Koalisi idealnya dibentuk berdasarkan kesamaan visi, misi, dan ideologi. Namun, realitas politik menunjukkan bahwa kepentingan pragmatis sering menjadi alasan utama pembentukan koalisi. Pembagian kursi kabinet, dukungan finansial, atau tujuan elektoral kerap menjadi prioritas utama dibandingkan dengan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Akibatnya, koalisi terkadang terlihat sebagai "perkawinan kepentingan" yang rentan retak ketika tidak ada lagi keuntungan yang dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat.
Selain itu, dalam beberapa kasus, koalisi dapat melemahkan fungsi check and balance dalam pemerintahan. Ketika mayoritas partai bergabung dalam satu koalisi besar, fungsi pengawasan terhadap eksekutif sering terabaikan. Hal ini berpotensi mengurangi kualitas demokrasi karena suara oposisi menjadi minoritas dan kurang mampu memberikan kritik yang konstruktif.
Namun demikian, koalisi juga memiliki sisi positif. Dengan berkoalisi, partai-partai kecil dapat memiliki peluang untuk ikut memengaruhi kebijakan nasional. Selain itu, koalisi yang solid dapat menciptakan stabilitas pemerintahan, menghindarkan negara dari gejolak politik yang merugikan.
Kesimpulannya, koalisi partai politik adalah pedang bermata dua. Jika dibangun atas dasar kepentingan rakyat, koalisi dapat menjadi alat yang efektif untuk mencapai kemajuan. Namun, jika hanya didasari oleh kepentingan sempit, koalisi berisiko mengorbankan esensi demokrasi itu sendiri.