Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Konflik Rwanda, Hutu-Tutsis

2 Desember 2010   23:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:05 7053 0
REPUBLIK Rwanda adalah negara kecil yg terletak di Timur-Tengah dari AFRICA bertetangga dengan Uganda, Burundi, the Democratic Republic of the Congo dan Tanzania. Dulu Rwanda adalah salah satu daerah jajahan BELGIA. Pada jaman penjajahan, terjadilah suatu diversifikasi SUKU, yang dilakukan oleh Belgia, yaitu suku Hutu. Kalau kita lihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran.

Tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu di anggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih "tinggi" eksistensinya. Itu semua hanya karena suku Tutsi lebih terang, tinggi, langsing dan ukuran hidung mereka lebih ramping dan mancung, sedangkan suku Hutu lebih berwarna hitam, agak pendek, hidungnya besar dan pesek Para Penjajah Belgia lebih memilih orang-orang Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang2 HUTU.

Mereka mengerjakan Tutsi untuk pekerjaan "kerah putih" dan HUTU untuk "kerah biru". Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba ke 2 suku ini. Dan inilah awal dari munculnya benih-benih kebencian , ke iri hatian, dan kecemburuan sosial yang akut dan mengakar. Dan hal ini setelah beberapa tahun kemudian, tepat nya di Tahun 1994, memuncak ketika para Militan HUTU mengadakan genosida Massal untuk membantai para "Cokroaches" / Tutsi, dan menyamakan mereka dengan tidak lebih dari derajat seekor sapi untuk dibantai.

Dengan sandi "LETS CUT THE TALL TREES!!" mereka memulai pembantaian itu. Pada bulan Juli, beberapa hari sebelum pembantaian tersebut, Presiden Rwanda yang baru saja terpilih (suku Hutu) yang notabene menyetujui perjanjian damai Hutu-Tutsi, dibunuh dalam pesawatnya, dengan roket, oleh kaum Tutsi (tapi ini hanya drama yang dilakukan oleh Hutu itu sendiri untuk memanaskan adrenalin para pembantai, presiden tersebut mati di tangan HUTU aslinya) Akhirnya Pecahlah perang GENOSIDA tersebut Kaum-kaum HUTU turun ke jalan, membawa parang dan senjata, atau apa saja yang bisa dipakai untuk membunuh kaum TUTSI. dengan memakai seragam kebanggaan mereka, mereka membantai siaapa saja kaum TUTSI yg ada.

Operasi mereka dimulai dengan sweeping masal KTP warga negara RWANDA yang dimana di KTP tsb ada cap besar untuk membedakan antara Hutu dan Tutsi. Teror itu pecah dan menghantui rakyat yang tak berdaya, terutama suku Tutsi dengan pasukan nya, INTERAHAMWE, para Hutu membantai para Tutsi.

Kurang lebih 250.000 siuku Tutsi dibantai pada hari itu dan hampit 50.000 Suku Hutu Tewas karena juga terjadi perlawanan di pihak Tutsi oleh "Tutsi Rabels" Total semua korba yang tewas dari Genosida tersebut adalaha 50.000 jiwa dan membengkak sampai angka 800.000 dan perhitungan bruto akhir adalah 1.000.000 jiwa melayang.

Pada akhir teror tsb, suku Tutsi berhasil mengkonter para militan Hutu, dan mereka dapat menekan keberadaan suku Hutu sampai ke perbatasan Kongo, dan setelah serangkaian perjanjian dan mandat, dengan bantuan UN (PBB) akhirnya perang saudara tsb berhenti.

Negara Prancis, dituduh sudah membantu Rezim Hutu dalam operasi Turquoise, dan memang nyatanya Prancislah yang menyuplai senjata untuk Militan Hulu dan rezimnya Setelah itu diumumkanlah daftar kriminal Genocida oleh PBB, sebagian sudah tertangkap, dan sebagian masih bebas berkeliaran./showthread.

Sebenarnya film tersebut bukanlah sekadar fiksi belaka. Film tersebut dibuat berdasarkan fakta yang terjadi di Rwanda. Banyak pelajaran hidup yang dapat diambil melalui film tersebut.
Saya sendiri pernah mendapat tugas untuk melakukan review dan analisa terhadap film tersebut pada salah satu mata kuliah saya.

Menurut saya film ini memang layak dan sangat menarik untuk dibahas, terbukti dengan awards yang diraih oleh film ini. Didukung oleh pemain-pemain yang handal, latar belakang dan alur cerita yang baik sehingga film ini memang layak untuk ditonton dan dapat dijadikan pelajaran khususnya bagi mahasiswa/i Hubungan Internasional seperti saya.

Namun bukan berarti film ini tidak penting bagi mahasiswa/i lainnya. Dalam ulasan berikut ini akan saya jelaskan mengapa film ini layak untuk ditonton.

Film ini menceritakan tentang konflik antar etnis yang terjadi di Rwanda dan berakhir dengan tindakan etnosida. Konflik ini terjadi pada tahun 1994 dan merupakan salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah Afrika. Pertikaian tersebut merupakan akumulasi dari hubungan tak harmonis bagi warga suku Hutu sebagai mayoritas dengan suku Tutsi sebagai minoritas, khususnya, sejak negera tersebut terlepas dari masa penjajahan Belgia. Di tengah konflik yang terjadi antara kelompok Tutsi dan Hutu, Paul Rusesabagina (yang diperankan oleh Don Cheadle), seorang manajer hotel yang memiliki keberanian, mampu menyelamatkan lebih dari 1200 pengungsi dari pembantaian.

Seperti biasa Paul menjalankan rutinitasnya sebagai manajer salah satu hotel terbaik di Rwanda, Hotel Des Miles Colines yang dihuni banyak warga asing. Mulai dari belanja keperluan hotel, mendatangi suplier, pejabat, hingga menyapa para tamu. Pada saat yang sama, televisi memberitakan adanya upaya perdamaian yang diprakarsai oleh PBB, antara pemerintah yang diwakili Presiden Habyarimana yang berasal dari suku Hutu dan pimpinan pemberontak dari suku Tutsi. Upaya ini mulai membuahkan hasil saat presiden dan pimpinan pemberontak sepakat untuk melakukan gencatan bersenjata dan menandatangani perjanjian damai. Namun, belum lagi perjanjian damai ditandatangani, sang presiden terbunuh dan dikabarkan pembunuh adalah pemberontak Tutsi.

Peristiwa ini langsung berdampak pada setiap orang yang tinggal di Rwanda. Tak terkecuali, pada Paul Rusesabagina yang asli Hutu dan memiliki istri dari suku Tutsi. Ia tidak menyukai politik balas dendam yang dilakukan kelompok Hutu lewat kaum milisinya yang bernama interhamwe terhadap seluruh warga Rwanda yang berasal dari suku Tutsi. Setelah terbunuhnya presiden Habyarimana kelompok Hutu pun memberontak dan merencanakan genosida atas kelompok Tutsi. Saat itu kota Rwanda benar-benar mencekam, semua orang yang memegang KTP Tutsi akan langsung disiksa, diperkosa, dan berakhir dengan kematian. Keadaan tersebut membuat Rwanda mengalami kondisi siaga satu. Turis asing yang sedang berada di Rwanda dan warga yang berasal dari suku Tutsi sangat ketakutan.

Kondisi ini membuat Paul Rusesabagina resah. Dengan berbagai cara, ia segera mengungsikan keluarga dan tetangganya baik yang berasal dari Hutu maupun Tutsi ke Hotel Des Miles Colines miliknya. Bahkan, tak lama kemudian tak hanya keluarga dan tetangga yang berada di hotel ini, tapi juga ratusan warga lain yang mengungsi ke hotel tersebut karena mereka menganggap tak ada lagi tempat yang aman. Di sela-sela upaya menampung pengungsi, Paul Rusesabagina yang mendapat mandat dari sang pemilik untuk menjaga hotel masih memperhatikan bahwasanya Hotel Des Miles Colines tetap merupakan sebuah hotel berkelas. Artinya, pelayanan kelas hotel diberikan semaksimal mungkin dan dia tak ragu menarik tagihan untuk warga mampu yang mengungsi.

Setelah kolonel Oliver (yang diperankan oleh Nick Nolte) yang berasal dari pasukan PBB dan beberapa anak buahnya ditempatkan di perbatasan Rwanda, Paul Rusesabagina meminta jenderal aparat keamanan Rwanda Augustin Bizimungo (yang diperankan oleh Fana Mokoena) untuk menempatkan aparatnya melindungi hotel miliknya. Namun jenderal Bizimungo hanya akan melakukan hal tersebut jika diberi imbalan wisky dan minuman keras lainnya.

1. Penyebab Timbulnya Konflik

Republik Rwanda adalah sebuah negara di benua Afrika bagian tengah yang berbatasan dengan Republik Demokratik Kongo, Uganda, Burundi danTanzania. Penduduk asli Rwanda terdiri dari tiga suku yaitu Tutsi, yang merupakan orang-orang dusun yang tiba di sini sejak abad ke-15; Hutu, yang merupakan mayoritas penduduk, merupakan petani asal Bantu. Hingga 1959, suku Hutu membentuk strata dominan di bawah sistem feodal yang berdasarkan pada kepemilikan ternak; dan Twa, yang dipercayai merupakan sisa pemukim terawal di sini. Suku Twa dianggap yang tertua, lalu orang Hutu dan kemudian Tutsi. Rwanda merupakan salah satu daerah jajahan Belgia. Pada jaman penjajahan, terjadilah suatu diversifikasi suku, yang dilakukan oleh Belgia, yaitu suku Hutu.

Jika dilihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran yang dimiliki oleh suku-suku tersebut. tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu di anggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih tinggi eksistensinya. Hal tersebut karena suku Tutsi memiliki warna kulit yang lebih terang, postur tubuh yang tinggi, langsing dan juga memiliki ukuran hidung yang lebih ramping dan mancung. Sedangkan suku Hutu memiliki kulit yang berwarna lebih hitam, postur yang agak pendek, hidungnya besar dan pesek.

Para penjajah Belgia lebih memilih orang-orang dari suku Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang yang berasal dari suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih” yaitu pekerjaan yang lebih tinggi posisinya sedangkan untuk “kerah biru” yaitu posisi yang lebih rendah, dan pekeja kasar diberikan kepada suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di Rwanda. Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba ke 2 suku ini.

Hal inilah yang menjadi awal dari timbulnya benih-benih kebencian, ke iri hatian, dan kecemburuan sosial yang akut dan mengakar. Menurut Simon Fisher dalam bukunya, Mengelola konflik; Keterampilan & Strategi untuk Bertindak, dalam teori Hubungan Masyarakat disebutkan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.Setelah beberapa tahun kemudian, tepat nya di tahun 1994, masalah ini kembali muncul sehingga menyebabkan timbulnya konflik ketika para Militan Hutu mengadakan genosida massal untuk membantai kelompok Tutsi yang disebut dengan “Cocoroaches”, dan menyamakan mereka dengan tidak lebih dari derajat seekor sapi untuk dibantai. Dengan sandi “LETS CUT THE TALL TREES!!” mereka memulai pembantaian itu.

Bahkan ketika pada bulan Juli 1994, beberapa hari sebelum pembantaian tersebut terjadi, Presiden Rwanda yang baru saja terpilih (suku Hutu) dan telah menyetujui perjanjian damai HUTU-TUTSI, dibunuh dalam pesawatnya, yang sebenarnya dilakukan oleh kelompok Hutu itu sendiri untuk memanaskan adrenalin para pembantai dengan menyebarkan berita bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh kelompok dari suku Tutsi. Upaya damai yang telah dilakukan oleh perwakilan dari kedua suku tersebut pun gagal. Operasi mereka dimulai dengan sweeping masal KTP warga negara Rwandayang dimana di KTP tersebut terdapat cap besar untuk membedakan antara Hutu dan Tutsi.

Selain itu menurut teori Identitas konflik juga disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Jika dikaitkan dengan konflik yang terjadi di Rwanda antara kedua kelompok suku tersebut, dapat dilihat bahwa diversivikasi dan stratifikasi sosial yang terjadi antara Hutu dan Tutsi pada masa kolonialisasi menimbulkan kesalahpahaman dan tidak adanya komunikasi yang baik antara kedua suku tersebut. Dendam suku Hutu terhadap identitas dirinya sebagai penduduk mayoritas yang terdiskriminasi di Rwanda belum terselesaikan hingga kini dan menjadi penyebab utama timbulnya pembantaian terhadap suku Tutsi.

2. Eskalasi Konflik

Tidak adanya komunikasi yang baik, diskriminasi pekerjaan, kecemburuan sosial, menyebabkan kesenjangan yang terjadi antara kedua kelompok tersebut mengakar hingga saat ini dan menimbulkan konflik yang sejak dulu ada kembali muncul ke permukaan. Eskalasi konflik terjadi ketika kelompok suku Hutu sengaja melakukan pembunuhan berencana terhadap presidenHabyarimana. Hal tersebut dilakukan oleh kelompok suku Hutu untuk memancing kemarahan massa suku Hutu terhadap dendam yang selama ini terpendam. Mereka dengan sengaja menyebarkan berita palsu bahwa pembunuhan presiden yang juga berasal dari suku Hutu tersebut dibunuh oleh kelompok pemberontak suku Tutsi.

Dengan tersebarnya berita tersebut dikalangan masyarakat, menyebabkan suku Hutu semakin marah dan mengupayakan tindakan balas dendam terhadap seluruh suku Tutsi di Rwanda. Kurang Lebih 250.000 suku Tutsi dibantai dihari itu dan hampir 50.000 jiwa yang berasal dari suku Hutu mati karena juga terjadi perlawanan di pihakk Tutsi oleh “TUTSI REBELS”. Total semua korban yang mengalami kematian dari genosida tersebut adalah 500.000 jiwa dan membengkak sampai angka 800.000. Berdasarkan perhitungan bruto akhir adalah 1.000.000 jiwa melayang. Pada saat genosida ini berlangsung, para perempuan dari suku Tutsi di perkosa lalu di bunuh. Mereka diperlakukan seperti binatang. Dilempari batu, di perkosa dan di kandangkan.

3. Aktor dan Pihak yang berperan dalam konflik

Dalam menganalisa kasus ini dapat dilihat dari peran-peran aktor yang bermain di dalamnya. Terdapat 5 tingkatan analisa aktor menurut Mochtar Ma’soed yaitu pertama, tingkat analisa sistem internasional; kedua, tingkat analisa kelompok negara-bangsa atau regionalisme; ketiga, tingkat analisa negara atau bangsa; keempat, tingkat analisa masyarakat atau kelompok individu; dan yang kelima adalah tingkat analisa individu. Dalam konflik Rwanda ini dapat dilihat dengan jelas bahwa aktor utama yang bertikai adalah aktor kelompok individu atau masyarakat yang berasal dari suku Hutu dan Tutsi. Masyarakat merupakan salah satu bagian penting dari sebuah negara. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah suatu negara sangat ditentukan oleh suara dan opini dari masyarakat. Sebagai suku mayoritas yang memiliki sejarah hitam di Rwanda akibat kolonialisme, Hutu yang kini berhasil mengendalikan pemerintahan memafaatkan wewenang untuk melakukan pembantaian terhadap Tutsi.

Selain itu ada juga aktor sistem internasional yaitu pasukan perdamaian PBB yang masuk ke dalam Rwanda yang berperan untuk mencegah konflik menjadi semakin berkembang. Sebagai organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara dunia, PBB merupakan salah satu bentuk perwujudan sistem internasional. Segala tindakannya selalu dipengaruhi oleh kebijakan dan keputusan bersama negara-negara anggotanya. Namun sayangnya pasukan pedamaian PBB hanya masuk sebentar dan kembali ke perbatasan. Seolah mereka membiarkan konflik yang tengah terjadi diRwanda.

Sebenarnya aktor negara atau pemerintahan di Rwanda sendiri yang dikendalikan oleh suku Hutu juga memiliki peran dalam terjadinya konflik tersebut. Semua pembuat keputusan pada dasanya akan berperilaku sama apabila menghadapi situasi yang sama. Karena itu analisis para ilmuwan seharusnya ditekankan pada perilaku unit negara-bangsa. Pembunuhan presiden Habyarimana merupakan rekayasa yang telah sengaja direncanakan oleh pemerintah Rwanda untuk melakukan aksi balas dendam terhadap suku Tutsi. Analisa aktor selanjutnya lebih jelas dapat dilihat di dalam film ini bahwa terdapat peran aktor individu yaitu Paul Rusesabagina sebagai pemilik hotel yang pada akhirnya dijadikan tempat pengungsian dan berlindung para warga Tutsi dari genosida massal yang dilakukan oleh suku Hutu.

4. Respon dunia internasional

Walaupun banyak warga asing yang saat itu sedang berada di Rwanda, tetapi dunia seakan menutup mata bahwa sebuah pembantaian suku sedang terjadi di abad 20, abad dimana manusia mengagung-agungkan diri sebagai bangsa yang modern dan beradab. Seperti yang digambarkan dalam film hotel Rwanda, Joe pun berusaha menjemput Rachel, seorang teman yang bekerja sebagai reporter BBC, dan seorang cameraman rekan kerja Rachel. Idenya cukup bagus, yaitu Rachel bisa meliput soal terjebaknya warga negara asing di tengah konflik berdarah Rwanda. Karena negara-negara Barat tidak akan pernah perduli suku Tutsi sedang dibantai, tapi mereka akan segera bertindak apabila tahu ada warga negaranya ada di dalamnya. Apapun tujuannya, Joe sangat mengharapkan intervensi internasional.

Di tengah perjalanan pulang, mobil mereka dicegat Hutu. Hampir saja mereka dibunuh kalau saja Francois tidak datang. Joe tahu Francois berasal dari suku Hutu, tapi ia tidak sangka kalau teman baiknya itu akan datang dengan membawa parang berlumuran darah, dengan tawa tersungging di bibirnya. Berkat Francois, Hutu yang lain mengizinkan Joe pergi. Di sepanjang jalan mereka melihat mayat-mayat suku Tutsi bergeletakan, dikerubuti lalat.

Setelah Rachel selesai meliput dari sisi warga Rwanda dan PBB, pasukan perdamaian lain datang. Sayangnya, mereka tidak datang untuk menyelamatkan Tutsi, tapi untuk menjemput warga negara asing, terutama Perancis. Joe dan Christopher memilih untuk tetap berada di sekolah itu, sedangkan Rachel ikut pergi. Malam sebelumnya, Rachel sempat bercerita bahwa ia menangis setiap hari ketika meliput Perang Bosnia, 1992. Namun ada dua cara agar tetap bertahan, ”I could think that i could be one of them (who died), or i can think they’re just dead africans” Begitu usaha Rachel tetap berpegang pada tujuan profesinya dan tidak terpengaruh emosi di lapangan.

5. Hambatan Penanganan Konflik

Dalam konflik yang terjadi antara suku Hutu dan Tutsi ini, humanitarian intervension yang dilakukan oleh PBB dapat dikatakan gagal. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya dukungan dari pemerintah Rwanda dan masyrakat Rwanda sendiri yang mayoritas adalah suku Hutu. Mereka dengan sengaja mengusir pasukan perdamaian PBB dari Rwanda. Sebagai organisasi internasional, PBB tidak dapat melakukan apa-apa jika Rwanda telah menolak mandate yang diberikan PBB di dalam wilayah kedaulatannya. Tidak hanya itu, masyarakat Hutu yang tidak memihak terhadap aksi balas dendam ini pun ikut menjadi sasaran keganasan suku Hutu.

KESIMPULAN

Dengan melihat konflik antar etnis yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994 tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk kolonialisasi yang tidak terarah seperti yang dilakukan Belgia hanya akan meninggalkan bekas luka yang dalam dihati dan kehidupan suku Hutu sehingga memicu timbulnya perpecahan. Sebagai sesama manusia kita memiliki banyak kekurangan dan juga kelebihan yang telah diberikan oleh Tuhan. Tidak ada manusia yang sempurna untuk itu klasifikasi, diversivikasi, dan stratifikasi terhadap suatu kelompok etnis, ataupun RAS, adalah hal- hal yang tidak sepantasnya dilakukan di dalam kehidupan bersosial umat manusia. Hal tersebut hanya akan menjadikan api dalam sekam yang suatu saat akan meledak ke berbagai arah.

Masih banyak film-film lain yang memiliki unsur edukasi dan dibuat berdasrkan fakta dan peristiwa yang pernah terjadi. Film seperti itulah yang sangat bagus untuk ditonton.
Banyak intisari yang dapat di ambil dan dijadikan sebagai pelajaran hidup.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun