Ayahku seorang guru, tak heran ia tampaknya ingin aku menjadi guru.
Suatu ketika aku menyatakan pendapatku tentang hal ini, bahwa aku tak
ingin menjadi guru.
“Pak nanti aku ingin kuliah di Jawa, di UI. Aku ingin menjadi orang yang mampu mengangkat harkat keluarga kita.”
Bapak tampak tersenyum, “kenapa kau tak di sini saja bersekolahnya,
menjadi guru, membuat orang-orang di kampung ini menjadi cerdas, tidak
bodoh lagi.”
“Tidak Pak, aku ingin menjadi orang besar, menjadi pemimpin, mengubah
keadaan, aku sudah bosan dengan begitu lambatnya pembangunan, begitu
lamanya kita menikmati sejahteranya kemerdekaan”.
Bapak hanya menghela nafas, “kalau begitu inginmu nak, aku tak akan
mencegahnya. Aku akan membantu untuk mewujudkan itu semua semampuku,
sekuatku. Berjuanglah nak menggapai itu semua.”
Mei 2002
Ayahku seorang guru, tak heran jika penghasilannya pun pas-pasan. Suatu
ketika kulihat ia berbincang dengan temannya yang sedang syukuran pindah
ke rumah baru. Lamat-lamat kudengar perbincangannya.
“Pak guru kapan membangun rumah, sudah menabung pasti?”
Bapak hanya tersenyum, “belum pak.”
“Kapan lagi pak guru?”
“Nanti sajalah, lebih baik uang ditabung untuk biaya sekolah anak-anak.”
Temannya itu hanya menggaruk-garuk kepalanya.
Dzulhijjah 1425
Ayahku adalah orang Melayu, tak heran impian terbesarnya adalah naik
haji, menyambangi tanah suci, menyambut panggilan Ilahi Rabbi. Aku tahu
mimpinya itu, jelas sekali. Suatu ketika aku berbincang-bincang padanya.
“Pak, tidak ingin naik haji? Kulihat teman-teman bapak sudah banyak yang pergi ke Mekkah.”
“Buat apa kita naik haji nak, kalau masih banyak kewajiban kita yang belum selesai di sini.”
“Bukankah ibadah haji wajib hukumnya Pak?”
“Aku kira”, ia menghela nafas, “menyekolahkan anak setinggi yang aku mampu lebih merupakan kewajibanku saat ini”
Aku terdiam.
Dzulhijjah 1430
Takbir terus berkumandang bersahut-sahutan. Aku menghadirkan ornamen-ornamen sejarah itu, kini di depanku.
Seorang laki-laki tua, merindu anak, berpuluh tahun ia berdoa untuk itu.
Saat ia mendapatkannya ia harus membiarkan buah hatinya (bersama sang
isteri) di tanah tandus dengan bekal yang terbatas. Saat ia ingin
menjenguk anaknya, melepas rindu yang sedemikian besar, ia harus
mengurbankan anaknya. Tak tanggung-tanggung, ia harus menyembelih
anaknya itu. Ibrahim, bapak para nabi, aku lihat ayahku, aku rasa cinta
ayahku, aku tahu perih hatimu.
Cinta ayah itu besar kepada anaknya, besar sekali. Bahkan, anaknya lebih
ia cintai dari dirinya sendiri. Tapi, ini perintah Tuhan. Karena
kecintaan pada Tuhan harus dibuktikan. Karena takbir harus terus
berkumandang. Prima facie.