Hidup dan cita-cita adalah dua saudara kembar non identik. Ia tidak mirip, tapi lahir bersama, tumbuh bersama, dan mati bersama. Orang yang berani hidup harusnya adalah orang yang berani bercita-cita. Dan orang yang tidak punya cita-cita, biasanya adalah orang yang sudah mati.
Tapi cita-cita dan nasib jelas berbeda. Keduanya seperti predator, siapa yang terkuat akan makan yang lemah. Cita-cita yang lemah akan digilas nasib yang lebih kuat. Dan nasib yang lemah, akan dimakan oleh cita-cita yang kokoh.
Joni Ariadinata bercita-cita menjadi penulis alias sastrawan sejak ia masih melakoni nasibnya sebagai tukang becak di Malioboro, Yogyakarta. Menulis di atas kertas-kertas bekas yang dijual kiloan di pasar adalah rutinitas hariannya. Konon setiap hari ia membuat 10 cerpen. Ratusan cerpennya ia kirim ke Kompas, dan alhamdulillah selalu ditolak. Hingga entah cerpen keseratus atau keseribu sekian akhirnya dimuat. Dan cerpen tersebut menjadi cerpen terbaik Kompas 10 tahun berturut-turut. Hadiahnya: jalan-jalan ke Eropa selama 2 bulan! Puncak kepuasannya adalah akumulasi dari kumpulan kegagalannya. Cita-cita telah memangsa nasibnya sebagai tukang becak.
Ada juga kisah tentang anak muda yang gigih menawarkan cerita hasil karyanya untuk difilmkan ke berbagai produser di Amerika. Berkali-kali ditolak, namun berkali-kali pula ia gigih menawarkan. Dia selalu berada satu langkah di depan dari penolakan. Lalu sebuah rumah produksi berminat dengan naskahnya. Tak disangka, ceritanya tersebut menjadi sebuah film box office di dunia. Anak muda itu bernama Slyvester Stallone, dan cerita yang dia tawarkan adalah Rocky.
Tragedi terbesar umat manusia adalah ketika mereka berhenti bercita-cita...! demikian kutipan yang saya ambil di novel Sang Pemimpi –nya Andrea Hirata. Karena cita-cita, maka bangsa yang telah lumutan berada di bawah ketiak penjajah selama ratusan tahun bisa memekikkan kata: Merdeka! pada 17 Agustus 1945. Karena cita-cita pula, anak kecil miskin yang hidup di zaman rekiplik di Surabaya, dan sempat berprofesi menjadi tukang betulin barang elektronik di kampung-kampung, bisa menjadi profesor dari 4 bidang studi yang berbeda di Jepang. Bahkan Ken Sutanto, anak kecil tersebut, menjadi salah satu ilmuwan yang paling berpengaruh di Negeri Sakura sana. Ia menguasai elektronik, farmasi, medikal dan pendidikan.
Karena cita-cita untuk bisa mandiri pula, Habibie Afsyah yang lumpuh dan hanya bisa menggerakkan satu jarinya saja, dapat menghasilkan US$ 5000 dari internet marketing. Tanpa harus menggerakkan kakinya untuk mencari kerja. Anak muda ini memang hidupnya di atas kursi roda. Tapi mimpinya melintasi benua.
Cita-cita membutuhkan harga, sedangkan nasib sama sekali tidak menuntut balas jasa. Serahkan saja diri kita pada nasib, maka terserah nasib akan membawa hidup kita kemana. Ia tidak membutuhkan pengorbanan, tidak meminta waktu, tidak memaksa komitmen. Beda dengan cita-cita. Namun hal yang paling dibutuhkan untuk mencapai cita-cita, adalah kesediaan untuk bersahabat dengan kegagalan.
”Kumpulkan voucher-voucher kegagalanmu, supaya bisa masuk ke rumah kesuksesan,” demikian nasehat seorang pengusaha sukses kepada saya. Hmmm....menarik juga analoginya.
Selalu 1 langkah berada di depan kegagalan, barangkali itulah kunci sederhana meraih cita-cita. Mumpung masih suasana tahun baru, apa cita-cita Anda tahun ini?