Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Kampus Kehilangan Daya Kritis, Mahasiswa dalam Jerat Kapitalis

6 November 2024   21:48 Diperbarui: 6 November 2024   22:23 65 0
Pendidikan di Indonesia semakin memperlihatkan wajah yang kompleks dan kontradiktif, terutama di tingkat perguruan tinggi. Berbagai perubahan sosial dan perkembangan teknologi justru menciptakan ilusi kemajuan yang menyembunyikan sisi kosong dari pendidikan kita: minimnya substansi kritis dan hilangnya dialektika dalam kehidupan kampus. Perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi pusat pemikiran mendalam dan pengembangan intelektual, justru kerap berperan sebagai mesin pencetak lulusan yang siap memasuki pasar kerja, tanpa mempersiapkan mereka untuk menghadapi realitas sosial dengan kesadaran yang matang.

Pendidikan tidak lagi memprioritaskan pengembangan diri yang mendalam, tetapi hanya berfokus pada pemolesan nilai akademis dan indeks prestasi. Kampus menjadi tempat bagi mahasiswa untuk meraih nilai tinggi, tetapi sering kali tanpa disertai pemahaman filosofis atau kritis. Seperti salon yang merias pengunjung agar tampil lebih baik, kampus saat ini hanya mempercantik "wajah akademis" mahasiswa dengan nilai-nilai tinggi, tetapi tidak mendalam secara pemikiran.

Hal ini memprihatinkan, terutama mengingat Tri Dharma perguruan tinggi yang seharusnya menjadi fondasi pendidikan tinggi. Pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat semakin terpinggirkan, hanya menjadi sekadar formalitas dalam dokumen kampus. Padahal, Tri Dharma ini merupakan pilar penting yang membentuk kontribusi mahasiswa terhadap masyarakat dan bangsa. Namun, praktiknya, hal-hal ini sering kali menjadi sekadar formalitas yang jauh dari realisasi di lapangan.

Salah satu efek dari reduksi pendidikan adalah hilangnya ruang dialektika di kampus-kampus. Diskusi filosofis, wacana sejarah, atau kajian mendalam tentang isu-isu kontemporer seolah-olah hanya menjadi kenangan masa lalu. Mahasiswa tidak lagi memiliki tempat untuk membedah gagasan-gagasan kritis, sehingga kampus-kampus kini lebih dipenuhi dengan hiruk-pikuk kegiatan lomba, tugas, dan event-event. Gazebo dan ruang kelas hanya menjadi tempat mahasiswa menyelesaikan tugas akademis tanpa adanya diskusi yang mengarah pada pemahaman mendalam atau pengembangan karakter kritis.

Krisis ini menyebabkan mahasiswa kehilangan kesadaran akan peran penting mereka sebagai agen perubahan. Perguruan tinggi tidak lagi menjadi arena untuk membentuk pemikiran radikal yang mampu mengkritik kapitalisme atau menyoroti masalah sosial yang mendalam. Sebaliknya, kampus seolah hanya menjadi tempat di mana mahasiswa dilatih untuk menjadi "mesin kapitalisme",  individu yang siap bekerja dan memenuhi kebutuhan industri, tanpa mempertimbangkan dampak sosial atau kesadaran politik yang lebih tinggi.

Pendidikan yang berfokus pada nilai dan prestasi akademis sering kali menjadikan mahasiswa sebagai produk yang hanya dihargai melalui Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). IPK yang tinggi seolah menjadi tolok ukur utama keberhasilan mahasiswa, sementara kesadaran sosial dan kemampuan berpikir kritis sering kali diabaikan. Perguruan tinggi menjadi semacam jalur produksi yang menghasilkan lulusan-lulusan siap kerja, tetapi minim kesadaran tentang realitas sosial yang lebih luas.

Kampus-kampus dalam sistem pendidikan yang kapitalistik ini hanya berfokus pada pencapaian akademis yang tercermin dalam angka-angka, bukan pada nilai-nilai atau gagasan-gagasan yang seharusnya membentuk manusia seutuhnya. Sehingga, mahasiswa yang keluar dari sistem ini sering kali tidak memahami peran mereka dalam masyarakat atau urgensi untuk berpihak kepada kaum yang membutuhkan.

Dalam konteks ini, kata-kata WS. Rendra menjadi relevan: "Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing. Diktat-diktat hanya boleh memberi metode, tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan. Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan yang nyata." Rendra menekankan pentingnya pendidikan sebagai proses yang tidak sekadar mentransfer pengetahuan, tetapi mengembangkan pemahaman tentang keadaan nyata di sekeliling.

Pendidikan, menurut Rendra, seharusnya tidak hanya berfokus pada rumus dan teori yang bersifat asing atau impersonal, tetapi juga pada pemahaman yang mendalam akan konteks sosial dan budaya kita sendiri. Hal ini menekankan pentingnya pendidikan untuk tidak sekadar menjadi proses pembelajaran pasif, tetapi mengharuskan mahasiswa untuk turun langsung ke masyarakat, mengamati, dan menghayati persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini. Pendidikan yang hanya menyajikan rumus tanpa pemahaman terhadap konteks sosial hanyalah tirani kolektivisme, di mana peserta didik mengikuti proses tanpa pemikiran kritis yang memadai.

Generasi mahasiswa milenial dan Zenial memiliki keunggulan dalam akses teknologi dan informasi yang luas. Namun, potensi ini sering kali terhenti pada penguasaan teknis tanpa kemampuan untuk memahami atau menganalisis secara kritis. Alih-alih menjadi agen perubahan, mahasiswa justru rentan menjadi "budak" dalam sistem yang memperlebar kesenjangan antara kelas sosial. Di sinilah pendidikan seharusnya berperan dalam menciptakan individu yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga kritis dan berdaya untuk melakukan perubahan di masyarakat.

Pendidikan yang hanya berorientasi pada nilai akademis tanpa mengembangkan kesadaran kritis adalah pendidikan yang tidak lengkap. Perguruan tinggi seharusnya kembali menjadi ruang dialektika yang mendorong mahasiswa untuk berpikir, berdiskusi, dan mengambil peran aktif dalam masyarakat. Dengan kembali kepada nilai-nilai dasar pendidikan yang inklusif, kita berharap agar mahasiswa dapat menjadi agen perubahan yang berlandaskan pada kesadaran kritis, bukan sekadar menjadi mesin dalam sistem kapitalisme yang hanya mementingkan profit semata.

Pendidikan sejati bukanlah tentang angka, tetapi tentang bagaimana proses belajar dapat menciptakan manusia yang mampu menganalisis, berempati, dan berkontribusi nyata bagi masyarakat. Inilah esensi pendidikan yang seharusnya kita perjuangkan di tengah arus kapitalisme yang semakin mendominasi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun