Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Internasionalisasi Pendidikan: Sebuah Refleksi

21 Februari 2015   20:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:45 68 0
Pembahasan tentang internasionalisasi pendidikan di negara berkembang terutama di Asia, selayaknya membaca pernyataan Dr Mahathir Mohamad said, Most Asians have not been able to get over the feelings of inferiority that decades and centuries of colonialism have brought in them. They are politically independent but psychologically they are still colonized. The desire to please the non-Asians is strong among them. Their value system and their way of thinking are still very much dominated by Western thinkers. (cited in Yeh, 2004, p. 37 dan diambil dari Mok / Questing for Internationalization 449 by on July 22, 2009 Downloaded from http://jsi.sagepub.com)
Inferioritas masih menghinggapi masyarakat, meskipun negara dan masyarakatnya secara politis merdeka tetapi secara psikologis mereka masih terjajah. Bentuknya sistem nilai mereka dan cara berpikir mereka masih sangat banyak didominasi oleh pemikir Barat.
Sementara itu internasionalisasi memiliki tiga kerangka kerja yang dominan, yaitu: Global Competency, Academic Capitalism, and Academic Colonialism.

Indonesia dalam melakukan internasionalisasi bidang pendidikan mau merujuk kerangka kerja yang mana? Kalau merujuk Academic Capitalism, dan Academic Colonialism, maka Indonesia hanya mengekor ilmu dan teori yang sudah dikembangkan oleh negara-negara Barat. Buktinya sudah terjadi selama ini. Buktinya saat ini Indonesia sedang gencar-gencarnya membuat sekolah internasional, baik di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional maupun Kementerian Agama. Kemendiknas melaksanakan program berupa Sekolah berstandar Internasional (SBI) maupun Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), sedangkan Kementerian Agama membuat Madrasah berstandar Internasional (MBI) maupun Rintisan Madrasah Berstandar Internasional (RMBI). Fokus kementerian ini sama, tetapi cara penyiapannya berbeda. Kemendiknas dengan cara menetapkan beberapa sekolah untuk dijadikan rintisan dulu dengan beberapa persyaratan baru kemudian menjadi internasional. Kemenag mendirikan madrasah benar-benar baru gedungnya dan menyeleksi calon-calon guru yang memiliki kompetensi berbahasa asing. Tetapi program itu belumme menerima siswa baru.

Jika Indonesia berfokus pada kompetensi global, maka diperlukan guru/dosen dan siswa.mahasiswa yang memiliki The Seven Survival Skills seperti yang diutarakan Tony Wagner (2008) dalam buku The Global Achievement Gap. Kecakapan itu meliputi:
1. Critical thinking and problem solving
Problem solving memiliki 3 area:
a. making decisions under constraints
b. evaluating and designing systems for a particular situation
c. trouble-shooting a malfunctioning device or system based on a set of symptoms
2. Collaboration across networks and leading by influence
3. Agility and adaptability
4. Initiative and entrepreneuralism
5. Effective oral and written communication
6. Accessing and Analyzing Information
7. Curiosity and imagination

Cukup disayangkan Kemenag justru membuat MBI dan RMBI yang baru, sementara kebijakan sebelumnya berupa Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) ayng diprogramkan Oleh Mentgeri Agama era orde baru yaitu Munawir Sadzali sudah cukup bagus untuk berkompetisi dengan sekolah/madrasah lain. Mereka lulusan MAPK bisa berbahasa asing, baik Inggris maupun Arab lisan maupun tulis. Dan buktinya sudah kelihatan.


Daftar Pustaka
Tony Wagner (2008) The Global Achievement Gap. New York: Basic Books

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun