Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ruang Kelas

Perlukah Pasal Penghinaan Presiden?

15 Oktober 2021   20:20 Diperbarui: 15 Oktober 2021   20:25 107 1

Dalam suasana kegembiraan pelaksanaan PON XX yang sukses digelarkan pertamakali ditanah Papua. Mencuat cuitan bung Natalius Pigai yang mengalihkan focus masyarakat terhadap pagelaran olahraga nasional tersebut. Cuitan itu berada di media social twitter. Dimana cuitan tersebut mengandung kritikan pedas terhadap Pak Jokowi dan Pak Ganjar. 

Yang sebagaian kalangan menganggap rasis. Titik focus kita terletak pada kritikan Natalius Pigai yang menyebutkan P Jokowi selaku Presiden merampok Papua, membunuh rakyat papua, dan menginjak injak harga diri bangsa Papua dengan kata kata rendahan rasis. Sehingga menghasilkan suasana penghinaan. Sehingga menimbulkan pertanyaan apakah ada perlindungan terhadap penghinaan Presiden ??.

Kita ketahui bahwa pada tahun 2006 norma hukum penghinaan presiden itu sudah dinyatakan tidak berlaku karena bertentangan dengan UUD 1945 oleh Putusan MK 013-022/PUU-IV/2006. Memang pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil presiden terlihat tidak bertentangan dengan konstitusi. namun jika dilihat dari sisi penerapannya yang banyak menimbulkan korban, akan nampak pertentangannya dengan semangat demokrasi dan penguatan hak asasi manusia yang dijunjung tinggi oleh konstitusi amandemen.

Pasal Penghinaan presiden tersebut merupakan rumusan redaksi yang tidak ada penjelasannya sehingga terbuka kemungkinan untuk ditafsirkan sesuai kepentingan penafsir. Jika pihak pemerintah yang menafsirkan pasal tersebut, maka mudah ditebak bahwa pengertian pasal itu akan diarahkan kepada siapa saja yang dipandang menganggu kebijakan pemerintah. Gangguan itu dapat berupa perilaku, pernyataan lisan atau tulisan. Dapat pula terjadi sebuah kritik akan dianggap sebagai penghinaan.

Berdasarkan rumusan pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa kata "penghinaan" merupakan kata kunci yang paling menentukan bahwa suatu perbuatan disebut sebagai suatu kejahatan. Namun sayang kata "penghinaan" itu tidak dijelaskan atau didefinisikan atau disebut batasan-batasannya atau ukuran-ukurannya sehingga suatu perbutaan dapat dianggap sebagai penghinaan.

Dengan longgarnya pengertian penghinaan terhadap presiden itu maka pasal penghinaan ini beresiko ditafsirkan berbeda beda. Suatu norma hukum yang mutli tafsir jelas akan menimbulkan ketidak-pastian hukum. Sehingga memakan korban hukum seperti Bambang Beathor Suryadi usia 20 tehun kena Pasal 134 KUHP, hanya salahnya karena kami mengkritik tidak membangun, karena pada waktu itu semua ahli yang juga mengkritik ekonomi Presiden Soeharto, kemiskinan, pengangguran tapi disebutkan mereka mengkritik membangun, jadi mereka selamat.

Dalam RUU KUHP kembali dimunculkan terkait penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden namun dalam konteks dan bentuk yang berbeda seperti yang dijelaskan oleh Prof. Eddy Omar Sharif H., S.H.,M.Hum. dalam diskusinya di Catatan Demokrasi “bahwa yang dimatikan MK mengenai penghinaan terhadap presiden itu adalah delik  biasa sedangkan yang dirumuskan dalam RUU KUHP berbentuk delik aduan dimana delik biasa dan delik aduan sangat berbeda. Dalam delik biasa semua orang dapat melaporkan sedangkan dalam delik aduan hanya yang bersangkutan yang dapat melaporkan dan itu bersifat subjektif yang bersangkutan mau melaporkan atau tidak” ujarnya (09/06/2021).

Jadi proteksi atau perlindungan terhadap penghinaan Presiden dapat dikatakan perlu karena disni berkaitan dengan harkat dan martabat. Mengenai Penghinaan sendiri memang menindas yang namanya martabat seseorang. Kita tidak akan pernah mendengar bahwa merusak atau mengancam martabat seseorang itu dibolehkan yang kemudian disangkut pautkan dengan Presiden yang juga merupakan manusia. 

Begitupula dengan jabatan Presiden menurut Prof. Eddy juga menjelaskan bahwa hukum pidan aitu berusaha melindungi yang pertama adalah individu kemudian melindungi kepentingan masyarakat dan melindungi negara sehingga dari situ kata Individu juga mengandung arti martabat serta jabatan presiden itu merupakan personifikasi dari sebuah negara  sehingga juga perlu adanya perlindungan.

Alasan lain mengenai perlunya perlindungan terhadap penghinaan presiden bahwa dalam peraturan pidana terdapat perlindungan terhadap martabat kepala negara lain yang secara logika kalau kepala negara lain dilindungi kemartabatannya mengapa kepala negara sendiri tidak dilindungi. 

Bukan hanya Indonesia yang merupakan negara demokrasi yang menerapkan peraturan penghinaan presiden, negara Amerika juga mempunyai hal yang demikian namun konteksnya terhadap Individu namun prakteknya berbeda dengan kasus terhadap kepala negara. Begitu pula Jerman yang memiliki peraturan serupa namun tidak disebutkan bahwa itu termasuk delik aduan atau biasa namun prakteknya lebih kepada delik aduan.

Perbedaan Kiritk dan Penghinaan terletak pada rasionalitas dan bukti data data akurat yang dihadirkan. Jadi kalau kritik itu dilakukan berdasarkan bukti fakta dan data data yang akurat sehingga hal itu dibolehkan dan tidak termasuk penghinaan. Beda cerita kalau penghinaan dimana tidak ada data data yang akurat akan tindakanyya hanya melampiaskan ketidak sukaan scara pribadi tanpa dasar yang jelas dan mengacu dan mengarah kepada personan.

Jadi kesimpulannya perlu adanya pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP yang dijelaskan secara jelas sehingga tidak menimbulkan multi tafsir.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun