Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Ruang Kebaikan Itu Bernama: Menginisiasi Kolektivitas

12 September 2014   18:09 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:53 43 0


Pemantik Judul Tulisan


Tulisan ini lebih tepat dikatakan sebagai bentuk “melayani” atas keinginan seorang sahabat yang sedang getol mencari Tuhan dalam hidupnya. Sejak kemarin, Sang Pencari Tuhan  ini ngotot untuk bisa bertemu dengan satu godaan judul “pencerahan”. Awalnya penulis bertanya-tanya mengapa sahabat satu ini kehilangan kesabaran padahal beliau sudah tahu kalau sejak 2 (dua) hari lalu penulis  sedang keluar kota dan sudah menjanjikan  akan memberi kabar bila sudah kembali.






Belum sempat mengabarkan dan baru saja memasuki rumah, beliau sudah mengirim satu tanya singkat lewat BB, “sudah dirumah KAH?”. Singkat cerita, ditengah letih yang amat sangat sedang menyerang sekujur tubuh, penulis menyempatkan diri melayani kedatangannya dengan harapan  akan ada satu hikmah positif dari pertemuan dengan si pencari Tuhan beridentitas ’99 ini.  Kali ini, Per-diskusi-an tak bisa berlangsung lama ber jam-jam sepeti biasanya, sebab si empunya Code’99 juga akan menghadiri satu undangan khusus dari beberapa insan Tuhan yang masuk dalam kategori penting dan memiliki pengaruh luas di sebuah daerah. Ternyata, rencana kehadirannya di pertemuan tersebut yang menjadi inpsirasi tanya singkat di BB sore itu.





Singkat cerita...si’99 memintaku mengintrepretasikan “judul tulisan diatas” ke dalam tulisan singkat dengan harapan akan bisa memantik gagasan dan pemikiran kreatif yang lebih banyak demi keterbentukan kebaikan-kebaikan baru. Judul itu sendiri ter-ide dari tensi diskusi dan dialog singkat yang kebetulan memiliki relevansi kuat dengan tema besar pertemuan si’99 dengan orang-orang penting itu di malam ini.


Tentang Inisiatif  Membangun Kolektifitas Masyarakat


Kegelisahan mulai menyentuh titik kulminasi  dan  mengemuka dalam ragam keluhan bernada ketidaktenangan hidup. Kesadaran tentang“sesuatu yang kosong” dari keseharian hidup pun telah membentuk rasa kehilangan atas sesuatu walau belum terdefenisikan secara gamblang. Kegelisahan semacam itu pun selanjutnya membangunkan kesadaran untuk bisa menemukan apa yang sebenarnya kurang dan sekaligus menata solusi.


Berangkat dari kegelisahan yang dialami sebagian orang, terbersit kesimpulan sementara bahwa sebagian sebagian manusia tampaknya mulai lelah dan ingin kembali kepada fitrahnya sebagai insan sosial yang bisa  hidup berdampingan satu sama lain dalam kerukunan dan kedamaian. kebosanan luar biasa telah menjadi kado atas keseharian hidup yang selalu diwarnai persaingan antar inividu yang tak jarang menjebakkan manusia bertindak a-sosial demi sebuah kemenangan. Disebagian orang, kejenuhan atas keterjebakan di sistem kehidupan individualis  membawanya pada perasaan sunyi dan kemudian  meng-ilhami pencarian tentang hakekat hidup sesungguhnya. Disebagian yang lain, realitas capaian yang mengelompokkan dirinya dalam golongan bawah telah melahirkan perasaan rendah diri, termarginalkan dan frustrasi yang amat sangat. Bagaimana tidak, sebab virus materialitas dan simbolik menjadi 2 (dua) hal yang mendorong banyak manusia ke dalam ambisi, nafsu dan kemudian menjadi abai dengan nurani dan perasaan orang lain. Fakta menunjukkan dikekinian zaman,  manusia lebih menyukai kata “lebih yang bermakna unggul” demi  sebuah eksistensi dan pendefenisian diri dan status sosial.  Individualisme di tengah masyarakat pun terbangun secara alamiah sebagai akibat dari  persaingan yang berlangsung terus menerus dan menenggelamkan manusia ke dalam ambis pribadinya . Ironisnya, memenangkan sesuatu dan memiliki performance lebih pun lekat menjadi indikator keberhasilan. Disadari atau tidak, hal ini pula yang kemudian menjadi pemantik adrenaline setiap orang untuk terus menyuburkan persaingan dan saling mengabaikan.



Bisa ditebak yang tercipta kemudian sebagai akibat dari iklim persaingan, yaitu  ter-negasi-kannya apa yang disebut dengan “perasaan ke-kita-an”. Satu individu lebih asik dengan fikirannya sendiri dan tidak peduli dengan sekelilingnya.  Akumulasi capaian materialitas pun diyakini sebagai senjata ampuh untuk menebar pengaruh dan menguasai pribadi lainnya. Akibatnya, sulit mendapati hubungan kebathinan tulus sebab kepentingan selalu menjadi motif dominan muasal keterbentukan interaksi antara satu manusia dengan manusia lainnya. Sikap saling mencurigai satu sama lain telah melanggengkan bersemayamnya "negatif thinking" yang terkemas dalam judul "kewaspadaan".



Ada persoalan serius tengah berlangsung dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat.   mudahnya sebagian masyarakat  tersulut emosi, mulai jarangnya aktivitas kegotongroyongan tergelar, maraknya penyakit sosial yang meresahkan, adalah beberapa contoh yang mengindikasikan kuat bahwa di tengah masyarakat tengah berlangsung penyakit mengerikan.   Kalau atas hal ini terjadi pembiaran, bukan tidak mungkin  memunculkan persoalan-persoalan baru dan bahkan dis-integritas yang pada akhirnya menjadikan masyarakat terpecah belah.



Tidak ada kata terlambat untuk membangun kesadaran bahwa ini sebuah persoalan besar dan kemudian mengambil inisiatif bijak untuk membentuk perubahan. Kolektivitas masyarakat perlu segera di motivasi dan didorong keterbangunan dan keterpeliharaannya. Upaya-upaya yang dimaksud tidak hanya terbatas pada persoalan ekonomi saja, tetapi juga sosial, budaya dan lain sebagainya. Tentu ini bukan persoalan mudah dalam mengurainya. Atas dasar itu diperlukan inisiator2 atau voulenter2 yang memaknai hal ini sebagai peluang kemuliaan dan meyakini akan melahirkan kebaikan pula bagi dirinya saat berinisitaif.  Para inisiator juga perlu memandang hal ini sebagai tantangan yang harus diselesaikan, sebab mereka akan berhadapan dengan beberapa kondisi yang mungkin mengundang lelah bathin luar biasa.



Sebagai guidance dan sekaligus tantangan, beberapa pertanyaan berikut ini akan menggiring pada satu semangat mencari jawab tentang peluang keterbangunan kolektivitas;



(i)bukankah berharap kepedulian hanya bisa dilakukan pada orang yang memiliki senstifitas dan empati tinggi?.


(ii)Bukankah berharap keikhlasan berbagi hanya layak pada mereka yang memaknai bahwa berbuat baik adalah sebuah kebutuhan dan juga tiket untuk mendapati keberkahan dalam hidup?.


(iii)Bukankah berharap kesetiakawanan hanya layak ditambatkan pada insan yang merasa tidak bisa hidup sendirian dan pasti membutuhkan orang lain dalam hidupnya?.


(iv)bukankah  berharap terbentuknya kerjasama diantara masyarakat hanya bisa mewujud bila ada kepercayaan satu sama lain?.





4 (empat) tanya diatas layak menjadi sumber inspirasi dan sekaligus membangun pemaknaan bahwa kian sulit perjuangan  ini kian banyak pula hikmah yang akan diperoleh. Sebab, bukan tidak mungkin membawa semangat kolektivitas  sama ahalnya dengan memperkenalkan sesuatu yang baru bagi sebagian orang, khususnya mereka yang dibesarkan dalam kultur individualis . Mereka pasti merasa asing dan bahkan menilai kurangkerjaan ketika diperdengarkan seputar perilaku empati, peduli dan apalagi berbagi.

Oleh karena itu, kesabaran, ketabahan dan keluasan berpandangan akan membuat sang voulenter tetap bertahan di jalan sunyi bernafas kebaikan ini. Mungkin akan lebih mudah bila bertemu dengan pribadi-pribadi yang sedang mengalami rasa sunyi, sebab akan menilai gerakan ini sebagai sebuah jawaban dan berpandangan langkah ini sebagai media perluasan makna diri bagi orang lain. Persoalan menariknya adalah seberapa banyak yang sudah mengalaminya?. Apakah lebih banyak dari pada mereka yang tidak menyadarinya sama sekali?. Pada titik manapun jawabannya, setidaknya kalimat ini penegas bahwa berada di ruang juang semacam ini adalah sebuah peluang kebaikan yang tidak terbatas. Satu hal yang pasti, inisiatif menjebakkan masyarakat dalam ruang kebersamaan penuh nuansa kekeluargaan dan kesetaraan bukanlah sebuah tindakan buruk. Kehadiran insan-insan kreatif yang memiliki kepedulian tinggi terhadap persoalan ini dan berkemampuan men-design variasi agenda kebersamaan sangat diperlukan.



Betapa indahnya bila saja  tidak satupun insan merasa terpingggirkan kala duduk atau memperbincangkan sesuatu. Betapa mendamaikannya ketika setiap orang memiliki rasa percaya diri untuk tampil apa adanya dan bisa berkomunikasi pada siapapun tanpa hambatan status sosial maupun stratifikasi ekonomi. Kaya dan miskin tidak dimaknai lagi sebagai jurang pemisah atau bahan untuk saling merendahkan. Yang kaya tergerak mendorong dan bahkan menolong laju pertumbuhun ekonomi si miskin dan si miskin pun tak segan belajar pada si kaya demi perbaikan kualitas ekonomi. Demikian juga yang pintar tergerak untuk berbagi ilmunya dan yang belum berilmu pun sungguh-sungguh menyimak setiap penjelasan atas setiap tanyanya. Perbedaan cara pandang atas sesuatu juga tidak menjadi pembenar untuk kemudian membangun jarak, tetapi justru menjadi perekat untuk saling bertukar fikiran dan memperkaya khasanah.  Dengan demikian, kepedulian pun terbangun karena setiap orang merasa menjadi bagian dari diri lainnya.




Untuk membentuk keadaan semacam ini  tentu memerlukan rangsangan atau semacam stimulan yang terus menerus sehingga tumbuh, berkembang dan kemudian menjadi bagian keseharian masyarakat. Perasaan ke-kita-an seperti itu perlu di wujudkan ke ragam bentuk aktivitas produktif yang tidak hanya bersifat temporal, tetapi berlangsung secara terus menerus dalam arti rutin dan berulang. Alasannya sederhana, karena kebiasaan yang berulang akan menjadi budaya.



Kita perlu membangun budaya kolektif sebagai pilihan membangun ragam kebermaknaan melalui penyatuan potensi dan energi. Sinergitas yang lahir dari pribadi-pribadi yang saling mempercayai dan saling peduli akan berlangsung langgeng sebab inisiatif menjaga kebersamaan sudah menjadi kebutuhan dan sekaligus kesadaran setiap orang. Pola Individualitas akan tergerus dan melebur menjadi semangat kolektif yang saling memberdayakan. Sikap reaktif dan emosional pun meredup bersamaan tumbuh kembangnya perasaan ke-kita-an yang terus meluas seiring berjalannya waktu.



Ini bukanlah sekedar mimpi sebab mewujudkannya hanya memerlukan kemauan dan kesadaran. Paradigma “bersama adalah sumber energi” perlu difahamkan dalam ragam bukti aksi yang membuat setiap orang benar-benar bisa merasakan dan mempengaruhi kebijaksanaan dan kualitas ke-diri-annya.



Menarik ketika “kolektivitas masyarakat” semacam ini didorong mewujud dan bahkan kemudian menjadi satu ciri khas karakter masyarakat. Tidak perlu mercusuar dalam membangun atau melatihkan kemauan dan kesadaran tentang  “care and share”.  Pada saat perulangan kebaikan melahirkan kenyamanan bathin, maka perluasan ruang juang bertajuk  kebaikan akan menjadi kebutuhan yang lahir secara alami dari kebijaksanaan diri.
Anda capaian ini mewujud, maka bisa dibayangkan keseharian hidup akan terbentuk apa yang disebut kebijaksanaan yang menentramkan dan membahagaikan. Tidak tersaji lagi persaingan yang saling menjatuhkan. Akan muncul rasa malu atas tindakan efuforia atas setiap kemenangan, sebab menyadari bahwa hal itu berpotensi menyebabkan luka bagi lainnya. Demikian juga yang kalah tidak kemudian melakukan serangkaian aksi yang mempertontonkan kelemahan sang pemanang, tetapi memaknainya bahwa persoalan menang kalah bukanlah substansi perjuangan. Dalam alam kolektivitas, persaiangan akan melebur menjadi pemberdayaan. Kekihlasan untuk mempersatukan potensi lebih diyakini akan mendatangkan kemaslahatan ketimbah menjebakkan diri untuk saling mengalahkan. Ini memang bukan sesuatu yang mudah, tetapi pembiasaan-pembiasaan "kebersamaan" akan membentuk semangat yang selalu saling mendukung.


Mungkin tidak terlalu sulit ketika sebuah kampung menabung Rp 1.000,oo perhari dan akumulasinya dijadikan sebagai modal penting membangun agenda-agenda kebersamaan yang produktif. Tidak sulit untuk membangun lingkungan bersih ketika tersepakati bahwa hidup bersih adalah sumber kesehatan dan kemudian menjadi pilihan gaya hidup. Akan muncul sebuah kesan dan apresiasi berbeda ketika setiap orang yang berkunjung ke sebuah daerah mendapati pesan-pesan bijak dan motivasional di angkutan umum dalam kota. Bahkan, kalimat serupa  kemudian  tertemukan di setiap becak disegenap penjuru daerah. Bisa dibayangkan ketika masyarakat bergotong royong untuk memberi motivasi dan sekaligus menciptakan solusi bagi penduduk yang sedang ditimpa musibah. Itu beberapa contoh sederhana untuk menandaskan bahwa meng-create kebersamaan tidak harus berbiaya tinggi, sebab kebersamaan hanyalah persoalan kemauan dan kekikhlasan saja.

Bisa dibayangkan andai disetiap diri masyarakat terbangun perasaan malu untuk memiliki piranti hidup berlebihan sementara disekitarnya tampak jelas sedang bergelut dengan ragam kesusahan. Andai setiap "kesusahan dan kesedihan" yang ditemukan atau di dengar difahami sebagai bentuk pesan Tuhan untuk berbagi dan mengembangkan kepedulian. Sepertinya, hidup menjadi bergitu indah dan bermakna saat kebersamaan menjadi spirit yang terus tumbuh dalam setiap jiwa.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun