Jika kata "fiksi" itu berarti "bohong", lalu apa arti kata "fiktif"?
Entah dasar literatur mana yang menjelaskan bahwa "fiksi" itu berarti "bohong". Selama ini kita mempelajari bahasa secara acak dan melompat, sehingga kita kerap memudahkan arti dari suatu konsep bahasa. Setidaknya semenjak Rocky Gerung berbicara di acara televisi, banyak orang yang tersadar bahwa kata "fiksi" tidak memiliki sifat negatif. Dan padahal pula tidak ada kata yang memiliki arti negatif. Yang menjadikan suatu konsep kata terkesan memiliki arti negatif adalah karena ada pengaruh lain di luar bahasa. "Fiksi" tentu saja berbeda dengan kata "fiktif" yang bearti kata sifat, hanya ada dalam khayalan. Sementara "fiksi" bukan lagi hanya ada dalam khayalan, melainkan telah dituangkan. Akan tetapi apakah benar "fiksi" itu "bohong"? Sekali lagi kita pikirkan ulang kata ini.
Fiksi bukanlah konsep kata yang memiliki arti negatif. Setiap konsep kata tidak ada satupun yang bermaksud negatif, termasuk kata anjing, atau babi yang kerap kita singgungkan dengan kesopanan berbahasa. Misalnya kata "anjing" adalah konsep kata dari binatang mamalia yang biasa dipelihara untuk menjaga rumah, berburu, dan sebagainya. Atau kata "babi" adalah konsep kata dari binatang mamalia berkuku genap, memiliki empat jari dengan dua jari tengah berukuran lebih besar, kepala berukuran besar dengan moncong panjang, memiliki tulang prenasal yang khusus dan tulang rawan yang berbentuk cakram pada bagian ujungnya. Jika kedua kata ini kita lihat secara konsep sama sekali tidak menunjukan negatif atau positif. Dan sayangnya, meskipun ada pula dari kalangan akademis yang baru tersadar bahwa "fiksi" tidak memiliki arti negatif, namun banyak pula yang masih kekeh bahwa "fiksi" berarti "bohong". Padahal kata "bohong" sendiri tidak menjelaskan maksud negatif, kecuali kita dalam menggunakan kata "bohong" itu sendiri untuk keperluan apa. Seperti saat menghakimi orang lain yang memberikan berita palsu, kita akan menghujat Si Pelaku dengan ucapan "dasar pembohong". Sementara ada seseorang yang berusaha mengungkap sesuatu dengan kata "bohong" seperti "saya sengaja bohong, agar saya tahu kebusukan Anda." Kata "bohong" dalam kalimat tersebut justru berfungsi sebagai alat yang baik dalam membuka kebenaran. Yang artinya setiap kata pada dasarnya tidak mewakili baik atau buruk, positif atau negatif, melainkan digunakan untik apa kata itu, dan dalam situasi percakapan seperti apa. Sekarang Anda mau menggunakan fiksi sebagai kata apa? Bohongkah? Jika iya, maka Anda perlu membaca tulisan ini sampai selesai.
Kembali pada kata "fiksi", sampai detik ini kata ini masih perlu didemonstrasikan secara luas. Kata "fiksi" berhubungan dengan sastra, atau karya imajinasi lainnya selain bahasa verbal. Lukisanpun mungkin saja mengandung fiksi, akan tetapi ia lebih mudah untuk disebut sebagai karya imajinasi. Dan tentunya imajinasi bukanlah sesuatu yang terlarang, karena nyatanya banyak hal-hal yang kita rasakan sekarang berangkat dari imajinasi. Seperti pakaian, ponsel, lemari, pintu, rumah, jembatan, stadion dan lain sebagainya. Dan jikalau kita pikirkan lebih dalam, imajinasi tidak muncul tiba-tiba tanpa adanya pengalaman dari seseorang yang mengimajinasikan sesuatu. Seperti pesawat tidak akan dapat diimajinasikan jikalau manusia tidak pernah melihat burung. Atau telepon tidak akan secanggih sekarang jika tidak ada imajinasi yang terus memperbaruinya. Akan tetapi sebenarnya "fiksi" dan "imajinasi" memang saling berhubungan, keduanya berangkat dari isi kepala kita. Selama ini "fiksi" disebut sebagai sesutu yang tidak pernah ada, tentunya pernyataan ini keliru. Karena "fiksi" sendiri tidak semerta-merta muncul begitu saja, Ia sama halnya dengan imajinasi bedanya adalah jika imajinasi masih ada di dalam kepala, fiksi sendiri adalah bentuknya. Jika karya imajinasi berbentik benda fisik seperti lukisan, patung, atau karya seni rupa lain, fiksi berupa cerita.
Dalam KBBI fiksi diartikan dalam tiga penjelasan. Penjelasan pertama, fiksi dalam dunia sastra di artikan sebagai cerita rekaan seperti roman, novel, dan sebagainya. Kedua dalam bentuk nomina, fiksi dijelaskan dalam KBBI sebagai rekaan atau khayalan, tidak berdasarkan kenyataan seperti nama tokoh yang sengaja dibuat oleh Si Pengarang dengan idenya untuk menciptakan karakter tertentu. Sementara yang ketiga, fiksi dijelaskan sebagai pernyataan yang berdasarkan khayalan atau pemikiran. Sampai sini mungkin saja pembaca KBBI masih belum jelas, dan membutuhkan banyak pemahan tentang pengertian fiksi. Ketika kita membuka kamus tentang arti fiksi di dalamnya terdapat kata lain yang coba menjelaskan arti fiksi itu sendiri. Padahal setiap kata dalam kamus memiliki arti yang berbeda-beda. Anda tidak perlu bingung, karena kata kunci untuk memahami fiksi adalah dengan kata rekaan. Kenapa harus memahami kata fiksi dengan kata lain yang kemungkinan kata tersebut memiliki konsep yang berbeda?
Dari literatur yang ada, seperti yang dijumpai pada cerita-cerita sastra "fiksi" bisa terbentuk dari sebuah pengalaman bantin penulisnya. Perjalanan yang membawa penulis pada suatu ide untuk membuat cerita rekaan, di mana melalui cerita tersebut penulis menyampaikan gagasan-gagasannya tentang suatu topik atau masalah yang bersal dari pemikiranya sendiri, atau bisa jadi pula karena pengaruh pemikiran orang lain. Seperti kenapa Pramudya Anatatoer banyak membahas soal kolonilisme dan perbudakan, ya karena Pram banyak mengetahui hal-hal seputar itu. Atau kenapa Chairil Anwar mengaku 'binatang jalang' dalam pusi berjudul "Aku", ya karena itulah ekspresi yang ingin disampaikannya. Sebuah ekspresi yang berangkat dari perjalanan hidupnya sendiri. Ia membuat tokoh "Aku" di dalam puisinya, sementara tokoh "Aku" itu sendiri ya dirinya sendiri bukan sesuatu yang belum atau sama sekali tidak ada. Tokoh "Aku" itu ada dan itu adalah Chairil Anwar itu sendiri. Ia mereka ulang keadaan hidupnya melalui sebuah puisi. Atau ketika Eka Kurniawan bercerita tentang Seorang Pria yang kemaluannya tidak dapat berdiri normal, berarti Eka tengah bercerita melalui tokoh rekaannya yang mana tokoh ini bisa jadi merupakan buah pemikirannya tentang seorang pria jantan tanpa kemaluan yang normal. Meskipun rekaan atau khayakan, Eka mengambil sosok manusia yang memiliki jenis kelamin sebagai mana manusia pada umumnya yang sering Ia lihat.
Fiksi tidak hanya berhungan dengan cerita, atau tokoh saja. Dalam kehidupan sehari-hari kita kerap bermain dengan "fiksi". Contohnya adalah seperti nama Indonesia yang kerap kita lantangkan ketika timnas bermain di GBK. Indonesia itu ada, tapi juga tidak ada. Yang dimaksud ada adalah kita mempercayai dan sekapakat bahwa nama Indonesia adalah nama negeri ini. Akan tetapi yang dimaksud tidak ada adalah jika dibuktikan dengan fisik, Indonesia hanya digambarkan dengan garis lintang dan bujur, yang sama garis itu tidak ada, sebuah garis yang hanya dapat kita lihat di dalam peta. Atau sekalipun Indonesia digambarkan sebagai pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke, yang kita lihat adalah sebuah pulau yang berjajar dengan pantai-pantainya yang membentang. Indonesia ada di dalamnya, tetapi terlihat oleh mata sebagai bentuk yang lain. Seperti, pulau, laut, pantai, suku, tumbuhan hasil bumi, sumberdaya alamnya, sumberdaya manusianya dan lain-lain. Di mana Indonesia-nya orang papua? Bukan pada wajah mereka, karena Ia ada pada sebuah pengakuan untuk berbangsa. Jika memahami "fiksi" dari nama negeri ini terlalu rumit, kita bisa membahasnya dengan kata lain. Seperti kata "pintu", jika seseorang berkata "buka pintu itu" dengan tanda perintah maka yang Ia maksud adalah sebuah benda yang dapat membuka dan menutup. Akan tetapi jika seseorang berucap "bukalah pintu hatimu" maka yang dimaksudkan adalah hal yang berkaitan dengan jodoh, padahal tidak ada pintu dihatinya. Kata "pintu" dalam kalimat tersebut berarti "fiksi". Akan tetapi pembahasan ini dalam ilmu bahasa lebih akrab disebut sebagai semantik, ilmu tentang makna kata dan kalimat, atau pengetahuan mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti kata.
Jadi bagaiman Anda memahami, dan menggunakan kata "fiksi" adalah tergantung pengetahuan Anda sendiri. Dalam ilmu semantik, bahasa kerap diacak-acak oleh adanya hal lain diluar bahasa. Bahasa kita sendiri, yaitu bahasa Indonesia tidak memiliki ragam yang rendah. Hanya dibedakan dengan dua, yaitu ragam formal dan tidak formal saja. Namun, singgungan negatif terhadap arti kata lain yang tidak sesuai dengan konsep kata tersebut masih ada dan masih sangat kuat. Namun tidak ada salahnya bagi Anda untuk mempelajari ulang arti berdasarkan konsep kata dari berbendaharaan bahasa kita. Fiksi itu ada, dan yang menyebut tidak ada adalah kebohongan itu sendiri.