Polusi udara menjadi salah satu permasalahan serius yang mendera kota besar di berbagai belahan dunia. Tingginya intensitas aktivitas industri di kota besar menyumbang polusi udara yang sangat besar. Apalagi di era industrialisasi saat ini, jumlah emisi karbon semakin meningkat. Selain dari industri, emisi buangan kendaraan bermotor juga menyumbang persentase polusi udara yang cukup besar. Seperti yang dapat kita lihat di Jakarta, jumlah sepeda motor mencapai 8 Juta unit, dan mobil mencapai 1 Juta unit. Dengan jumlah kepadatan kendaraan bermotor, tidak heran, tingkat polusi udara semakin meningkat setiap tahunnya.
Diantara berbagai penyebab polusi udara, perihal emisi karbon, menjadi salah satu permasalahan yang kembali hangat disorot. Emisi karbon sangat membahayakan kesehatan tubuh manusia, membuat udara menjadi tercemar, dan yang lebih parah mempercepat kerusakan lapisan ozon.
Pada saat berbagai negara membenahi prosedur penanganan emisi karbon-nya, pemerintah Indonesia belum terlihat menunjukan upaya yang optimal dalam menanganinya, utamanya di kota besar. Menurut laporan World Bank dan UNEP tahun 2008, tingkat emisi karbon di Jakarta mencapai dari batas normal . Laporan World Bank 2008 bahkan menempatkan Jakarta sebagai salah satu dari 20 kota dengan polusi terburuk di Asia. Kondisi ini akan terus bertambah parah apabila perkiraan pakar perihal kelumpuhan Jakarta di tahun 2014 benar-benar terjadi.
Diperlukan penanganan secara efektif dan efisien untuk menanggulanginya. Dari sudut pandang ekonomi, menurut Arthur Pigou, polusi udara menghasilkan eksternalitas negatif dalam kurva keseimbangan. Menurut Pigou, eksternalitas negatif akan memberikan biaya tambahan yang ditanggung oleh masyarakat yang disebut social cost. Untuk mengurangi eksternalitas negatif tersebut, diperlukan serangakaian kebijakan untuk mereduksi produksi emisi karbon. Setidaknya terdapat dua cara yang dapat ditempuh. Model pertama adalah dengan menggunakan carbon emission limit. Melalui kebijakan ini, baik industri maupun kendaraan bermotor diberikan batasan emisi karbon yang diperbolehkan. Kebijakan ini sebenarnya telah pernah dilaksanakan di Jakarta pada tahun 2008, namun saat ini tidak diketahui bagaimana kelanjutannya.
Model kedua adalah dengan menggunakan pajak polusi dan carbon emission trading. Dengan metode ini, industri akan dikenakan biaya setiap jumlah karbon yang dihasilkan. Kebijakan ini telah ditwempuh di beberapa negara maju seperti, Amerika, Irlandia, Jepang, Inggris dan Prancis.
Selian daripada pencanangan kebijakan, diperlukan serangkaian program tambahan untuk memperkuat fondasi kebijakan ramah lingkungan, seperti pembatasan jumlah kendaraan bermotor tiap keluarga, penambahan dan perbaikan angkutan transportasi publik. Kegiatan reboisasi juga harus kembali digiatkan, untuk mereduksi dampak negatif emisi karbon.
Selain itu, berbagai upaya penyadaran masyarakat juga perlu dilaksanakan. Masyarakat perlu disosialisasikan mengenai dampak buruk daripada polusi udara, dan sekaligus mencoba menarik partisipasi masyarakat untuk beralih ke angkutan transportasi publik, tidak membakar sampah di tempat terbuka, dan menggiatkan penanaman tanaman hijau.
Selain mengupayakan pengelolaan domestik, pemerintah juga sekiranya dapat bersikap tegas dalam pertemuan multilateral terkait perubahan iklim. Seperti yang telah disepakati dalam konsensus Kyoto sampai konsensus Copenhagen, negara maju telah berikrar untuk mengurangi tingkat produksi emisi karbon dunia.