"Aku juga," jawabku seraya memalingkan wajah. Mataku mencoba lari dari tatapannya. Â Menahan bahagia yang amat mendalam
 "Kalau begitu, Halalkan aku !" jemari kecilnya mendesak menarik daguku menghadap paras manisnya.
"Terdiam sejanak. Sungguh, aku belum bisa," suaraku lirih kuyu menyerah tiada gairah.
"Kenapa"? Suara perempuan yang lantang dengan penuh harapan. Dan airmata yang mengalir deras
"Kau sendiri tau jawabanya, posisi kita terpisah  di antara dua benua Afrika dan Asia" Suaraku lirih menyerah dan takut kehilangan
Pada akhirnya, hanya kebisuan yang tersisa. Lalu, isak tangismu yang terdengar, merobek, dan memecah keheningan. Kau dan aku, akhirnya, belajar satu hal bahwa tak selamanya cinta bisa mengalahkan semua.
***
Jika ada makhluk paling lemah di dunia, pastilah namanya cinta. Â Ya, matanya pasti buta. Kakinya rapuh. Berdirinya sempoyongan. Badannya kurus hanya tulang yang terlilit kulit. Hidupnya selalu butuh sandaran dari yang lain. Dia benar-benar tidak akan pernah bisa mandiri.
Lalu, entah kenapa banyak pemuda menulis jutaan syair indah tentang cinta. Aku sungguh tidak mengerti. Mungkinkah para penyair itu sedang mabuk cinta ketika menulis puisinya? Jangan-jangan, mereka sedang terjebak dalam halusinasi? Lalu, dalam kondisi begitukah mereka mengukir barisan kata-kata menawan dengan pena yang menari lincah?
Â
Entahlah. Bagiku, deretan syair itu hanya sanjungan kebohongan karena cinta tak selalu semanis itu.
Begitu lemahnya cinta hingga dia pun tak bisa memilih. Bahkan, untuk dirinya sendiri. Dia begitu pengecut menampakkan diri di hadapan jutaan orang. Takut dia melawan tatap mata penuh penghakiman itu.
***