Sunat bagi perempuan mengundang kontroversi karena hal itu oleh sebagian
kalangan dinilai melanggar hak reproduksi wanita. Namun tidak sedikit yang
mendukung sepanjang dilakukan dengan benar dan aman.
Praktik sunat perempuan sudah begitu berakar pada sekelompok masyarakat
tertentu di Indonesia yang tujuan utamanya untuk mengontrol dorongan
seksual. Dengan cara memotong sebagian atau seluruh klitoris dan labia minor
alat kelamin wanita.
Jika boleh dikata, sunat pada perempuan sangat tidak jelas tentang apa yang
harus dikerjakan, sehingga mengundang berbagai interpretasi mulai dari
tindakan yang radikal sampai tindakan yang hanya simbolis seperti mengusap
dengan kunyit alat kelamin wanita atau disebut memotong jengger ayam.
Memang ada anggapan, kotoran yang menempel pada klitoris dapat membuat
libido seks perempuan tidak terkendali. Padahal, praktik sunat tersebut
tidak hanya membahayakan kesehatan perempuan tetapi juga merupakan
'penyiksaan' secara fisik dan psikis seksual pada mereka.
Kebanyakan kaum feminis menolak sunat perempuan, pasalnya hukum pijakan
dalam Al-Quran, menurut mereka, tidak jelas. Mereka juga berpedoman bahwa
sunat perempuan seperti di Afrika, yang dilakukan dengan cara memotong atau
menggunting seluruh klitoris, bahkan menjahit bibir besarnya dan hanya
menyisakan sedikit lubang untuk buang air kecil, merupakan bentuk
'penyiksaan'.
Dengan demikian akibat sunat tersebut sering membuat mereka kehabisan darah,
infeksi, infertil, terkena penyakit pembengkakan, sakit saat melahirkan dan
tidak bisa mengontrol buang air kecil.
Proses sunat seperti ini, menurut kaum feminis, akan menghilangkan
rangsangan seksual pada perempuan atau bahkan perempuan tersebut tidak dapat
menikmati kehidupan seksualnya. Karena itu kaum feminis memvonis bahwa sunat
perempuan melanggar hak reproduksi kaum perempuan.
Karena itu konferensi dunia tentang Hak Azasi Manusia (HAM) pada 1993,
Konferensi Internasional Penduduk dan Pembangunan (ICPD) pada 1994 dan
Konferensi Dunia untuk Perempuan di Beijing pada 1995 secara tegas menolak
adanya Female Genital Mutilation (FGM) atau sunat perempuan.
Menurut perkiraan PBB, sekitar 28 juta perempuan Nigeria, 24 juta perempuan
Mesir, 23 juta perempuan Ethiopia, dan 12 juta perempuan Sudan, dengan
sangat terpaksa telah menjalani sunat ini.
Namun, dari sekian banyak kaum feminis yang menolak, ada juga dari golongan
feminis yang bergerak dalam badan PBB kantor Representatif Jakarta untuk
wilayah Asia dan Pasifik, Erna Witoelar yang setuju dengan adanya sunat
perempuan.
"Saya setuju dengan adanya sunat perempuan asalkan itu dilakukan dengan baik
dan tidak membahayakan perempuan yang disunat."
Baik bagi kesehatan perempuan, menurut dia, adalah jika hal itu dilakukan
dengan hanya mengambil sedikit bagian dari alat kewanitaan yang nantinya
tidak menimbulkan luka secara reproduksi ataupun gangguan seksual.
Aktivis perempuan yang juga istri Menteri Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar
itu berkeyakinan bahwa sunat perempuan merupakan bagian dari budaya yang
sudah berlangsung lama. Sejumlah negara seperti juga Indonesia masih
melakukannya karena hal tersebut diajarkan dalam hadist dan Al-Quran.
Di Indonesia, pelaksanaan sunat untuk perempuan, dilakukan secara simbolis
tanpa menyakiti fisik perempuan bersangkutan. Misalnya, sepotong kunyit
diruncingkan kemudian ditorehkan pada klitoris anak.
Namun, tak sedikit yang melukai alat kelamin bagian dalam dengan memakai
pisau, gunting, dan jarum jahit. Bahkan, di daerah tertentu di luar Jawa,
ada yang menggunakan batu permata yang digosokkan ke bagian tertentu
klitoris anak.
Praktik di Indonesia
Berdasarkan sejumlah penelitian, praktik sunat perempuan di Indonesia
dilakukan sejumlah keluarga Jawa di daerah Madura dan Yogyakarta. Selain
itu, praktik ini dilakukan pula di wilayah Jawa Barat, Jakarta, Sumatera,
dan Sulawesi.
Pemerintah melalui Departemen Kesehatan pada 20 Mei 2006 telah mengeluarkan
surat edaran tentang larangan medikalisasi bagi petugas kesehatan.
Medikalisasi adalah tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan.
"Pola imbauan pertama kita tujukan dulu kepada organisasi profesi sebagai
provider kesehatan agar memberikan sosialisasi larangan aktivitas medis
sunat perempuan yang berbahaya kepada para anggotanya seperti para bidan,
dokter, maupun perawat," kata Direktur Bina Kesehatan Ibu dan Anak Depkes,
Sri Hermianti.
Sejumlah organisasi yang dimaksud adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI),
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) yang
berkaitan langsung dengan kegiatan medis sunat terhadap perempuan.
Tindakan sunat perempuan yang berbahaya tersebut menurut Depkes berupa
sayatan, goresan, ataupun pemotongan, baik insisi maupun eksisi. Insisi
adalah melakukan perlukaan tanpa adanya jaringan yang lepas. Sedangkan
eksisi merupakan tindakan perlukaan dengan adanya jaringan yang terlepas.
Imbauan ini berangkat dari hasil penelitian beberapa LSM Perempuan Indonesia
dan Internasional yang mendapatkan rekomendasi dari Badan Kesehatan Dunia
(WHO). Penelitian diadakan selama tiga tahun di beberapa daerah di
Indonesia, seperti Padang, Pariaman, Serang, Sumenep, Kutai Kartanegara,
Gorontalo, Makasar, Bone, dan Maluku.
Dari hasil tersebut menunjukkan hanya 28% sunat dilakukan secara simbolis.
Sementara, 72% sisanya dilakukan dengan cara-cara berbahaya, seperti
sayatan, goresan, dan pemotongan sebagian maupun seluruh ujung klitoris.
Dari aktivitas pemotongan tersebut, 32% diantaranya dilakukan oleh bidan
atau pemberi asuhan kesehatan lainnya.
"Walaupun proporsi tenaga medis lebih sedikit dibandingkan tenaga dukun
ataupun tradisional lainnya, tetapi ini masuk ke dalam tindakan medis yang
terlarang, karena merusak alat vital manusia untuk mendapatkan fungsi
seksual dengan lawan jenis," kata Sri.
Selain itu, tindakan medis berbahaya ini kelak akan menimbulkan efek jangka
panjang. Menurut Sri, seorang wanita jika klitorisnya sudah rusak berarti
sudah tidak punya daya sensivitas atau kenikmatan seksual dengan lawan
jenisnya, dan itu berarti merusak proses reproduksi seksualnya juga.
Dampak jangka panjang lainnya adalah kesulitan menstruasi, infeksi saluran
kemih kronis, radang panggul kronis, disfungsi seksual. Bahkan lama-kelamaan
dapat meningkatkan risiko tertular HIV/AIDS.