Saya menduga, sepertinya mereka membawa-bawa nama Tuhan hanya untuk menghakimi saya. Atau bisa jadi mereka hanya mau membangga-banggakan diri sebagai orang yang bukan pemabuk. Dan semoga dugaan saya ini keliru.
Akan tetapi, Saya jadi bingung. Masa hanya karena meminum, yang kata orang-orang itu minuman keras, lantas saya kemudian dicap sebagai pemabuk oleh mereka yang tak meminum minuman keras itu. Yah, hanya karena saya meminum minuman yang katanya memabukkan itu.
Entah iri karena tak bisa atau tak mampu meminum minuman keras itu, atau entah alasan apalah oleh orang-orang itu, sehingga saya dicap sebagai pemabuk. Cap yang tak disukai oleh siapapun, bahkan oleh saya sendiri yang dikata pemabuk ini. Karena saya hanya minum, meski kata mereka, saya mabuk setelah meminum minuman itu.
Celakanya, ketika sehabis minum, saya tak boleh shalat. Lebih tepatnya saya dilarang melakukan shalat oleh orang-orang itu. Jangankan shalat, mendekati tempat shalat saja tak boleh, kata mereka. Alasannya, yang menurut saya sangat konyol, yaitu karena saya mabuk. Alasan yang kekanak-kanakan.
Masih menurut mereka, karena kalau shalat dalam keadaan mabuk, nanti bacaan saya ngelantur. Dan kalau ngelantur, bisa mengganggu kekhusukan shalat orang lain. Lha orang yang khusuk kok bisa terganggu oleh lanturan saya? Jadi yang ngelantur sebenarnya itu siapa? Jangan-jangan, sebenarnya merekalah yang lagi ngelantur ketika shalat. Tapi semoga dugaan saya kali ini juga keliru.
Tapi, memangnya kalau ngelantur, Tuhan tak paham dengan lanturan saya, begitu? Kan Tuhan maha Tahu. Kan Tuhan maha memahami setiap bacaan, yang bahkan dibaca dalam keadaan ngelantur sekalipun.
Lucu sekali. Kalau saya ngelantur karena mabuk, maka saya tak boleh shalat. Sedangkan mereka yang ngelantur karena mendengar lanturan saya, mereka tetap boleh melakukan shalat. Tapi percuma saja protes. Toh Saya tetap tak boleh shalat karena saya pemabuk, kata orang-orang yang merasa tak mabuk ini.
Tapi aneh. Memangnya kenapa kalau orang mabuk kepingin shalat? Apakah pemabuk tak pantas menjadi hamba Tuhan, dan mereka yang tak mabuk saja yang berhak menjadi hamba Tuhan? Apakah Tuhan pilih kasih dengan hanya membolehkan mereka yang katanya bukan pemabuk saja yang boleh shalat, sedangkan orang-orang seperti saya, yang katanya pemabuk, tak pantas melakukan shalat? Tapi lagi-lagi, percuma saya mencak-mencak. Toh tak akan ada telinga yang sudi mendengar kata-kata seseorang yang terlanjur dianggap pemabuk ini.
Jangan kalian tanya, apakah seorang pemabuk seperti saya, masih bisa berpikir waras dengan aneka pertanyaan seperti itu. Lagi dan lagi, percuma saja kalau saya jawab. Sekuat apapun saya beralasan, toh tetap saja saya akan tetap dianggap pemabuk. Dan apapun alasan seorang pemabuk seperti saya, tak akan digubris, tak dihiraukan sama sekali. Pemabuk memang selalu dianggap sebelah mata, bahkan tak dianggap sama sekali oleh mereka yang katanya tak mabuk itu. Padahal saya ingin shalat. Sungguh.
Saya tak hendak tertawa dengan alasan-alasan mereka yang tak lucu meski konyol itu. Tapi apa boleh dikata, keadilan tak selalu benar-benar tegak. Selalu yang berjumlah terbanyaklah yang menang, bahkan harus menang. Meski dengan merampas hak kemenangan mereka yang berjumlah sedikit. Bukankah selalu begitu, yang minoritas selalu bernasib apes ditengah-tengah mereka yang mayoritas? Dan saya, yang dikata pemabuk ini, selalu bernasib apes.
Apakah Tuhan tak suka dengan tukang minum yang kemudian disebut pemabuk seperti saya? Saya yakin tidak. Tapi saya tak ingin berprasangka buruk terhadap Tuhan meski kata orang, saya tetap tak boleh shalat karena saya seorang pemabuk. Kasihan betul saya ini. Beginilah nasib seseorang yang dicap sebagai pemabuk. Perilaku yang menurut mereka identik dengan tak bermoral. Meski saya masih bingung dengan definisi yang tak bermoral dengan yang bermoral itu seperti apa sesugguhnya.
Padahal, mabuk menurut orang-orang itu, tapi belum tentu menurut Tuhan kan? Saya curiga, jangan-jangan mereka yang melarang itu mungkin merasa iri kepada saya. Karena saya, meskipun mabuk menurut mereka, namun masih tetap berkeinginan untuk shalat, ingin dekat kepada Tuhan, berdoa kepada-Nya dan bertukar kata cinta dengan-Nya. Entah oleh Tuhan cintaku bertepuk sebelah tangan, saya tak peduli. Toh cinta tak mesti harus dibalas bukan?
Saya tak peduli, jika cintaku kepada Tuhan, hanyalah cinta seorang pemabuk yang menyedihkan. Cinta hamba yang tak pantas dan layak kepada-Nya. Cinta yang seperti kata pepatah, ibarat pungguk merindukan bulan. Yah, saya tak peduli. Paling tidak, dalam hidup, saya punya cinta untuk-Nya. Tak peduli orang menganggap cinta saya tak ada apa-apanya, tak ada artinya, bahkan tak ada harganya di hadapan kebesaran dan keagungan-Nya.
Tapi tunggu dulu. Bukankah Tuhan itu Maha Cinta? Bukankah cinta-Nya lebih besar dan lebih agung dari cinta terhebat yang dimiliki manusia manapun? Bukankah kebesaran cintanya melebihi murka-Nya?
Jika Tuhan itu maha cinta, saya yakin pasti ada cinta Tuhan untuk saya. Jika cinta-Nya tanpa batas, tak mungkin saya tak kebagian jatah cinta dari-Nya. Meskipun saya ini pemabuk menurut orang-orang yang merasa diri bukan pemabuk itu.
Saya tetap yakin, Tuhan selalu punya cara untuk mencintai hamba-hamba-Nya, bahkan hamba yang dianggap pemabuk terkutuk seperti saya ini. Karena Saya tak pernah sedikit pun berprasangka buruk, bahwa Tuhan pilih bulu, bahwa Tuhan pilih kasih dalam mencintai hamba-hambanya. Bagi-Nya, yang dianggap pemabuk maupun yang merasa bukan pemabuk, sama saja. Sama memiliki kesempatan untuk mencintai dan dicintai-Nya.
Dengan keyakinan bahwa Tuhan Maha Mencintai dan tak membeda-bedakan cintan-Nya kepada para hamba-Nya, maka saya putuskan untuk pergi ke mesjid pada suatu ketika. Tentu saja saya pergi ke sana setelah meminum minuman yang kata orang-orang, minuman haram karena itu minuman keras. Hingga kepalaku terasa pening, penglihatanku seperti berputar, langkahku oleng. Dan orang-orang bilang saya mabuk.
Meski kebiasaan saya meminum minuman keras itu dicap sebagai pemabuk, saya toh tak peduli. Bagi saya, Tuhan lebih tahu siapa yang benar-benar lebih membutuhkan-Nya. Dia Maha Tahu siapa yang paling membutuhkan anugerah dan ampunan-Nya. Saya tetap kukuh berkeyakinan, bahwa Tuhan tak mungkin mengabaikan saya, yang meski dianggap pemabuk, tetap berkeinginan untuk datang kepada-Nya, memelas kasih sayang dan ampunan dari-Nya. Lebih dari pada itu, saya tak peduli ocehan-ocehan mereka yang merasa diri bukan pemabuk dan sok paling dekat dengan Tuhan itu.
Hingga detik ini, kadang saya dibuat bingung oleh mereka yang mengaku diri tak mabuk itu. Mereka yang mengaku bukan peminum itu. Mereka suka melarang-larang orang yang dianggap mabuk untuk shalat. Seolah-olah dan seakan-akan di dalam hidupnya, mereka tak pernah mabuk, meski bukan mabuk karena meminum minuman keras.Seolah-olah dan seakan-akan, dalam shalatnya, mereka tak pernah teler, meski bukan teler karena meminum minuman keras.
Mereka tak tahu, atau pura-pura tak tahu, bahwa ada dikatakan dalam kitab suci, “Celakalah mereka yang shalat. Yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya.” Bukankah lalai adalah kata lain dari mabuk? Bukankal lalai adalah keadaan dimana seorang hamba kehilangan kesadaran dan akal sehatnya? Bukankah lalai berarti tak lagi khusuk, tak lagi fokus?
Kalau begitu, siapa yang sesungguhnya dan sebenarnya adalah seorang pemabuk? Apakah Saya yang suka meminum minumn yang dianggap keras itu, ataukah mereka yang meskipun tak meminum minuman keras itu, tapi lalai dalam shalatnya? Siapakah sebenarnya yang kehilangan akal sehat dan kesadarannya ketika shalat? AhTuhanlah yang lebih tahu, karena Dia Maha Tahu. Jadi jangan sok tahu. (***)
**Ini hanya tulisan belaka. Ambil yang perlu, buang yang tak perlu.