Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Presiden dan Menteri Pun Perlu Belajar dari “Mbah Sol”

27 Juni 2011   05:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:08 128 0
Anda bisa saja bersepakat bahwa macetnya Surabaya semakin mendekati Jakarta. Surabaya dan Jakarta pun akan sepi bila menjelang dan seminggu setelah hari raya Idul Fitri. Kejadian seperti ini terus berulang dan semakin tahun semakin macet pasca lebaran usai. Kemacetan dikedua ibu kota provinsi ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Mengapa ? Jawabnya sederhana, ingat pepatah lama “ada gula ada semut”. Belum terfikirkah oleh para petinggi negeri ini untuk ‘membagi-bagi gula’ agar fokus perhatian ‘semut’ terpecah. Kapan ?? Para pembuat kebijakanlah yang tahu dan ‘harus mau’ melakukan ini.

Ketika melakukan perjalanan Malang- Surabaya sehabis mengunjungi anak-anak yang sedang liburan sekolah di rumah eyangnya penulis banyak menemukan kejadian-kejadian yang menurut penulis semestinya tidak terjadi. Kendaraan roda dua mendominasi jalanan. Kebut-kebutan memburu waktu agar tidak terlambat masuk Surabaya. Pelanggaran otomatis terjadi dan aparat tidak dapat berbuat banyak dengan kejadian ini. Melanggar marka hal biasa, berkendara tidak santun sudah biasa, membuang kotoran dan puntung rokok dari dalam kendaraan sudah menjadi kebiasaan. Berbicara sendiri di atas kendaraan roda duanya (sambil menelepon) juga bukan hal aneh. Ber sms ria di belakang kemudi roda empatnya sehingga membuat haluan kendaraannya tidak stabil juga hal yang sangat biasa.

Beberapa kejadian tersebut di atas telah menjadi bagian budaya anak bangsa ini. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah merubah gaya hidup para pengguna jalan di negeri ini. Pertanyaannya sederhana, mengapa semua itu bisa terjadi ? Ratusan kendaraan roda dua meraung-raung memenuhi jalanan. Belum lagi ditambah ‘efek Porong’, ‘efek Gedangan’, ‘efek Bundaran Waru’, ‘efek A. Yani’ yang telah menimbulkan kemacetan dan ketidak efisienan bagi pengguna jalan dan penggunaan energi bahan bakar. Sekali lagi pertanyaannya. Mengapa semua itu bisa terjadi ? Tidakkah pembuat kebijakan di negeri ini dapat mengambil hikmah dari kota-kota besar yang telah mengalami hal ini sebelumnya ?  Macet ….macet….

Penulis jadi teringat pada ‘mbah Sol’, sebut saja begitu. Mbah Sol langganan penulis yang seorang penjahit sepatu ini tidaklah menyandang pendidikan tinggi. Sekolah Dasar (SD) saja tidak tamat. Giginya terlihat menghitam karena karies gigi bila tersenyum lebar. Pandangan dan pendapatnyalah yang membuat penulis akrab bergaul ketika penulis menjahitkan sepatu anak-anak yang mulai perlu perbaikan untuk menyambut tahun ajaran baru. Apa pendapat mbah Sol ini ?

Pandangan mbah Sol ini sangat sederhana.

“Dua tahun lagi jalanan ini (sambil menunjuk jalan di depannya, padahal jalan di tingkat kecamatan) tidak dapat dilalui lagi oleh kendaraan karena jumlahnya yang begitu fantastis meningkat”. Saya yang sedang menunggu sambil ngobrol dengan Mbah Sol tergelitik untuk mencari tahu dengan bertanya

“kok bisa begitu mbah?”.

“Lha gimana setiap hari kendaraan baru bertambah sedang yang lama tidak ditarik..modar piye ?”

“Yang mau narik siapa mbah ?” tanyaku lagi.

“Yo pemerintahlah..sopo maneh, ojo gelem duek e tok (ya pemerintahlah…siapa lagi jangan mau uangnya saja) ?”, jawab mbah Sol sambil meneruskan jahitannya dengan terkekeh.

Dialog singkat tadi masih terngiang di kepala penulis ketika menyaksikan begitu banyaknya jumlah kendaraan yang memadati jalan sepanjang perjalanan Malang- Surabaya. Satu hal yang penulis cermati, angkutan kecil sejenis mikrolet  banyak yang tidak memiliki penumpang karena begitu besarnya jumlah pengguna kendaraan roda dua yang dikategorikan miskin ini sehingga dapat akses bahan bakar bersubsidi.

Penulis lantas berangan-angan, apa pembuat kebijakan berani membuat kebijakan yang tidak populer dengan menghapuskan kendaraan mikrolet-mikrolet  ini dan mengkaryakan mereka menjadi driver angkutan yang lebih besar sejenis bus. Bus yang bersih, tepat waktu, nyaman, aman dan MURAH. Penulis juga yakin pasti ada yang pro dan kontra tetapi memang itulah resiko pembuat kebijakan publik yang tidak dapat memuaskan semua fihak, namun tetap harus  membuat kebijakan yang berfihak pada publik dan bersifat jangka panjang.

Penulis  tersentak ketika kendaraan di Bundaran Waru begitu padatnya. Pemandangan khas sehari-hari pada jam sibuk. Ah…memang sangat sedikit (atau tidak ada) pembuat kebijakan di negeri ini yang berani untuk tidak populer apalagi menanggung resiko karena kebijakannya tidak dapat memuaskan semua fihak. Sepertinya petinggi di negeri ini perlu belajar mendengarkan dari Mbah Sol. Bagaimana menurut Anda ?

Tulisan ini dimuat di blog penulis di kampus Sunan Ampel Sby

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun