-Kiai sebagai figur sentral yang memberikan restu kepada kandidat.
-Kandidat kepala daerah, yang aktif mencari dukungan dari kiai untuk meningkatkan legitimasi moral dan sosial.
-Masyarakat pemilih, yang menjadikan kiai sebagai panutan, baik secara spiritual maupun sosial.
-Tim sukses dan partai politik, yang memanfaatkan relasi dengan kiai untuk membangun citra positif bagi kandidat mereka.
Pada Pilkada Bondowoso 2018, pasangan Salwa Arifin dan Irwan Bachtiar Rahmat memenangkan kontestasi setelah mendapatkan dukungan dari sejumlah kiai berpengaruh. Salwa, yang juga seorang kiai, mampu menarik simpati besar dari masyarakat pesantren dan kalangan NU tradisional. Dukungan ini menjadi kekuatan utama yang tidak dapat disaingi oleh lawan politiknya, meskipun dari sisi program, ada kandidat lain yang lebih progresif.
Fenomena magnet kiai biasanya muncul selama masa kampanye Pilkada, dimulai dari proses pencalonan hingga mendekati hari pencoblosan. Momentum penting adalah saat kandidat melakukan sowan ke pesantren-pesantren besar untuk meminta restu. Fenomena ini terjadi Pada Pilkada Jember 2020, pasangan Hendy Siswanto dan Gus Firjaun berhasil menarik dukungan besar setelah mendapatkan restu dari beberapa kiai karismatik. Salah satu yang menonjol adalah dukungan dari Gus Aab, putra Kiai As'ad Syamsul Arifin, pendiri Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo. Restu ini dianggap sebagai "stempel legitimasi" yang meyakinkan pemilih, terutama kalangan NU tradisional.
Magnet kiai paling terasa di wilayah Tapal Kuda, mencakup Bondowoso, Situbondo, Jember, Probolinggo, Lumajang, dan Pasuruan. Wilayah ini memiliki karakteristik masyarakat religius dengan akar tradisi pesantren yang kuat. Pesantren besar seperti Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo di Situbondo atau Pesantren Nurul Jadid di Probolinggo sering menjadi pusat dukungan politik yang menentukan.
Kiai memiliki pengaruh besar karena posisi mereka sebagai pemimpin moral yang dihormati dan dipercaya oleh masyarakat. Dalam budaya Tapal Kuda, petuah kiai dianggap sebagai "amanah" yang harus dipatuhi. Selain itu, jaringan sosial yang dimiliki kiai---melalui pesantren, majelis taklim, dan organisasi keagamaan---memungkinkan mereka menggerakkan massa secara efektif. Pada Pilkada Probolinggo 2013, Puput Tantriana Sari, yang bukan berasal dari kalangan pesantren, berhasil memenangkan pemilihan setelah mendapat dukungan dari sejumlah kiai besar di Probolinggo. Restu ini menjadi kunci keberhasilannya dalam mengalahkan lawan politik yang lebih berpengalaman di pemerintahan.
Magnet kiai bekerja melalui beberapa mekanisme:
1.Restu langsung: Kiai memberikan dukungan eksplisit terhadap kandidat tertentu.
2.Jaringan pesantren: Pesantren menjadi pusat mobilisasi massa untuk mendukung kandidat yang disarankan oleh kiai.
3.Narasi keagamaan: Dukungan kiai sering disertai dengan narasi bahwa kandidat yang didukung merupakan pilihan yang baik secara agama.
Pada Pilkada Situbondo 2015, Dadang Wigiarto berhasil mempertahankan jabatan sebagai Bupati setelah mendapatkan dukungan penuh dari Kiai Fawaid As'ad, salah satu tokoh karismatik NU di wilayah tersebut. Jaringan kiai dan pesantren Sukorejo memainkan peran kunci dalam mengonsolidasikan suara masyarakat tradisional, sehingga memberikan kemenangan telak bagi Dadang.
Magnet kiai dalam Pilkada Tapal Kuda Jawa Timur mencerminkan perpaduan unik antara agama dan politik. Studi kasus dari Bondowoso, Jember, Probolinggo, dan Situbondo menunjukkan bahwa dukungan kiai dapat menjadi faktor pembeda yang menentukan kemenangan kandidat. Dengan basis sosial yang kuat, kiai tetap menjadi kekuatan dominan dalam kontestasi politik di wilayah ini.