Kenapa kopi?
Kenapa bukan teh?
Ada apa dalam film Filosofi Kopi?
Sudah tahu filosofi kopi?
Kopi, sebuah tumbuhan yang tumbuh baik di negeri ini. Sejarah penjajahan menyampaikan banyaknya hal berisi kemalangan tentang seorang pekerja pribumi yang hidup di sebuah perkebunan, dan juga pabrik. Sementara ada larangan bagi para petani yang dibuat penjajah, mereka si pemetik dilarang untuk mengonsumsinya.
Dengan adanya larangan itu, jelas tidak ada pula yang berani memakannya, apalgi jika taruhannya nyawa. Sedangkan warga Eropa nampak bahagia dengan kopi-kopi yang dipetik dari tanah-tanah nenek moyang kita, Ia menjelma sebagai minuman yang khas, dan berkelas. Suatu minuman yang penuh dengan perjuangan dan nilai sejarah.
Sampai detik ini banyak orang yang menyukai kopi, di sudut kantor, perkotaan, pedesaan, dan hampir di setiap tempat dengan rupa dan cara penyajian yang berbda-beda. Katakanlah di sebuah kedai yang punya barista jempolan, kopi dihidangkan dengan suguhan seni, berrcampur susu murni, dan karamel di dalam sebuah cangkir keramik.
Sementara abang Ojol atau abang kurir mungkin berbeda, mereka bisa memesannya pada Teteh Gelis yang bertugas menyeduhkan kopi instan ke dalam sebuah gelas kemudian dicampur dengan air panas, dan dihidangkan dengan sebuah gelas berbahan pelastik. Sebut saja kopi hitam gelas plastik. Akan tetapi tidak sedikit pula yang sama sekali tidak menyukai kopi.
Ada banyak buku yang berjudul "kopi", mereka tidak surut pembaca atau penikmat. Bisa ditebak mungkin pembacanya adalah orang yang menyukai minuman tersebut.
Seseorang yang kerap berdebat dengan kawan-kawannya pada sebuah kedai, membicarakan banyak hal sampai larut malam. Mungkin juga seseorang yang senang hidup dengan ketenangan, jauh dari kebisingan dan suka membaca sebuah majalah ditemani sesuatu yang hitam, hangat, pahit, dan manis.
Atau malahan bukanlah dari seseorang penikmat, hanya saja Ia cukup dibuat penasaran dengan intrik percintaan atau perjalanan hidup tokoh utamanya, sehingga Ia membeli buku itu dan membacanya.
Dan lebih parah lagi mungkin dia hanyalah seorang pembaca yang ikut-ikutan memcaba hal-hal yang dianggap populer dan unik agar bisa merasakan apa yang orang lain tahu, sebuah cerita tentang kopi.
Selain hujan, dan senja, penulis kita pun gemar sekali mambuat cerita tentang kopi. Apa yang disebut sebagai filosofi kopi ternyata sama seperti senja, dan hujan. Kopi hanya digunakan sebagai media inspirasi, bukan diterjemahkan sesuai dengan ciri kopi itu sendiri, atau kandungan-kandungan di dalamnya.
Filosofi Kopi adalah cerita pendek karya Dee Lestari yang diluncurkan pada tahun 2006, kemudian cerita ini difilmkan oleh sutradara Angga Dwimas Sasongko dan sangat terkenal pada tahun 2015 lalu.
Setidaknya melalui cerita ini, mendobrak para penulis lain untuk membahas soal kopi. Apa yang mungkin terdengar menarik, lambat laun menjadi barang yang umum dan terlalu biasa. Karena munculnya berbagai jenis cerita, dengan kopi di dalamnya.
Bagi anak-anak muda yang baru melek pergaulan dan tongkrongan, mungkin kemunculan cerita tentang kopi adalah sesuatu yang berbeda. Tapi bagi Anda yang sudah melalui masa-masa itu, maraknya cerita yang membawa-bawakan nama kopi di dalamnya mungkin bisa dibaca sebagai alat komoditi ekonomi. Jika iya, berarti Anda seprerti saya.
Pemeran film Filosofi Kopi mendirikan kedai kopinya sendiri. Ia tidak hanya menjual film, akhirnya pula menjual kopi. Ada sebuah nama dagang yang akhirnya diciptakan, yaitu Filosofi Kopi.
Produk dagang ini juga akirnya menjangkit penikmat kopi yang lain, kini Ia tidak hanya meminum segelas kopi hangat, ataupun kopi dingin. Ia juga mulai membuka kedainya sendiri dan menjual racikannya kepada pelanggan.
Berangkat dari sebuah cerita, kopi menjadi komoditi ekonomi yang belakangan diminati oleh para pebisnis. Dalam arti lain, semua cerita tentang kopi dan semua filosofi di dalamnya lebih kuat mengajak seseorang untuk membuat kopi atau meminumnya. Sementara amanat yang terdapat di dalam cerita, hanya sebuah hiburan yang dapat dinikmati sambil lalu saja.
Sama seperti tulisan tentang hujan, dan senja, lebih parah lagi kopi hanya sebagai pengantar tidak benar-benar menjadi bahan untuk berpikir. Kita bisa melihat kalimat-kalimat mutiara atau quotes yang terdapat dalam isi filmnya. Seperti, "satu langkah kecil dari sebuah niat baik mampu membawa kita menuju sesuatu yang di luar imajinasi."
Dalam kalimat ini seolah-olah kopi menjadi minuman yang dapat menganatar kita untuk mrncari inspirasi, padahal seseorang hanya perlu belajar melihat alam sekitar untuk mendapatkannya.
Kalimat selanjutnya yang terdapat dalam Filosofi Kopi, "cuma segelas kopi yang bercerita kepadaku bahwa yang hitam tak selalu kotor dan yang pahit tak selalu menyedihkan."
Kenapa kalimat ini diuraikan berdasarkan kopi, kenapa bukan teh atau jamu, bukankah keduanya juga bukan minum yang jernih seperti air meneral dan bukankah keduanya juga pahit.
Di dalam kalimat ini tentu saja kata "kopi" menjadi penekanan, karena sigmentasi penulis yang mengganggap bawah semua orang menyukai kopi. Yang kenyataannya tidak semua orang menyukai kopi, bisa jadi semua orang suka susu tapi tidak sedikit yang menyukai kopi. Artinya adalah kopi mungkin disukai banyak orang akan tetapi lebih banyak orang yang menyukai susu.
Ada pula kalimat lain yang berbunyi seperti ini, "ketika kopi menjadi sahabat sejati, pagi bukan lagi sebuah misteri. Seperti kamu yang selalu ada di hati, selalu mengisi hari-hari." Lagi-lagi penulis mengantarkan tokohnya sebagai seseorang yang mencintai kopi, dan di sana Ia menyampaikan gagasan yang seolah-olah kopilah sehabat sejati untuknya.
Kalimat ini tentu saja dapat dinikmati oleh seorang yang sering mengonsumsi kopi, atau seseorang yang mencintai minuman tersebut. Tapi bagaimana dengan seseorang yang menyukai minuman pahit lain selain kopi, teh misalnya.
Tentu saja kalimat di atas tidak berlaku untuk seseorang yang gemar meminum teh bukan? Karena di dalam kalimat ini berisi iklan, atau tawaran persepsi bahwa kopilah minuman yang setara dengan kawan atau sahabat.
Ada kalimat yang lebih parah lagi, kalimat ini membawa kata "kopi" yang menunjukan suatu konsep minuman beranama kopi, namun dihubungan dengan perasaan seseorang yang meminumnya. Bunyi kalimatnya seperti ini, "bulan purnama, bintang di setiap sudut langit, secangkir kopi, kejanggalan hati, merindukan sesuatu yang super sulit untuk di atasi, yaitu kamu."
Seolah-olah penulis ingin menyampaikan, kegalauan tidaklah nikmat jika tidak ada secangkir kopi yang menemani setiap malamnya. Minuman ini tidak benar-benar menjadi filosofi apa-apa, Ia hanya sebagai objek yang dijual dalam kalimat ini. Sehingga tidak memiliki hubungan antara minuman bernama kopi dengan seseorang yang tengah dipikirkannya.
Mungkin Anda setuju, rindu dengan seseorang tidak ada hubungannya dengan kopi. Kopi ya kopi, rindu ya rindu. Ya, mungkin Anda mau menjelaskan bahwa kopi yang dimaksudkan di atas itu seperti hubungan seseorang kekasih, ada hitam, ada pahit, ada manis.
Jika Anda berpikir demikian, berarti pikiran Anda belum netral untuk membaca tulisan ini. Karena bukan uraian seperti itu yang menghubungkan antara kopi dengan rindu. Akhirnya kita membutuhkan penjelasan. Padahal semakin dijelaskan semakin memaksakan sesuatu yang jelas-jelas berbeda konsep.
Kalimat selanjutnya, "jangan terburu-buru dalam menjalani sesuatu nikmati saja apa yang ada, seperti halnya minuman kopi." Apa yang dimaksud dengan "jangan terburu-buru" atau tidak tergesa-gesa, dan apa hubungannya dengan kopi?
Anda mungkin bisa menjawabnya, dan jawaban Anda pasti karena Anda tahu atau terbiasa meminum kopi dengan cara yang santai. Yaitu bahwa kopi tidak diminum seperti meminum air meneral biasa.
Atau mungkin Anda tahu jawabannya, karena Anda peracik kopi yang tahu bahwa ketabahan seorang petani perlu dilakukan sebelum meracik minuman ini, dan dihidangkan.
Kopi dibuat berdasarkan waktu dan kegigihan, dari proses pemetikannya, proses pengolahan, hingga sampai di sebuah meja pelanggan yang telah memesannya. Tapi gagasan ini sebenarnya bukanlah yang muncul karena alasan. Sama sekali bukan kalimat yang menunjukan objektifitas.
Misalkan, kenapa kita tidak boleh terburu-buru dalam menentukan pasangan alasannya karena adanya harapan kalau seseorang yang kita nikahi nanti akan membahagiakan hidup kita sampai tutup usia.
Sementara ada pula orang yang memang harus terburu-buru untuk mencapai solusi. Misalnya, kenapa seseorang melakukan hal secara terburu-buru, alasannya karena Ia mungkin telah melakukan kesalahan dengan bangun terlambat. Maka seeorang yang terlambat bangun tadi memang harus memburu waktu.
Baiklah, bagaimana jika situasnya adalah seseorang penikmat cerita tersebut. Mungkin dengan membaca kalimat "terburu-buru dalam menjalani sesuatu" Anda langsung paham ke mana maksud dan tujuannya, itu disebabkan karena di dalam kepala Anda telah mempresepsikan hal itu.
Semantara kata kopi dan terburu-buru bukanlah sebuah filosofi yang murni. Penulis hanya menganalogikan bagaimana seseorang membuat minuman kopi dengan perbuatan seseorang dalam menentukan keputusan.
Dengan kata lain, kalimat ini berusaha menyampaikan nasehat akan tetapi awalan kalimatnya menggunakan kata "jangan" yang berarti sebuah larangan. Apa jadinya jika sebuah larangan di sampaikan dengan kata "jangan" dan dalam bentuk quotes?
Tentu saja akan tedengar lebih indah dan halus secar penyampaian, karena ada orientasi quotes sebelum membaca isinya. Apakah mungkin sebuah filosofis disampaikan dengan cara melarang? Apakah ini sudah bijaksana sebagaimana filsafat itu sendiri yang menyampaikan kebijaksanaan?
Lucunya adalah pada bagian kalimat lain terdapat sebuah kalimat yang justru merusak judul film ini sendiri, yaitu Filosofi Kopi. Kira-kira kallimatnya berbunyi seperti ini, "sebagaimana kopi, kupertahankan nikmatnya dan menikmati setiap kenikmatan yang terjadi di situ, sesuatu yang mendalam seperti filsafat."
Ia menyebutkan kata "seperti filsafat" menunjukan bahwa si tokoh hanya menduga saja, atau bahasa kasarnya serampangan saja kalau kopi seolah-olah atau sama dengan filsafat.
Kalimat-kalimat seperti ini tentunya sah-sah saja bagi penikmat kopi, tapi bagaimana dengan para kaum urban asal Jawa yang gemar meminun jamu sebelum begadang dengan sang istri, lalu bagaimana dengan para tukang Ojol yang kerap nongkrong di dekat perkomplekan sambil meminum susu jahe agar tidak masuk angin, atau bagaimana dengan seorang pemabuk yang gemar meminum alkohol sebagai cara menghilangkan kesuntukkan? Seolah-olah kalimat itu hanya berlaku untuk kopi, dan padahal bisa saja minuman lain selain kopi.
Dalam kalimat tersebut ada pernyataan bawa kopi seperti filsafat, yaitu sesuatu yang mendalam. Artinya lagi-lagi kopi tidak benar-benar menghasilkan filsafat, hanya "seperti" saja. Kenapa dalam kalimat ini justru penulis tidak menguatkan filosofinya, malahan membuat perbedaan antara kopi dengan filsafat.
Penggunaan kata "seperti" untuk menyampaikan sesuatu yang "umpamanya" padahal "seperti" berarti tidak sama, serupa karena dicurigai ada hal yang mirip.
Misalkan, rambut A kriting seperti B. Rambut A memang kriting, dan rambut B juga keriting. Meskipun keduanya sama keriting tetapi keduanya tidaklah sama bukan. Mungkin A kriting, tetapi rambutnya panjang dan berwarna hitam. Sementara B mungkin saja Ia benar keriting, tetapi rambut B tidak sepanjang atau tidak sehitam A. Atau keduanya jangan-jangan bukan dari benua yang sama sehingga memiliki ras yang berbeda, seperti orang Papua dengan orang Afrika misalnya. Sama-sama berkulit hitam, tapi mereka berbeda.
Anda yang mungkin penasaran dengan quotes di film filosofi kopi bisa mencarinya di internet. Di sana ada banyak sekali kalimat yang kalau dipikiran dengan jeli, sebenarnya semua maksud dari quotes itu hanyalah menjadikan kopi sebagai komoditi ekonomi.
Secara persuasif seseorang akan tertarik untuk sekedar menikmati produk yang dimaksud, atau menjadi penjualnya. Kenapa disampaikan melalui sebuah cerita film? Ya karena film lebih mudah untuk masuk ke kepala penikmatnya. Demi tahu isi ceritanya mereka tidak perlu susah-susah membaca apalagi melawan ngantuk.
Sebenarnya ini sebuah langkah yang bagus, yaitu meningkatkan perekonomian dengan menciptakan persepsi. Tayangan iklan mungkin tidak terlalu menarik, karena semua iklan memiliki durasi yang sedikit. Sulit untuk mempresuasif seseorang dengan waktu yang cepat.
Berbeda dengan film, seseorang akan tanpa sadar bahwa di dalamnya ada sebuah produk yang sedang diiklankan. Melalui alur cerita yang rapi dan menarik, produk di dalamnya akan menjadi sesuatu yang unik. Penonton yang tertarik menganggap bahwa film yang ia tonton memberikan inspirasi.
Entah inspirasi untuk mengajak kawan nongkrong di kedai, atau bahkan membuat kedai kopi sendiri. Inilah persepsi yang coba dibangun dalam film ini, sehingga secara keseluruhan film ini dapat memberikan pengaruh pada komoditi ekonomi sebuah kopi.