Dalam satu minggu terakhir setidaknya ada dua hal berkaitan dengan Bulog yang menurut saya patut diberi komentar. Pertama tentang isu beras raskin Bulog yang tidak berkualitas yang kemudian seolah menjadi bola liar yang ditendang kesana kemari tidak berujung. Tentu tidak semua beras raskin itu jelek, tetapi juga pasti tidak sedikit. Isu ini tidak hanya dimuat dalam banyak media masa, tetapi dari posting status anggota grup social media yang saya ada di dalamnya, dan adalah grup para pelaku di bisnis penggilingan padi dan pedagang beras yang pasti sangat dekat dan berelasi dengan Bulog. Beras raskin disebut di beberapa daerah sangat tidak berkualitas yang menjadikannya masyarakat menerima tetapi akhirnya menolak mengkonsumsinya, dan selanjutnya sudah bisa ditebak beras bergilir dan berputar. Menyedihkan.
Berita kedua adalah pergantian Direktur Utama dan satu Direktur Perum Bulog pada hari kemarin (8/6/2015). Alasan penggantian disebut oleh media masa adalah kegagalan pencapaian target pengadaan beras Dalam Negeri.
Kedua berita di atas sebenarnya bukan hal yang mengagetkan, karena sejak menjabatnya Direksi Bulog pada awal tahun sampai digantikannya hari kemarin tidak ada pranata istimewa yang memungkinkan Bulog bisa berjalan lebih baik dari sebelumnya, minimal dalam hal pengadaan beras dalam negeri (DN). Contohnya Inpres No 5 Tahun 2015 tidak memberikan keleluasaan Bulog bekerja agresif untuk membeli beras dari petani (penggilingan padi). HPP yang ditetapkan sama kondisi dengan kejadian tahun-tahun sebelumnya yang selalu jauh dibawah harga yang berlaku di pasar. Seorang teman yang bekerja di Bulog mengibaratkan bagaimana mungkin dapat membeli tempe yang bagus yang berharga Rp 2000 jika uang yang dimiliki hanya Rp 500, sehingga pada akhirnya harus membeli tempe kurang baik dan bahkan mungkin basi untuk menyesuaikan uang yang dimiliki. Hal ini pun pernah saya singgung pada tulisan saya yang mengomentari tentang Inpres No 5 Tahun 2015.
Kegagalan Bulog yang ditimpakan kepada Dirut lama dalam hal tidak tercapainya target pengadaan beras dalam negeri (data media masa menyebut pada Mei 2015 Bulog baru membeli beras sebanyak 700.000 ton dari total target 3-4 juta ton selama tahun 2015, bahkan pada akhir April 2015 pada saat Rakernas Perpadi disebut Bulog baru bisa membeli sebanyak 450.000 ton) menurut saya ada dua hal yang mungkin menjadi penyebabnya. Pertama adalah keluarnya Inpres tentang Pengadaan beras DN yang terlambat dan terlalu dekat dengan musim panen raya, sehingga Bulog tidak cukup waktu berbenah. Kedua, ada keinginan idealis dari Direksi Bulog yang ingin menerapkan pembelian beras sesuai ketentuan harga dan kualitas yang ada di Inpres pada awal-awal musim panen. Tetapi lupa bahwa memberi toleransi untuk keluar sedikit dari standar kualitas yang ditetapkan Inpres pun Bulog selama ini kepayahan apalagi ingin berjalan kaku. Memang dilematis, ikut Inpres secara kaku dipastikan Bulog tidak akan mungkin mendapat beras, tetapi melepas toleransi kualitas maka beras yang diperoleh Bulog dipastikan adalah beras di bawah standar yang berpeluang lebih cepat rusak. Persoalan sebab akibat ini yang menjadi benang kusut pengadaan dan distribusi beras raskin. Dan tentu menjadi celah munculnya orang-orang yang ingin bertindak tidak patut, baik di tingkat pedagang bahkan di lini Bulog sendiri.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah dengan pergantian Dirut Perum Bulog akan membuka jalan kinerja Bulog lebih baik. Jawabannya tentu tidak semudah membalik telapak tangan, jika pranata yang saya singgung di atas tidak ada atau diberikan perbaikan.
Menurut saya (setidaknya saya pernah bersinggungan dengan kerja Bulog di level bawah) ada beberapa yang mungkin bisa dilakukan Bulog dan tentu Pemerintah sebagai pemberi fasilitas regulasi dan anggaran. Pertama, Bulog harus semaksimal mungkin bisa berada di lini terbawah dekat dengan petani, dan bukan pasif hanya menerima beras dari penggilingan saja (meski ada Satgas yang ke lapangan tetapi porsinya sangat kecil). Ini bisa dilakukan sendiri atau dengan menggandeng pelaku penggilingan padi setempat. Dalam tataran ini Bulog harus aktif mencari gabah (produk ini yang harus diutamakan) untuk diproses sendiri. Bulog harus merevitalisasi mesin pengering yang dimiliki atau kalau perlu menggantinya yang lebih efisien, atau melakukan kerjasama dengan penggilingan padi setempat. Kerjasama yang dimaksud bukan seperti sebelumnya yang menempatkan penggilingan sering terpojok jika rendemen rendah, tetapi lebih pada penggilingan hanya menyediakan mesin pengeringan dan RMU bagi Bulog. Kedua, Bulog harus masuk dalam tata niaga beras tidak hanya sekadar pengadaan beras raskin, tetapi juga beras-beras yang berkualitas di atasnya. Bukan tujuan komersial tetapi menjaga kondisi pasar dan tentu menyerap beras petani yang berkualitas di atas HPP. Ketiga, memiliki onfarm sendiri setidaknya untuk mencukupi 9% cadangan beras nasional.
Tentu masih banyak yang bisa dilakukan Bulog untuk membuka jalan gelap dalam penata laksanaan perberasan nasional. Tata laksana beras yang berorientasi stabilisasi harga petani dan konsumen, serta tata laksana kecukupan cadangan nasional. Semoga Bulog dengan Dirut baru bisa berkembang lebih baik lagi.