MENUA
Menghirup semilir masa lalu,
aku bocah termangu
di kolam bata coklat tua
Dari dalamnya,
seekor katak berdendang
tentang hujan yang tak jadi datang
Sisa embun semalam menetes
dari daun-daun bambu,
melodius seperti nada lagu
Di sini aku
terduduk lesu, membisu gagu
lenyap segala nafsu
Ingat yang sudah berlalu
terlampaui putaran roda waktu
kenangan apa masih mengetuk pintuku?
(11/07/2023)
Penjelasan Puisi
Saya memberi judul puisi ini "Menua", dan bermaksud mengungkapkan pendapat saya sebagai penulis puisi yang mulai mengalami suatu proses alamiah "menjadi tua". Dalam puisi ini, saya juga merenungkan masa lalu yang pernah dialami, dan secara tersendiri saya berupaya untuk merefleksikan momen-momen tersebut. Puisi ini sengaja menghadirkan suatu suasana yang tenang dan melankolis, yang bertujuan untuk mengajak pembaca ikut serta menikmati tema yang sedang diungkapkan melalui baris-baris puitik dan merenungkan makna yang tersirat di dalamnya.
Saya membuka puisi ini dengan gambaran Aku-lirik yang sedang hanyut "menghirup semilir masa lalu". Hal ini berarti bahwa ia tengah memandang ke belakang, suatu masa yang telah lewat namun mengundang minatnya untuk memikirkan kembali. Tiba-tiba, Aku-lirik merasa seperti seorang "bocah termangu" yang berarti mengalami transformasi menjadi selayaknya seorang anak yang takjub menyaksikan "peristiwa menarik" di hadapannya. Ia terpaku "di kolam bata coklat tua" yang secara metaforis merupakan gambaran memori dan pengalaman masa lalu yang terkubur dalam alam bawah sadar.
Selanjutnya dalam puisi ini, saya menghadirkan momen yang bercerita tentang katak yang berdendang di dalam kolam. Sang katak ini menyanyikan tentang hujan yang tidak jadi turun. Sejatinya ini adalah representasi suatu kekecewaan atau harapan yang tidak terpenuhi, namun masih mengendap lama, belum sudi pamit dan melipir dari relung kalbu. Di sini saya membalikkan mitos tentang katak yang bila ia berbunyi nyaring, maka hujan yang diminta pun tumpah sejadi-jadinya. Tujuannya untuk mengatakan bahwa ini tak berlaku untuk harapan kita, yang tak jarang selalu bertolak belakang dengan apa yang terjadi kemudian.
Dalam puisi ini, saya juga melukiskan citraan visual tentang "sisa embun semalam yang menetes dari daun-daun bambu, dan terdengar begitu melodius seperti nada lagu". Hal ini menggambarkan ketenangan dan keindahan alam yang tetap ada di tengah keraguan dan kehampaan yang dirasakan Aku-lirik. Bunyi embun yang menetes juga memiliki kesan musikal dan membangkitkan perasaan.
Pada bait keempat puisi ini, saya sengaja menyeret benak Aku-lirik untuk merenungkan keadaannya saat ini. Ia terduduk lesu dan membisu gagu. Ia merasakan kehilangan atau kekosongan dalam hidupnya. Ada nada kepasrahan yang terasa dalam bait keempat ini. Tentunya saya punya alasan untuk itu. Sebagai penulis puisi, bait keempat ini bertujuan untuk mewakili pandangan saya bahwa setiap orang akan mengalami apa yang dinamakan dengan "gigitan kesadaran", sewaktu ia melihat dirinya yang sekarang dengan segenap pengalaman yang sudah terlewati.
Dalam bait keempat ini, citraan suasana yang hening, dan kehilangan gairah sangat terasa bagi pembaca. Ini bertujuan untuk mengundang pembaca memikirkan tentang konsepsi "berserah diri atau kepasrahan" yang tak bisa diabaikan, karena pasti akan dialaminya juga dalam mengarungi kehidupan masing-masing.
Sebagai penulis puisi, dalam bait kelima, saya memposisikan Aku-lirik untuk merenungkan berbagai pengalaman personal yang telah berlalu. Dengan menggunakan kalimat retoris, Aku -lirik bertanya kepada dirinya sendiri apakah kenangan dari masa lalu masih ada yang mengetuk "pintu kesadarannya". Ini menggambarkan posisi saya sebagai penggubah puisi ini yang bertanya apakah ingatan tentang masa lalu masih memiliki pengaruh atau bermakna dalam kehidupan pribadi saya sekarang, ataukah hanya menjadi sebuah nostalgia? Jawabannya sengaja saya serahkan kepada pembaca.
Sebab kata Roland Barthes dalam karyanya The Death of the Author, pengarang sudah mati ketika karyanya telah sampai ke tangan pembaca. Artinya, setiap pembaca mempunyai hak menginterpretasikan sebuah karya sastra sesuai dengan persepsinya masing-masing.
Ringkasnya puisi yang didominasi nada melankolis menciptakan suasana yang hening, tenang, dan merenung. Tujuannya untuk mengajak pembaca merenungkan arti dan pengaruh waktu dalam hidup kita. Ada deskripsi alam yang indah, seperti embun yang menetes dan katak berdendang, memberikan sentuhan romantis dan musikal pada puisi. Nada melankolis sendiri menggambarkan refleksi dalam keheningan dan kepasrahan yang melingkupi Aku-lirik.
Majas dalam Puisi "Menua"
Majas atau bahasa kiasan merupakan perangkat kebahasaan yang sering dimanfaatkan dalam sebuah karya sastra. Penggunaan majas kerap berfungsi untuk memperkuat daya gugah dari rangkaian kata-kata yang termuat dalam karya. Selain itu, majas juga sering dipakai penulis karya sastra dalam rangka memperindah rasa ekspresi/ungkapannya.
Dalam puisi "Menua" ini, saya menggunakan majas tertentu, selengkapnya bisa dilihat melalui uraian berikut ini.
Bait pertama :
Dalam bait pertama, ada penggunaan majas personifikasi. Dalam bait tersebut, saya menggambarkan "masa lalu disamakan dengan semilir yang dapat dihirup, dan kolam bata coklat tua digambarkan sebagai tempat di mana Aku-lirik berada. Ini sebenarnya sebuah representasi tentang seorang dewasa yang menua, merasa seperti seorang bocah yang terdiam dan terpaku.
Makna yang tersirat dari penggunaan majas personifikasi ini adalah bahwa masa lalu dihidupkan kembali dan diperlakukan sebagai entitas yang dapat dirasakan dan dihirup seperti angin semilir. Hal ini menggambarkan intensitas dan kedalaman perasaan Aku-lirik terhadap masa lalu, serta kemampuan masa lalu untuk mempengaruhi dan membebani pikiran dan emosinya.
Deskripsi kolam bata coklat tua juga menciptakan gambaran yang kuno dan usang, menggambarkan betapa lama masa lalu telah berlalu dan berdiam dalam pikiran Aku-lirik. Sebagai seorang bocah yang termangu di sana, ia merasakan kehadiran kuat dari masa lalu, menyiratkan bahwa pengaruh masa lalu dapat membawanya ke dalam perasaan yang mendalam, mengingatkan pada pengalaman masa kanak-kanak yang menggugah emosi.
Bait kedua:
Bait kedua dalam puisi ini, saya menggunakan majas simbolisme atau alegori. Dalam bait ini, saya menggambarkan Aku-lirik menyaksikan "seekor katak sedang berdendang tentang hujan yang tak jadi turun".
Dapat saya jelaskan bahwa makna yang tersirat dari penggunaan majas ini adalah sebagai simbolisasi yang mewakili pengertian tentang harapan yang tidak terpenuhi atau kekecewaan. "Katak dan lagunya" itu adalah sebagai perlambang. Sedangkan, "hujan yang tak jadi datang" melambangkan sesuatu yang diinginkan atau dinantikan, namun akhirnya tidak terjadi atau tidak terwujud. Katak yang berdendang tentang hujan yang tak jadi datang menciptakan gambaran yang ironis, di mana ada upaya untuk mengungkapkan sesuatu yang tidak nyata atau tidak terjadi.
Citraan yang terasa adalah kekecewaan, harapan yang pupus, dan ketidakpastian. Katak yang berdendang menciptakan gambaran kehidupan yang penuh dengan harapan dan mimpi, namun realitas seringkali tidak sesuai dengan yang diinginkan. Melalui katak yang berdendang tentang hujan yang tak jadi datang, melalui puisi ini saya menggambarkan kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian dan kekecewaan akan harapan yang tidak terwujud.
Bait ketiga:
Dalam puisi, bait ketiga menggunakan majas perbandingan atau simile. Saya, sebagai penulis puisi ini membandingkan tetesan embun semalam yang menetes dari daun bambu dengan melodi yang indah seperti nada lagu.
Makna yang tersirat dari penggunaan majas ini adalah bahwa Aku-lirik puisi merasakan sendiri suara tetesan embun sebagai sesuatu yang memiliki keindahan dan keharmonisan seperti melodi lagu. Dalam penggambaran ini, embun yang menetes dari daun bambu tidak hanya memiliki aspek visual, tetapi juga memiliki efek auditif yang membangkitkan kesan musikal. Melalui majas ini, saya ingin mengatakan bahwa perlunya sensivitas terhadap fenomena alam, di mana kepekaan itu akan mampu menangkap keindahan, bahkan suara embun yang jatuh akan menghasilkan nada-nada yang memikat hati dan merangsang indra pendengaran.
Saya sengaja menciptakan citraan alam yang harmonis dan menenangkan dengan menggambarkan tetesan embun bagaikan melodi nan indah dalam sebuah lagu. Hal ini juga memberikan nuansa positif di tengah refleksi personal saya terhadap subjek puisi. Melalui majas ini, sebagai penulis puisi saya ingin mengekspresikan keindahan alam dan bagaimanapun alam bisa memberikan penghiburan dan kelegaan dalam situasi emosional yang kompleks.
Bait keempat:
Bait keempat puisi ini menggunakan majas repetisi atau epanadiplosis. Dalam baris tersebut, saya mengulang kata "lesu" pada kalimat pertama dan mengulang kata "membisu" pada kalimat kedua.
Tujuan penggunaan majas repetisi ini adalah untuk memperkuat dan menekankan perasaan kelesuan dan keheningan yang dirasakan oleh Aku-lirik. Pengulangan kata-kata tersebut menciptakan ritme yang menarik dan meningkatkan intensitas emosi yang dirasakan. Dengan mengulang kata-kata tersebut, Aku-lirik digambarkan dalam keadaan mental dan emosional yang hampa dan kosong. Penggunaan majas repetisi juga membantu mempertegas perasaan kehilangan dan kepasrahan yang mendominasi bait ini.
Secara keseluruhan, majas repetisi digunakan untuk memperkuat perasaan lesu, membisu, dan tanpa nafsu yang dirasakan oleh Aku-lirik puisi, serta menciptakan efek emosional yang lebih mendalam bagi pembaca.
Bait kelima:
Bait kelima puisi ini menggunakan majas asyndeton dan juga mengandung pertanyaan retorik. Penggunaan majas asyndeton terdapat dalam penghilangan konjungsi "dan" antara dua frasa, yaitu "Ingat yang sudah berlalu" dan "terlampaui putaran roda waktu". Penghilangan penghubung tersebut menciptakan pengaruh penghentian singkat, menekankan pada setiap kata dan memperkuat makna yang ingin disampaikan.
Dapat saya jelaskan bahwa makna yang tersirat dari penggunaan majas ini untuk menggambarkan perjalanan waktu yang terus berjalan, mengalirkan kenangan yang telah berlalu. Penghilangan konjungsi "dan" juga memberikan penekanan pada setiap frasa, mengindikasikan bahwa Aku-lirik benar-benar merenungkan dan mengingat kenangan yang telah terlampaui oleh waktu.
Di sini sebagai penulis puisi, saya menyadari bahwa masa lalu telah menjadi bagian dari sejarah dan tidak bisa diubah, dan saya melalui Aku-lirik puisi mempertanyakan apakah kenangan tentang itu masih mempengaruhi dalam realitas yang dialami saat ini.
Pertanyaan retorik "kenangan apa yang masih mengetuk pintuku?" digunakan untuk menciptakan efek retorika. Tentunya saya tidak mengharapkan jawaban dari pertanyaan ini. Tujuan penggunaan pertanyaan retorik ini adalah untuk memperkuat perasaan kerinduan dan refleksi yang ada dalam bait ini. Dengan mengajukan pertanyaan tersebut, saya ingin mengungkapkan keraguan, rindu, dan keingintahuan apakah kenangan-kenangan masa lalu masih memiliki pengaruh bagi kehidupan pribadi seseorang. Pertanyaan ini juga memicu introspeksi pada pembaca, mengundang mereka untuk merenungkan kenangan dan perjalanan waktu dalam hidup mereka sendiri.
Pelajaran Kebijaksanaan dari Puisi "Menua"
"Menua itu pasti dialami setiap orang, namun menjadi pribadi bijaksana adalah pilihan yang diambil setelah ditempa berbagai pengalaman yang berat".
Pada kalimat di atas ""Menua itu pasti dialami setiap orang, namun menjadi pribadi bijaksana adalah pilihan yang diambil setelah ditempa berbagai pengalaman yang berat", terdapat relevansi dengan tema umum puisi ini, yaitu menua, mencerminkan realitas yang dialami oleh banyak orang dalam kehidupan mereka.
Pernyataan tersebut juga menyiratkan bahwa dalam proses menua, menjadi bijaksana adalah pilihan yang harus diperjuangkan. Puisi ini menggambarkan Aku-lirik yang terduduk lesu, membisu gagu, dan merasa kehilangan. Namun, melalui refleksi dan pengalaman hidup yang telah dilalui, ia dapat menemukan kebijaksanaan. Aku-lirik merenungkan pengaruh masa lalu dan bertanya-tanya apakah kenangan masih mengetuk pintunya, menunjukkan keinginan untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam dan bijaksana terhadap perjalanan hidupnya.
Dengan mengalami berbagai pengalaman yang berat, seperti yang terungkap secara tersirat dalam puisi ini, seseorang dapat tumbuh dan belajar menjadi bijaksana dalam menghadapi proses menua dan perubahan yang tak terelakkan. Maka dengan memperhatikan puisi ini, saya ingin agar kita dapat menggali arti mendalam tentang penerimaan terhadap perjalanan waktu, dan memahami bahwa menjadi bijaksana adalah pilihan yang perlu diperjuangkan dalam menghadapi proses menua dan perubahan hidup.
Sebagaimana diungkapkan oleh Confusius, "Menua adalah hakikat hidup yang tidak dapat dihindari. Kita harus merangkulnya dengan bijaksana dan mengisi setiap fase dengan kehidupan yang berarti." [MI]