I was so naive, penuh kasih dan iba ditengah kemiskinan bangsa. Ada kegelisahan yang kuat bercokol ditengah keterlenaan hidupku, akan nasib sesama yang merana terlonta-lonta hingga sering ku bertanya tentang apa yang bisa kulakukan, kenapa Tuhan hanya biarkan semua terjadi sedangkan ialah sang Maha pengasih.
Jalanan di Indonesia tak pernah surut dari orang-orang miskin berbaju lusuh berwajah kusut, anak-anak kecil meminta-minta, membanting tulang jadi kernet dalam ketergesaan angkot-angkot yang menyusuri kerasnya perkotaan. Aku pun hanya bisa bersembunyi karena wajah-wajah hitam yang setia menghantui, aku ingin mereka pergi karena tak ada apapun yang bisa ku beri selain sebungkus nasi bagi sepasang tangan yang bergidik menggigil, sedangkan berpasang-pasang tangan yang lain hanya bisa menengadah dan menanti.
Aku pun lari menjauh, menyendiri dibawah pohon bodi, hingga kudengar pesan sang Nabi tentang manusia yang sesungguhnya pantas dikasihani, adalah mereka yang tak mengingat Tuhan. Tuhanlah sang pengasih yang ghaniyun haliim maha kaya lagi penyantun. Manusia akan sanggup bertahan selama mereka ingat Tuhan, kemiskinan memanglah obyektif namun penderitaan adalah subyektif.
Aku berpikir seperti itu pun karena aku dulu hanyalah korban televisi tempat para Ustadz untuk mengumbar propaganda;Â "bahwa mengingat adalah berdzikir, berdzikir adalah melafalkan nama-nama mulia dan kalimat-kalimat dalam kitab suci. Orang-orang miskin hanya perlu rajin beribadah mengingat Tuhannya, dan dengan kemurahannya mereka akan terentas". Tapi semakin kesini aku merasa bahwa premis itu tidak juga terasa cukup representatif.
Hingga kemudian manusia-manusia mistik yang muslim sebut sufi, yang kristen sebut gnostis dan yahudi sebut cabalis hadir dalam perjalananku. Dari dogma-dogma mereka kusaring sebuah arti baru tentang mengingat Tuhan, yaitu mendaya gunakan segenap potensi yang ada dalam diri manusia demi kelangsungan hidup mereka sendiri. Disini Tuhan pun menjadi impersonal karena takdir manusia hanya bergantung pada bagaimana masing-masing berusaha untuk hidup.
Akhirnya semua seperti menemukan titik cerahnya, kecuali rasa iba yang tak juga kunjung berkurang. Tapi aku pun sudah menjelma seorang deistis diujung jalan ini, mengakui adanya Tuhan namun tidak mempercayai campur tangannya dalam kelestarian ataupun kehancuran dunia. Wajahku tak lagi menengadah ke angkasa tapi menatap tajam pada masa lalu, masa kini dan masa depan dunia.
Aku sempat menjelma nabi hingga diujung jalan lain kutemui si terkutuk Darwin dengan dinginnya proses evolusi suatu spesies menuju keunggulannya. Proses yang meliputi sebuah penyeleksian oleh alam terhadap bibit-bibit unggul yang sanggup menghadapi kerasnya kehidupan, yang lantas memperoleh previlese untuk berkembang biak, untuk lantas melahirkan generasi-generasi baru yang juga akan menghadapi seleksi alam yang sama kejamnya.
Bangsa Arya di jerman pada masa Perang dunia II pun punya cukup kelancangan untuk mengatas namakan alam kala mereka melakukan penyeleksian manusia-manusia banci dan cengeng demi keunggulan kolektif bangsa mereka. Bangsa Yunani kuno bahkan memiliki tradisi hanya memelihara anak-anak dengan kondisi sehat, dan menelantarkan mereka yang lemah dan berpenyakit.
Paham ini cukup reasonable, meski juga akan melahirkan manusia-manusia dingin. Tapi apa pula sesungguhnya daya seorang manusia dalam menyantuni berjuta-juta orang kalah. Kenapa harus merasa bertanggung jawab terhadap kelupaan mereka kepada Tuhan, terhadap potensi-potensi luar biasa mereka yang bisa mereka berdayakan. Kenapa aku harus bersedih atas kemanjaan mereka yang meminta-minta, yang bahkan menjual kerapuhan seorang bayi dalam gendongan mereka demi belas kasih manusia-manusia bermobil di perempatan-perempatan.
Diujung jalan ini aku menjelma citra hidup yang tragis. Meski tidak punya cukup kekuatan untuk menyeleksi seperti bangsa Arya ataupun Yunani kuno, tapi hantu-hantu itu telah kusingkirkan. Dada ini cukup lapang untuk menyambut hidup dan mati, menyambut mereka yang ingin hidup dan mempersilahkan orang-orang lemah untuk tetap lemah dan mati, karena pilihan ada ditangan mereka bukan di harapan idealku tentang bagaimana seharusnya kemanusiaan berjalan. Aku adalah seorang abdi bagi kehidupan dalam dunia yang penuh dikotomi hidup-mati.