikahan adalah dengan memberitahukan kepada masyarakat bahwa pernikahan tersebut telah dilaksanakan, agar semua pihak mengetahuinya, agar tidak terjadi fitnah di kemudian hari.
BAB III PERKAWINAN DENGAN ISLAM DI INDONESIA
A. Pernikahan dini
a. Pernikahan dini, pernikahan di bawah umur yaitu pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang wanita di mana umur keduanya masih dibawah batas minimum yang diatur oleh undang-undang. Sesuai UU Nomor 16 Tahun 2019, usia minimal menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi perempuan. Pernikahan dini dapat diartikan sebagai perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang belum cukup umur atau belum cukup umur dan masih muda. Dapat juga diartikan bahwa pernikahan dini adalah pernikahan ketika seseorang belum mampu menciptakan dan membentuk rumah tangga.
b. Usia Minimal Menikah
Bagi seorang pria dan wanita, pernikahan merupakan sebuah sunatullah yang pasti akan mereka lalui dalam hidupnya. Menikah dan berumah tangga memerlukan persiapan fisik, mental dan spiritual serta keterampilan calon ibu rumah tangga. Al-Qur'an tidak secara khusus menentukan batasan usia bagi pihak yang melangsungkan pernikahan. Pembatasan yang diberikan hanya berdasarkan ciri-ciri yang harus ada dalam perkawinan. Cukup umur untuk menikah adalah ketika Anda memiliki keinginan untuk berumah tangga dan siap menjadi suami dan memimpin keluarga. Batasan umur yang ditetapkan oleh Undang-Undang Perkawinan bagi perkawinan antara laki-laki dan perempuan berarti terpenuhinya tujuan perkawinan, karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Batasan usia perkawinan menurut Undang-undang ini diatur dalam pasal 7(1) di atas, yaitu. ketika laki-laki berumur 19 (sembilan belas) tahun dan perempuan berumur 19 (sembilan belas tahun). Jika terjadi penyimpangan dari pasal di atas, Anda dapat menanyakannya kepada pengadilan atau pejabat lain yang disebutkan oleh orang tua kedua suami dan istri.
c. Faktor penyebab terjadinya pernikahan dini
Seperti yang telah dijelaskan di atas, faktor penyebab terjadinya pernikahan dini adalah:
1) Pernikahan sesuai kemauan orang tua. Usia seseorang bukanlah jaminan kebahagiaan. Yang penting anak sudah memasuki masa pubertas, di masyarakat desa perempuan mengalami menstruasi tanpa memandang usia, namun bagi laki-laki jika suara sudah berubah dan mimpi basah maka orang tua segera mencarikan pendamping untuk anaknya terutama yang sudah lanjut usia. Seorang wanita di sisi lain. Oleh karena itu, tidak mungkin orang tua seorang perempuan menolak lamaran seseorang yang datang untuk meminang anaknya, padahal anak tersebut masih kecil. Karena peran orang tua lebih aktif dalam persatuan ini, sehingga memberikan kesan bahwa mencarikan pasangan bagi seorang anak adalah tugas dan tanggung jawab yang sangat penting bagi orang tua
2. Kehendak Anak, Banyak anak yang menikah pada usia dini, melakukannya secara sukarela tanpa campur tangan atau dorongan orang tua, hal ini disebabkan karena pengaruh lingkungan yang sangat rendah dan bersifat psikologis.
3. Pengaruh peristiwa dan budaya. Pernikahan dini sudah menjadi tradisi. turun temurun di daerah tersebut dan menjadi kebanggaan para orang tua jika anaknya cepat mendapatkan suami sehingga dihormati masyarakat
4. Pengaruh rendahnya pendidikan
5. Faktor ekonomi dan agama.
Undang Undang Perkawinan Anak Perempuan Di Bawah Umur Orang tua atau wali lainnya tidak diperbolehkan mengawini anak perempuan dewasa atau janda tanpa izin mereka. Jika hal ini terus berlanjut (tanpa izin), maka perkawinan tersebut tidak sah sama sekali. Seorang janda dapat menikah lagi dengan siapa pun yang diinginkannya, meskipun orang tuanya tidak menyukainya. Sedangkan bagi anak perempuan, ia tidak boleh menikah kecuali ia mendapat izin dari orang tuanya. Sebaliknya, seorang perempuan yang masih dibawah umur dan tidak mempunyai orang tua, tidak diperkenankan oleh siapapun karena alasan yang sah (keadaan darurat) atau tidak sampai ia (anaknya) baligh. Selain itu, tidak seorang pun boleh menikah dengan orang yang hilang ingatan hingga ia sadar dan memberikan izinnya, kecuali orang tua yang mempunyai anak perempuan di bawah umur yang tidak waras. Pernikahan dini menurut pandangan Islam Menurut UU Perkawinan, usia minimal menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Namun sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, menurut hukum Islam, pernikahan dini adalah sunnah, dalam hal ini penentuan usia pernikahan dalam Islam tidak dapat dijelaskan, melainkan dapat diukur dengan usia pubertas seseorang.
B. Pencatatan Perkawinan
Islam tidak memandang pernikahan hanya sebagai sarana untuk mencapai kesenangan lahiriah, melainkan sebagai bagian dari pemenuhan naluri berdasarkan aturan Tuhan. Kehadiran saksi dalam pesta pernikahan sangatlah penting, yakni untuk menjamin kepentingan kedua belah pihak. Jika terjadi sesuatu yang buruk, termasuk adanya tuntutan pihak lain tentang keabsahan perkawinan, maka dapat digunakan saksi untuk membuktikan keabsahan perkawinan tersebut. Di zaman modern seperti sekarang ini, kehadiran dua orang saksi saja tidaklah cukup, sehingga perkawinan harus disertai dengan akta dari petugas pencatatan perkawinan (KM), meskipun hal itu tidak boleh menjadi syarat dan perjanjian perkawinan. Pencatatan perkawinan dalam bentuk akta atau akta nikah sangat bermanfaat bagi pemiliknya, ia menjadi saksi yang terkadang sulit ditemukan karena jauh, meninggal atau tidak dapat hadir. Dengan demikian, pernikahan erat kaitannya dengan agama masing-masing calon suami istri. Oleh karena itu, suatu perkawinan baru dapat dianggap perkawinan yang sah apabila perkawinan itu dibubarkan pada waktu mengadakan hubungan hukum agama.
Perkawinan yang sah bagi umat Islam harus dilakukan menurut hukum perkawinan Islam, yaitu perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam. Karena perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum memerlukan kepastian hukum, maka Pasal 2 ayat (2) mengatur bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Isi pasal tersebut dirumuskan secara organik dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 2 Ayat 1, yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan Islam dilakukan oleh pencatatan sipil menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 juncto Undang-undang Nomor 32. Tahun 1954 tentang Pencatatan Perkawinan, Perceraian dan Rekonsiliasi. Penyelenggaraan pencatatan perkawinan dilaksanakan berdasarkan Pasal 3-9 PP Tahun 1975 yang mengatur tentang pemberitahuan keinginan perkawinan kepada petugas pencatatan perkawinan (KM) dan pengurusnya. Pasal 10 ayat (3) UU tersebut menyatakan bahwa perkawinan dilangsungkan menurut tata cara perkawinan kedua agama dengan disaksikan seorang panitera dan disaksikan oleh dua orang saksi. Perkawinan yang tidak dicatatkan dalam pencatatan perkawinan sebagai pengawas perkawinan umat Islam dikenakan sanksi hukum. Perkawinan yang tidak dicatatkan atau dicatatkan dalam keluarga atau pencatatan perkawinan biasa disebut perkawinan tidak dicatatkan atau disebut juga perkawinan privat. Pernikahan atau pernikahan yang tidak sah. Perkawinan yang demikian tidak mempunyai hukum karena tidak mempunyai bukti tertulis yang resmi yang dapat diakui oleh pihak-pihak yang terlibat. (Pasal 7 ayat 1 KPI).
Permasalahan pokok dalam perkawinan privat adalah terpenuhinya ketentuan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 2 Ayat 2 Tahun 1974, yaitu pencatatan perkawinan. Menurut kedudukan yang lebih kuat, baik menurut hukum Islam maupun hukum positif, suatu perkawinan sah apabila dilakukan menurut syariat Islam, tanpa PPN, dan dibuktikan dengan akta perkawinan. Model yang ada di Indonesia ini masih dianggap sah, karena akad ini dapat menimbulkan akibat atau akibat hukum yang negatif bagi pihak laki-laki dan khususnya bagi pihak perempuan. Konsekuensinya adalah:
a. Sahnya perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap
b. Akad nikah yang dilakukan biasanya tidak mengikat secara hukum, dan pihak laki-laki dan perempuan yang melaksanakan akad nikah sirri tidak dapat membuktikan bahwa mereka adalah pasangan yang sah di mata hukum Islam atau negara.
c. Kepentingan lain dari pasangan dalam perkawinan tidak dapat dilindungi
d. Jika tidak ada akta nikah, tunjangan seperti KTP, kartu keluarga, paspor, akta kelahiran anak, atau tunjangan politik tidak dapat dilayani.
e. Perkawinan tidak dicatatkan dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis istri dan anak, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dan kegelisahan.
f.Kontrak pernikahan Siri dapat memengaruhi keturunan, kecerdasan, dan kekayaan.
C. Pernikahan dalam Perspektif Agama, Hukum dan Budaya
1. Perspektif Agama
Pernikahan merupakan akad kuat yang disebut dengan kata mitsaqan ghalizan. Hal ini juga dapat dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu akad, yaitu karena:a) cara terjadinya ikatan itu sudah diatur sebelumnya, yaitu dengan perjanjian pranikah dan rukun serta syarat-syarat tertentu.b ) jalan . yang di dalamnya diuraikan atau diputuskannya ikatan tersebut diatur yaitu dengan tata cara talak, kita melihat beberapa kaidah ushuliyyah dan fiqh yaitu maslahah al-murlah: melihat bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia dan itu mengalami perubahan. zaman dan keadaan yang berbeda dengan zaman Nabi Muhammad SAW. Perubahan legislatif dapat dilakukan untuk menciptakan manfaat. Para ulama fiqh (Malikiyah, Syafiiyyah, Hanabilah dan Hanafiyah) yang menentukan kriteria Mumayyah bagi suatu pihak perkawinan untuk melangsungkan perkawinan dan menimbulkan suatu kepentingan, sebagaimana dijelaskan dalam tujuan hukum perkawinan.
2. Perspektif Hukum
Menurut Kompilasi hukum Islam sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 2 Tahun 1974. pasalnya, menurut hukum Islam, perkawinan adalah perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan galizhan untuk mengikuti perintah Allah dan pemenuhannya adalah memuja. CPI didasarkan pada manfaat keluarga dan pernikahan. Hal ini sesuai dengan penekanan undang-undang perkawinan, bahwa calon suami istri hendaknya telah matang jiwa dan raganya, sehingga dapat menunaikan tujuan perkawinan dengan baik tanpa berakhir dengan perceraian serta memperoleh keturunan yang baik dan sehat.
3. Perspektif Budaya
Misi Islam seperti agama lainnya, kepada masyarakat adalah mencapai kehidupan yang tenteram dan sejahtera lahir dan batin. Syariat Islam masuk ke dalam sistem konvensional, sehingga kewibawaan dan ketaatan masyarakat terhadap Islam dan adat istiadat sama kuatnya. Pernikahan merupakan salah satu cara agar keturunan dapat terus melegitimasi cinta, dan dapat mempererat hubungan antar keluarga, suku, bahkan bangsa. Dalam masyarakat setiap bangsa, sudah menjadi kepercayaan umum bahwa orang yang menikah mempunyai kedudukan yang lebih terhormat dibandingkan orang yang belum menikah. Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan keluarga harmonis, sejahtera dan bahagia.
BAB IV FENOMENA SOSIAL PERNIKAHAN DINI DAN PERNIKAHAN SIRI
A.Fenomena Pernikahan Dini di Provinsi Riau
Sangat sulit memperoleh data jumlah pernikahan di bawah umur di Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru. Menurut Kepala Kantor Wilayah Keagamaan (KUA), mereka belum pernah mencatatkan perkawinan pasangan di bawah umur sejak menjadi direktur KA. Segala formulir, surat dan informasi tentang desa atau kotamadya yang dikirimkan ke K secara umum memenuhi semua persyaratan K. Meski kedua mempelai (kucing) kerap tampil secara fisik, namun tetap terlihat seperti anak-anak. Berdasarkan data subnikah, usia perempuan menikah di bawah 19 tahun biasanya dinaikkan menjadi minimal 19 tahun oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (PPPN) atas permintaan orang tua pasangan. . Caranya, kolom Kartu Keluarga seperti tanggal dan tahun lahir yang biasanya ditulis tangan, dihilangkan bersama PPPN beserta keterangannya dan diganti sesuai keinginan calon pengantin lalu disalin. Belakangan, PPPN meminta stempel dan tanda tangan kepala desa untuk ditunjukkan ke KuA. Setelah mendapat konfirmasi dari salah satu Pencatat Nikah (P3N) di wilayah tersebut, mereka mengaku tidak pernah memanipulasi data usia calon pasangan karena harus diambil keputusan oleh pengadilan agama (pengecualian), jika mereka ingin menikah dengan anak di bawah umur.
1. Penyebab Pernikahan Dini
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, penyebab terjadinya pernikahan dini di Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru adalah sebagai berikut:
a. Hamil di luar nikah, Perkawinan di bawah umur yang masih terjadi di Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru memiliki beberapa alasan, antara lain memaksa orang tua menikah karena istri pasangan tersebut sudah hamil
b. Faktor Ekonomi, Kondisi perekonomian masyarakat pedesaan dan masyarakat pinggiran antara Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru didominasi oleh masyarakat ekonomi lemah, kondisi ini disebabkan karena mereka merupakan pendatang dari berbagai daerah di Provinsi Riau. Selain itu, masyarakat pedesaan merupakan komunitas pendatang yang mengelola perkebunan kelapa sawit.
c. Peningkatan Status Sosial, Dalam kasus pernikahan Rn (perempuan, 15 tahun), orang tua Rn menikahkan putrinya meskipun masih di bawah umur dan baru lulus Madrasah Universitas Tsanawiyah karena merupakan anak dari orang terkenal yang melamar , jadi dia akhirnya setuju untuk menikahi anaknya.
d. Faktor Pendidikan, Keberadaan faktor pendidikan sebagai salah satu penyebab masih terjadinya pernikahan anak diakui oleh seorang informan warga Kecamatan Tampan, beberapa siswa Tampan berpendapat cukup dengan tamat SMA saja. , dan banyak yang hanya menyelesaikan sekolah dasar. Sangat sedikit yang melanjutkan ke pendidikan tinggi. Hal ini berkorelasi dengan kurangnya pengetahuan dan pemahaman terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum perkawinan dan makna perkawinan sehingga mereka tidak merasa bersalah jika menikah dengan anak di bawah umur.Kemiskinan, keinginan untuk meningkatkan status sosial/ekonomi dan rendahnya pendidikan, juga karena kehamilan sebelum menikah ada beberapa faktor yang melatarbelakangi pernikahan di bawah umur. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan pemahaman agama, yaitu dalam agama, perkawinan sah apabila pasangan telah mencapai pubertas, dan bukan karena batasan usia tertentu. Pada saat yang sama, beberapa orang tua mereka juga menikah muda, jadi menikah muda dianggap sebagai budaya dan bukan hal yang memalukan.
2. Dampak Pernikahan Dini
Dampak dari perkawinan tersebut adalah perkawinan di bawah umur menimbulkan banyak dampak bagi pelakunya, orang tua dan anak yang dihasilkannya. Bagi pelaku, akibat dari perkawinan di bawah umur adalah tidak tercapainya tujuan perkawinan, yaitu terbentuknya keluarga sakina, mawadda, dan rahma.Dampaknya terhadap anak antara lain kurangnya perhatian dan pendidikan dari orang tua langsung. Bagi orang tua yang menikah di bawah umur, hal ini menambah beban keluarga karena mereka ikut menanggung biaya hidup anak, ibu mertua dan cucu, serta mengasuh cucu. Pernikahan dini membawa banyak dampak bagi pelakunya, orang tua dan anak. Namun tidak semua orang yang menikah di bawah umur mengalami dampak negatif tersebut, banyak juga faktor yang bisa membuat hidup harmonis selama menikah.
3. Pandangan pemerintah dan masyarakat tentang pernikahan dini
Dari sudut pandang budaya dan adat, ada beberapa daerah di Indonesia yang menganggap pernikahan di bawah umur sebagai hal yang wajar, misalnya masyarakat Rimbo Panjang di Kabupaten Kampar berpendapat bahwa orang tua tidak boleh melakukan hal tersebut. menolak lamaran pertama putrinya karena penolakan tersebut akan membuat anaknya kesulitan dalam mencari pasangan. Keyakinan ini tentunya dapat meningkatkan angka pernikahan anak di daerah tersebut. Untuk mengatasi atau meminimalisir hal tersebut, melalui media rapat taklim dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa anak di bawah umur belum menikah. Badan sosial dan organisasi keagamaan serta lembaga pendidikan untuk mencegah anak usia sekolah menikah muda. Selain upaya di atas, jika pasangan yang hendak menikah masih berusia di bawah umur, mereka mengajukan surat pengantar nikah, biasanya lamarannya ditolak terlebih dahulu, kemudian dialihkan ke P3N setempat untuk memproses lamaran tersebut. Melalui Kantor Urusan Agama.Di kalangan ulama, tokoh masyarakat pada prinsipnya tidak melarang pernikahan di bawah usia minimum, namun juga tidak merekomendasikannya. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa usia ideal untuk menikah adalah 20-25 tahun. Menurutnya, membangun rumah di usia ini membutuhkan banyak kedewasaan. Hal serupa juga diungkapkan H. Walid Syaroni, yang menurutnya usia minimal menikah adalah 19 tahun dan 19 tahun belum cukup matang untuk membangun rumah tangga. Remaja putra dan putri berusia 19 dan 19 tahun merupakan anak-anak yang baru lulus SMP atau SMA, yang pikirannya masih suka bermain dan belum matang.16 Dalam budaya ini, dalam kondisi saat ini dan yang akan datang, peran sangatlah penting. adalah; orang tua sangat mempengaruhi generasi berikutnya. Menurutnya, usia matang menikah adalah 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. dari.
4. Upaya yang Dilakukan
Jawaban Otoritas Agama dan Peradilan Agama: Bagi umat Islam, kehadiran KUA dengan peran dan tugasnya sangatlah penting. Beberapa upaya telah dilakukan oleh para kepala urusan agama di wilayah administratif Kampar untuk mengurangi terjadinya pernikahan di bawah umur. Pertama, sosialisasi pentingnya usia minimal menikah, khususnya melalui ceramah agama di masjid dan lembaga pendidikan. Kedua, adanya penekanan oleh PPN atau yang utama, untuk memperketat penegakan perkawinan di bawah umur dan penolakan terhadap mereka yang ingin menikah jika batasan usia masih belum sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1974. Kepala Kantor Agama Kementerian Keuangan Kampar tentang pelaksanaan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.Dapat dipahami bahwa para pemuka agama dan pejabat pemerintah telah melakukan beberapa upaya untuk memerangi perkawinan anak, antara lain: pedoman bagi calon pasangan yang akan menikah; Memberikan nasehat kepada jamaah pengajian akan pentingnya pernikahan jika didahului dengan persiapan jasmani dan rohani yang kuat. Kesadaran hukum masyarakat terhadap batasan usia sah perkawinan antara laki-laki dan perempuan juga harus terus dilanjutkan melalui berbagai kegiatan dan pertemuan baik di tingkat desa maupun dalam kegiatan keagamaan Islam.
B. Fenomena Pernikahan Siri di Provinsi Riau
1. Penyebab Pernikahan Siri
Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada responden yang penulis temui dengan pendekatan kekeluargaan, menyatakan alasan mereka melakukan nikah siri dapat disimpulkan alasan mereka sabagai berikut:
a. 40 % dari responden melakukan nikah siri karena poligami.
b.) 25 % PNS Poligami.
c. 5% dikarenakan mereka masih awam, jadi adanya perasaan takut untuk berhadapan dengan pejabat nikah dan menganggap mereka lebih baik perkawinannya dilaksanakan di depan pemuka agama.
d. 5% Mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mengurus prosedur pernikahan melalui KUA yang ada.
e. 10% Anggapan orang Indonesia pada umumnya wanita yang tidak menikah ataupun belum menikah itu "kurang dihargai"
f. 5% karena sudah hamil di luar nikah
g. 5% tidak mendapat persetujuan keluarga.
2. Dampak Pernikahan Siri
Menurut hukum perkawinan di Indonesia nikah sirimenimbulkan dampak sebagai berikut:
a. Tidak mempunyai kekuatan hukum karena dianggap tidak pernah ada perkawinan sehingga ia tidak menimbulkan akibat hukum.
b. Tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perkawinan yang baru sebagaimana diatur dalam pasal 24 Undang-Undang Perkawinan.
c. Tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut hak oleh pihak wanita sebagai isteri dan juga anak-anaknya.
d. Tidak dapat dijadikan dasar untuk mejatuhkan pidana berdasarkan ketentuan pasal 219 KUHP.
Dapat disimpulkan bahwa dampak yang terjadi akibat nikah siri lebih banyak diderita oleh perempuan atau istri dan anak walaupun ada juga dampak bagi ayah antara lain:
a. Bagi perempuan
1) Kurang dihargai dalam masyarakat karena dianggap merebut suami orang atau sebagai wanita simpanan.
2) Tidak bisa menuntut kepengadilan bisa terjadi masalah dikemudian hari.
3) Tidak punya hak menuntut nafkah, harta gono gini dan warisan.
4) Menanggung beban perawatan dan pengasuhan anak sendiri.
5) Selalu mendapat tudingan dari masyarakat karena sudah mengambil tindakan yang kurang tepat.
6) Tidak dapat dijadikan dasar untuk mejatuhkan pidana berdasarkan ketentuan pasal 219 KUHP.
b. Bagi Anak
1) Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah.
2) Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
3) Informasi berupa status anak haram dan tidak adanya nama ayah mempunyai dampak sosial dan psikologis yang sangat mendalam terhadap anak, yaitu anak tidak mempunyai hak atas biaya hidup dan pendidikan, perumahan dan warisan. dari pihak ayah.
3. Pandangan Masyarakat dan Tokoh Masyarakat
H. Musyarif Damanhuri, kurang setuju terhadap perkawinan yang tidak tercatat, di mana dampak negatifnya lebih banyak dari pada positifnya. Dimana Indonesia merupakan negara hukum, termasuk dirugikan. Menurut Ustaz. M. Zaenal Abidin, perkawinan tidak tercatat akan merugikan pihak perempuan dan konsekuensi bagi suami tidak berat, karena apabila sudah tidak cocok suami akan melakukan talak secara lisan. Konsekuensinya yang menjadi korban adalah pihak perempuan dan anak turunnya. Namun untuk wilayah perkotaan sebagian besar perkawinan sudah dicatatkan. Menurutnya juga, perkawinan tidak tercatat tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, namun perlu adanya sosialisasi yang riil dalam berumah tangga tidak hanya mengandalkan percintaan, tetapi yang dibutuhkan adalah komitmen membentuk keluarga sakinah diperlukan persyaratan yang lengkap.
4. Upaya Penanggulangan Nikah Siri
a. Mencatatkan perkawinan dengan itsbat nikah Bagi yang
beragama Islam
b. Melakukan perkawinan ulang
Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam. Namun, perkawinan harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang pencatat perkawinan (KUA).
Usaha apa sajakah yang telah dilakukan oleh KUA-KUA di Provinsi Riau untuk memberantas nikah siri?. Secara umum dari hasil wawancara dengan KUA yang ada di Pekanbaru menyatakan untuk saat ini usaha yang dilakukan adalah memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang prosedur nikah yang sesuai hukum yang ada. Dan memberikan penyuluhan tentang keluarga "samara", yamg salah satunya dapat diwujudkan bila perkawinan benar-benar aman sesuai agama dan hukum yang berlaku. Selanjut memberikan pengarahan kepada pasangan yang akan menikah dan akan melakukan pengulangan nikah, agar memberikan perhatian yang besar dan benar dalam pernikahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara agama dan negara.
C. Analisis terhadap Fenomena Pernikahan Dini dan Pernikahan Siri di Provinsi Riau
Terkait adanya pandangan masyarakat bahwa perkawinan sebagai bagian dari syariat ajaran Islam semata sehingga perkawinan dianggap sah, jika mendapat legitimasi buya atau ulama dan tidak perlu dihadiri petugas P2N dan dicatatkan, maka pandangan ini sesungguhnya perlu diluruskan sebab meski perkawinan merupakan bagian dari syariat ajaran Islam dan termasuk dalam pelaksanaan ibadah, namun berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang ada terdapat akibat/ dampak hukum dari perkawinan yang sah yaitu;
1) Timbulnya hubungan antara suami-istri,
2) Timbulnya harta benda dalam perkawinan, dan
3) Timbulnya hubungan antara orang tua dan anak. Karena itu perkawinan seharusnya dimaknai sebagai ikatan perjanjian (kotrak sosial)
Kesimpulan Â
Jumlah pernikahan dini dan pernikahan siri sulit diverifikasi karena biasanya tidak tercatat/tercatat secara resmi di KUA.Namun dapat dimaklumi bahwa permasalahan pernikahan dini dan pernikahan siri masih menjadi masalah di bidang ini. Penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur antara lain adalah kehamilan dini, status ekonomi rendah, keinginan untuk meningkatkan status sosial dan ekonomi, serta rendahnya tingkat pendidikan. Beberapa faktor yang menyebabkan perkawinan tidak dicatatkan adalah ketidakmampuan salah satu pasangan dalam memenuhi syarat. Misalnya seorang janda atau duda yang tidak mempunyai akta cerai yang sah, atau  suami yang mempunyai akta cerai ingin berpoligami, tetapi tidak mendapat izin Inkuisisi, kurangnya pemahaman mengenai peran KUA, pola hidup masyarakat pertanian, alasan  teologis, dan persepsi bahwa pencatatan perkawinan itu rumit/rumit. Akibat yang ditimbulkan dari perkawinan di bawah umur adalah tidak adanya keharmonisan dalam keluarga, khususnya dalam keluarga, karena adanya pertengkaran akibat  sikap  pasangan yang belum dewasa.
Sebaliknya jika perkawinan itu tidak dicatatkan maka permasalahannya adalah berkaitan dengan sulitnya pengesahan status anak, karena menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, anak luar nikah sah disebut kawin, mereka kesulitan untuk menikah. punya anak. dilahirkan sertifikat danadministrasi waris di pengadilan. Dari sudut pandang tokoh agama dan masyarakat,perkawinan yang dicatatkan meskipun sah secara agama, namun tetappantas dicatatkan di KA, karena menghindari permasalahan (kerugian) yang dapat muncul di kemudian hari. Meskipun pernikahan di bawah umur sah, namun tidak disarankan karena ada kemungkinan konflik dan kemungkinan perceraian di usia muda. Pernikahan siri dan pernikahan di bawah umur berada di tangan negara melalui program Sidang Isbat. Pimpinan Kemenag, KUA dan Penghulu berbicara tentang pentingnya pencatatan pernikahan di forum, pelatihan/rapat koordinasi petugas P3N diadakan setiap bulan di setiap KUA. Petugas P3N, amil, dan tokoh agama menghubungkan komunitas ini dengan mendorong masyarakat yang akan menikah untuk mencatatkan pernikahannya di KUA. Kementerian Agama khususnya di tingkat kecamatan harus mengambil tindakan yang lebih intensif. penyuluhan (sosialisasi)\masalah perkawinan, hukum perkawinan dan aturan pelaksanaannya untuk meminimalisir dan mencegah praktek perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak dicatatkan. Untuk melaksanakan sosialisasi tersebut harus dilibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat termasuk penyuluh agama, petugas P3N dan amil, memediasi dampak negatif perkawinan di bawah umur dan nikah siri serta adanya akibat/implikasi hukum ganda dari perkawinan.
Referensi :
Dr. Jumni Nelli, M.Ag. Perkawinan Di Bawah Umur Dan Siri Dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia. Pekanbaru : Kalimedia, 2022