Istilah bakti sosial, kerja sosial, sekolah binaan, dan sebagainya perlahan tapi pasti membentuk masa depan kami yang senang untuk hidup ditengah banyak orang. Sekedar berbagi pengetahuan, mempraktekkan pengetahuan, atau juga sekedar berbagi senyum. Ya, berbagi sekedarnya.
Konon, para founding fathers kita seperti Tjokro, Agus Salim, Tjipto, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan kawan-kawan adalah seorang sosialis yang gemar bersusah-susah dengan rakyatnya. Mereka lahir dari iklim yang mungkin tidak nyaman. Mereka 'besar' dari suasana yang 'kecil'.
'Besar'nya mereka tentu tidak sesederhana memaknainya bahwa mereka telah memperoleh takdir untuk 'besar', tapi 'besar'nya mereka adalah hasil memilih dari berbagai pilihan hidup. Varian pilihan yang masing-masing memiliki kebaikan juga keburukan.
Memilih tentu bukan perkara mudah. Memilih bagi sebagian orang adalah dengan merasionalkan banyak hal. Juga, memilih untuk menghindari konsekuensi yang dianggap tidak mampu dijalani dengan baik. Entahlah, dalam konteks sosial, memilih adalah bentuk ikhtiar untuk melebur keakuan.
Tentang masa depan adalah misteri mungkin ada benarnya. Masa depan adalah menarik benang merah masa lalu hingga masa kini, kemudian berlari sekencang-kencangnya. Jika berlari dengan 'baik' tentu akan bermuara kebaikan pula. Meski tak jarang kita temui banyak kerikil mungkin juga batu gunung yang seenaknya menghadang.
Sedianya sebagai makhluk yang 'hidup', kita akan selalu punya jalan atas segala hal yang mungkin berat juga sulit. Kesulitan lagi keberatan bahkan mungkin juga buntu, meniscayakan adanya pilihan lain! Berbalik arah atau mungkin sekedar berbelok!
Entahlah, teorinya begitu! Berpraktek tentu lebih sulit dari sekedar berkata-kata!