"Saya taklapar sama sekali," sergah famili yang menyetir.
"Iya, hanya haus," celetuk saya.
"Karena sudah terbiasa takmakan ketika di pesantren."
Dalam dunia pesantren, menahan lapar memang sebuah keharusan. Apa pasal? Pesantren adalah tempat untuk melatih diri (riyadlah), supaya syahwat kita kepada urusan duniawi mengecil dan menyusut.
Selain itu, menahan lapar menjadi sebuah kewajiban bagi santri-santri, karena mereka dituntut untuk bisa mengatur keuangannya sendiri. Dengan uang secukupnya di dompet, mereka harus pintar dan cerdik menyiasati pengeluaran.
Biaya kiriman yang kadang lebih dari kurang, membuat mereka harus memutar otak. Jadilah mereka harus mengurangi porsi makan. Jika di desa halaman biasa makan 3-4 empat kali sehari, maka di pesantren mereka harus terbiasa 1-2 makan dalam kurun waktu 24 jam.
Membahas menu makan, tidak perlu dibayangkan lezatnya. Para santri sudah terbiasa menyantap nasi dengan lauk kerupuk saja. Atau hanya dengan tahu kecap. Makan dengan lauk tempe? Ah, itu sudah hampir tiap hari.
Apakah hal ini tidak berdampak pada kesehatan? Secara ilmu medis, memang berefek. Namun, banyak hal di luar nalar yang tidak dapat dijangkau akal sehat.