Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk yang bertanya. Sebagai contoh, dari awal manusia masih  berumur belia, ia senantiasa melontorkan pertanyaan-pertanyaan dengan menggunakan bahasa simbolik melalui penunjukkan. Seiring waktu berjalan, manusia pun bertumbuh dan berkembang hingga pertanyaan-pertanyaan pun menjadi banyak, seolah tiada henti untuk mengetahui segala hal. Ia bertanya tentang benda-benda di sekitar, orang-orang, binatang, tumbuhan, alam semesta, tuhan, dan objek-objek lainnya.
Pertanyaan menakjubkan pun hadir dari manusia, bahwa selain ia mampu bertanya mengenai objek-objek di atas, sampai-sampai ia bertanya mengenai dirinya sendiri sebagai manusia. Dengan demikian, karena bertanya adalah awal untuk mengantarkan manusia berfilsafat. Rasa heran, skeptis (ragu), dan tidak yakin, adalah sebagai awal pendorong manusia untuk berfilsafat.
Aktivitas demikian, telah terbukti oleh para filsuf dari awal kemunculannya sampai masa kini bagaimana mereka mempertanyakan segala unsur-unsur dasar dan fundamen dari benda, manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Beragam temuan dan ide yang mereka dapatkan sesuai dengan kemampuan mereka sendiri.
Begitupun dengan kita yang masih jauh untuk dijuluki atau bahkan menjadi seorang filsuf, tidak hanya berhenti begitu saja ketika bertanya tentang pengalaman diri kita sendiri. Justru, seringkali terjadi pencarian makna yang lebih dalam lagi dari pada makna sebelumnya yang kita dapatkan. Hal itu dilakukan dengan penuh kesadaran dan perefleksian, sehingga makna dan tanda pun mampu kita dapatkan.
Dari beberapa literatur yang penulis baca, salah satunya dalam buku "Dunia Manusia - Manusia Mendunia", karya Emanuel Prasetyono, bahwa pertanyaan yang paling mendasar dan prinsipil dalam hidup manusia adalah pertanyaan tentang eksistensi dan hakikatnya sebagai manusia yang hidup.Â